Jika setiap isu, informasi, fatwa, tafsir yang masuk ke Indonesia dapat dibaca, dipahami dan difilterasi oleh para Da’i, maka paham-paham ekstrimis, radikalis dan teroris tidak akan pernah lolos dan masuk ke alam pikir dan tradisi keberagamaan kita di Indonesia. Dr. Salahuddin Harahap, MA dari Laboratorium Pancasila dan Islam Bung Karno, Univesitas Islam Negeri Sumatara Utara (UINSU) menuliskannya buat pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Dr. Salahuddin Harahap, MA
BELUM lama ini Kemenag RI telah menggaungkan sebuah terobosan yang menurut saya cukup strategis yakni menyelenggarakan Program Sertifikasi Da’i sebagai salah satu upaya preventif dalam pencegahan paham dan gerakan radikalisme dan g terorisme di Indonesia.
Posisi Da’i dipandang sangat penting dalam konteks keberagamaan di Indonesia bahkan sejak masa awal masuk dan dalam proses penyebarannya. Malah, dalam beberapa dekade hampir dapat dikatakan bahwa Da’i telah menjadi sumber literasi keagamaan utama kalau bukannya satu-satanya bagi sebagian besar umat bergama terlebih di wilayah perdesaan.
Memang, kemajuan dan penyebaran teknologi informasi yang demikian pesat, dalam hal tertentu telah membawa kabar gembira bagi suasana keberagamaan kita terutama dalam konteks literasi. Meningkatnya jumlah serta sebaran umat pengguna aktif medsos seperti FB, Twitter, You Tube, Google dan lainnya telah berbanding lurus dengan peningkatan literasi keagamaan yang dapat diperoleh umat. Tidak hanya lewat ceramah para Da’i, tetapi juga lewat artikel, jurnal, penelitian, film dokumenter dan seterusnya.
Namun, satu hal yang menarik bahwa dari sekian jenis literatur keagamaan yang tersedia, dapat dilihat bahwa ‘ceramah Da’i’ tetap menjadi yang paling utama bagi umat— yang terbukti dengan adanya peningkatan jumlah sitasi atau followers terhadap ceramah-ceramah Da’i di medsos.
Mengacu kepada situasi tersebut, maka perhatian kita kepada peningkatan kualitas literasi keagamaan dapat berarti juga sebagai wujud dari perhatian kita kepada kualitas para Da’i yang hingga saat sekarang masih menjadi sumber utama atau penutur utama literatur keagamaan kepada umat secara umum.
Literasi keagamaan memiliki kaitan amat erat dengan kualitas Da’i seterusnya dengan kualitas keberagamaan kita. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, peningkatan literasi (kuantitas, kualitas, cara membaca, pemahaman dan aktualisasi) akan berbanding lurus dengan arah kemajuan keberagamaan kita.
Bicara literasi, bukan sekadar banyak, beragam dan luasnya sumber bacaan. Tetapi lebih jauh, tentang bagaimana memposisikan setiap literatur, bagaimana ia dibaca, dipahami dan selanjutnya diadaptasi dan diaktualisasikan.
Penting diingat, bahwa tidak ada satu kata yang terkait keagamaan, kalimat, konsep, teori, fatwa bahkan hadis dan ayat pun yang disampaikan atau turun di ruang hampa. Setiap dari jenis ini mesti lahir di dari dan untuk orang atau generasi tertentu di era tertentu, pada wilayah tertentu, disebabkan oleh faktor tertentu, untuk tujuan tertentu dan untuk bersentuhan atau berinteraksi dengan nilai atau norma tertentu — yang ini semua kemudian kita sebut dengan konteks yang mengitari literatur.
Menyadari hal tersebut, maka setiap Da’i mesti memiliki kemampuan yang komprehensif untuk dapat berinteraksi dengan literasi keagamaan, agar keberadaan literasi benar-benar dapat mendorong terjadinya pembaruan keagamaan baik wawasan, sikap maupun tindakan dan tradisi.
Dalam konteks di Indonesia, setiap Da’i mesti memiliki beberapa kesadaran berikut ketika berhadapan dengan literasi keagamaan. Pertama, Kesadaran Logika dan Rasional — mampu mendekati setiap literatur dengan pendekatan logika dan Rasional, sebab dinamika literatur akan lahir dari keberlangsungan dialektika logika dan rasional.
Kedua, kesadaran sosiologis dan historis– bahwa setiap literatur harus berinteraksi dengan kondisi sosial dan perjalanan sejarah keagamaan kita di Indonesia. Ketiga, kesadaran pluralitas dan kebhinekaan–menyadari bahwa setiap nilai, norma dan apa saja yang diterima mesti diformulasikan agar dapat diadaptasi oleh realitas bangsa kita yang sarat dengan pluralitas dan ke-bhinnekaan.
Keempat, kesadaran intuitif dan kontemplatif– menyadari bahwa alam dan leluhur kita telah memiliki tradisi menggunakan intuisi dan melakukan kontemplasi untuk menyelaraskan setiap nilai yang ada dengan sisi terdalam diri dan budaya kita termasuk nilai-nilai keagamaan. Kelima, kesadaran teologis dan esoteris (spiritualis)– bahwa teologi atau keberagamaan kita telah dibangun di atas tradisi dan budaya kita yang sarat dengan nilai-nilai esoteris yang universal.
Melalui kesadaran ini, setiap Da’i akan dapat berinteraksi dengan literatur apa pun, berasal dari manapun dan dalam bahasa apa pun– tanpa harus ‘kecele’ mengimportasi dan mengaktualisasi secara mentah-mentah ajaran-ajaran, pemahaman-pemahaman yang sejatinya lahir dan diperuntukkan di daerah, era, budaya dan atmosfir lain.
Jika setiap isu, informasi, fatwa, tafsir yang masuk ke Indonesia dapat dibaca, dipahami dan difilterasi oleh para Da’i berbasis kesadaran-kesadaran di atas, maka dapat diduga bahwa paham-paham ekstrimis, radikalis dan teroris tidak akan pernah lolos dan masuk ke alam pikir dan tradisi keberagamaan kita di Indonesia.
Kita perlu, membangun literasi berbasis filterasi, sinkritisasi dan akulturasi agar moderasi beragama dapat tetap terjaga di bumi Indonesia tercinta ini.