Oleh: Toga Tambunan *
“KENAPA dipermudah jika bisa dipersulit.” Adagium hipnosis ini ditetaskan rezim Soeharto di ruang publik birokrasi pemerintah dibalik teriakan keras
hapuskan suap. Seperti tempo hari Menterinya Sudomo pamer di terminal timbangan truk, seolah kampanye bersihkan suap, di semua lini pemerintahan, ternyata topeng saja.
Beberapa waktu berikutnya, pada rezim SBY, kampanye tipuan makin lantang. Di dinding ruangan tiap kantor menempel poster “Tidak pada korupsi” bergambar tapak tangan dijulur menolak.
Hipnosis itu proses syaraf beta dibenak tiap orang berurusan di kantor pemerintah, sedang dicekik oleh syaraf alfanya sendiri.
Mengkloning peristiwa ngeri sebelumnya tatkala awal rezim itu berkuasa. Rasa takut bawah- sadar menghipnotisnys jadi bodoh menggaruk dompet, sisipkan uang pelicin diantara berkas yang akan diserahkan.
Di tiap instansi, semua urusan dinomenklaturkan sebagai bisnis. Nominal pelicin diselipkan harus sebanding dengan besar perolehan resiko kerugian atau pun keuntungan.
Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah nggak diajar, cukup contoh gimana struktur atas menagih upeti struktur bawah, bersandar mata cincai atau tahu sama-sama tahu.
Begitu massif terjadi di semua tingkat instansi birokrasi hingga di kelurahan di sudut mana pun penjuru negeri. Apalagi urusan pajak, bisnis, ketertiban dan kesehatan.
Metode transaksi banyak. Tehnik transaksi tutup asuransi, yang agen penutupnya adalah istri atau anak pejabat sehingga berhak terima komisi. Atau serah terima voucher wisata keliling dunia. Juga tiket seks. Memiliki apartemen atau saham perusahaan meski bukan atas nama pejabat pemroses berkas. Uang pelicin tidak lagi diselipkan dalam berkas. Banyak jenis metode baru seakan bukan suap/korupsi. Sebagaimana sekarang telah dikenali oleh Undang-undang TPPU.
Sekalipun koruptor sudah terpidana, aset atau uang korupsi itu masih sah dimiliknya. Tidak ada aturan dikembalikan ke negara. Belum ada instrumen hukum mensitanya. DPR tidak peduli. Tentu ada sebab tersembunyi menunda alias menolak pengesahan Undang-undang perampas asset koruptor. Para legislator penerima gaji dan fasilitas jumbo mewah, terutama pimpinannya, tidakkah antisipasi kecewa rakyat bisa meledak?
Bukan barang baru perihal Rafael Alun, pejabat pajak, menggenggam kekayaan segundukan. Kalau bukan viral di media massa, putranya Rafael Alun, Mario Dandy persekusi David Ozaro, belum tentu kekayaan sebukit tak wajar itu terungkap. Pasalnya aktualisasi pamer harta kesombongon diri anaknya bikin apes.
Menyusul pula Edy Darmanto pejabat Bea Cukai Jogyakarta pamer kekayaan. Ada juga di kota lain. Kekayaan tak wajar dan hidup hedonis sudah target kebanggaan pemangku eselon di tiap institusi, sejenis budaya gaul kalangan disebut the have.
Terpidana Ferdy Sambo, yang dulu di bahunya lengket dua bintang jendral, mengakui 100 Triliun (100 Triliun, lho ) diinstal ke rekening ajudannya brigadir Josua Hutabarat, korban dibunuh atas prakarsanya. Begitu juga irjenpol Teddy Minahasa didakwa membisniskan ilegal narkoba sitaan, untuk memperkaya diri. Hakim agung Sudrajat Dimyathi Gazalba Saleh dengan tampung suap. Begitu pula beberapa Rektor PTN. Masih antri akan disidang pidana.
Daftar narapidana koruptor sungguh teramat panjang. Diantaranya terdiri pejabat tinggi negara, ketua DPR, ketua parpol, Menteri, pejabat Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, yang kemudian disebut oknum. Juga konglomerat. Jendrsl purnawiran kasus Asabri. Direktur BUMN kasus Jiwasraya. Dan lainnya.
Soeharto selaku presiden telah jadi oknum koruptor, yang perkaranya kemudian dinyatakan SP3, mengingkari Tap MPR XI/1998 dan TAP MPR VIII/2001. Namun negara hukum mengingkari hukumnya.
Bulan Maret senantiasa boleh membawa ingatan kita, asal jangan mendendam, tentang kejahatan HAM oleh oknum mantan presiden Soeharto, sebagai monster perampok kekayaan negara dan uang pajak yang ditaksir 7.000 Triliun, saat harga emas tertinggi pada 1998 sekitar Rp. 120.000,-/gram. Hitunglah berapa besarnya korupsi itu dengan nilai harga emas hari ini Rp. 1.054.000,-/gram. Kabarnya disembunyikan di Swiss. Belum lagi programnya BLBI mengucurkan ratusan trilliun rupiah ke kas para kroninya, anak-anaknya, dan aparaturnya. Kecuali hanya amat sedikit figur bersih, salah satunya mantan Kapolri, Jend. Pol (Pur) Hoegeng Imam Santoso.
Kejahatan HAM merampok kekayaan negara ini, menenggelamkan mayoritas penduduk Indonesia ke waduk kemiskinan.
Pemiskinan penduduk itu melengkapi nafsunya haus darah membunuh penduduk Indonesia, ditaksir 500 ribu s/d 3 juta jiwa, hanya dalam masa nyaris 2 tahun (1965 dan 1966) saja. Berlipat ganda lebih banyak dari korban jumlah mati dan luka pada perang dahysat di Vietnam yang terjadi berpuluh tahun.
Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, mendesak pemda agar warga tercatat stunting di lokasinya menyantap banyak ikan mengatasi stunting.
Anjuran itu sungguh amat ilmiah, sudah bukan hal baru bahkan pengetahuan normal masyarakat umum. Sejak dahulu kala. Tanpa sekolah pasti sudah tahu. Keluarga stunting itu bukan ogah santap. Tapi ikan itu bagi mereka barang mewah. Tak terbeli. Akibat kemiskinan struktural yang direkayasa para monster korupsi sebagaima ditunjukkan singkat diatas.
Pravalensi stunting 26,6% di tahun 2022. Memilukan! Ditengah kondisi pravalensi stunting 26,6% itu, memilukan itu, Mario Dandy dan Eko Darmanto memamerkan kekayaan diantara praktek secuil korupsi di dalam negeri. Bukan mewakili korupsi segunung. Belum pula yang dipamerkan di brankas luar negeri. Menjijikkan! Tidak tahu malu!
Para koruptor berkubang dalam budaya gairah hedonis. Sungguh menyebar moral tidak tahu malu, tanda kita ditengah kondisi darurat moral, darurat budaya. Dekadensi budaya merebak. Aktualisasi diri pelajar sengaja berantam di jalanan raya. Guru agama perkosa siswa. Gara-gara dinasehati, cucu bunuh kakek. Perceraian dipamerkan di TV. Baru saja terjadi kemarin oknum mantri RSUD, SH menghilangkan nyawa Kepala Desa Curuggoong, Serang, Banten dengan suntikan dipunggung korban. Pelaku SH melepas emosi prasangka buruk terhadap Kades itu yang fotonya terdapat di dompet istri dan
sering mendekati istrinya.
Mario Dandy Satriyo yang apes. kasusnya perkusi David Ozara viral di media massa. Jika tidak viral belum tentu kekayaan tak wajar itu terkuak, meski terbilang hitungan gundukan.
Momen ini patut berlanjut membongkar praktek korupsi jumbo segunung. Kita mayoritas penduduk miskin wajib ekstreem menagih Menteri Muhadjir Effendy dan semua Menteri lainnya segra bertindak sama dengan Menko Mahmud MD dan Menkeu Sri Mulyani.
Sementara itu liputan tertentu kasus itu seakan gejala mengusung keluar dari kriminal, ditandai seseorang tak proporsional diliput menjenguk David. Berhubung korbannya parah patut dihibur dan diberi semangat. Juga dijenguk. Semestinya proporsional sedemikian pula khusus oleh pejabat terkait menjenguk para korban santri putri yang diperkosa ustadz atau siswa putri yang diperkosa pendeta. Diketahui para korban putri itu mengalami cedera fisik yang parah, tak bisa dipulihkan seumur hidupnya dan mungkin di antaranya hamil. Dalam konteks kriminal, penderitaan para putri korban perkosaan itu beban teramat berat, lagi pula seumur hidup korban.
Menkeu Sri Mulyani dan Menko Polhukam telah bergerak tangkas bersihkan koruptor di jajarannya.
Target Menko PMK mengatasi Stunting dimungkinkan dicapai bila uang dan aset korupsi Soeharto yang dahulu sebesar 7.000 Triliun itu dapat ditarik kembali. Juga aset para koruptor di zaman SBY dan lainnya, termasuk yang terjadi pada masa sekarang.
Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI sudah bekerja hampir setahun baru berhasil menarik 28,37 T. Fakta ini menunjukkan perlu tindakan lebih keras secara hukum. Apakah pak Muhadjir Effendy turut tringginas menagih DPR mengesahkan UU tentang perampasan aset koruptor?
Sila ke-5 Pancasila, dalam operasional di lapangan dipercayakan ke Menko PMK yang berwenang mengkordinasi kementerian dibawahnya.
Selayaknya, terutama penduduk mayoritas miskin apalagi yang stunting menagih Menko PMK Muhadjir Effendi bertindak lebih berani berantas korupsi dilingkungan kementerian di bawah kordinasinya.
Praktek hedonis berlangsung sebagai virus budaya, yang merunyamkan sektor kesejahteraan, apakah jajaran kementeriannya Menko PMK sudah menemukan pemunahnya teristimewa mengawal pembangunan karakter moral anti korupsi di kalangan generasi muda? Terlebih pula jika BPIP yang Dewan Pengarah di-ketuai Megawati Sukarnoputri, mandek, apa langkah kongkrit pemicu rakyat supaya berbudaya anti korupsi merealisasi Pancasila, khususnya sila ke-lima?
Praktek hedonis Mario sejatinya berukuran kecil, mewakili korupsi Rafael Alun baru peringkat milyar rupiah. Dua digit. Sudah korupsi ratusan trilliun oleh seorang saja Ferdy Sambo. Jangan berhenti berantas korupsi.
Rencana Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam tahun 2023 ini target stunting jadi 17% ditengah masih maraknya budaya hedonis dan asset para koruptor belum disita. Mungkinkah mulus dilaksanakan hingga berhasil?
Sudahkah lenyap adagium rezim orba Soeharto “kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah” di kementerian yang dikordinasi Menko PMK?
Bekasi, 14 Maret 2023
* Penulis, Toga Tambunan, pengamat sosial politik