Oleh: Achmad Ubaidillah**
Dewasa ini, radikalisme dan fundamentalisme yang berwujud dalam wajah kekerasan atas nama agama masih saja dijumpai di banyak negara tidak terkecuali di Indonesia. Terjadinya kekerasan yang mengatasnamakan agama tentu saja sangat memprihatinkan mengingat agama yang bermisi kedamaian menjadi tereduksi dengan tindakan-tindakan yang bertentangan dengannya. Padahal sejatinya seluruh dimensi kehadiran agama haruslah senantiasa mengemban misi penyelamatan manusia (the salvation of man) dalam kehidupan.
Ironisnya, dalam kenyataan hidup kita menyaksikan agama yang semestinya diposisikan tidak sekadar sebagai keyakinan yang menghubungankan manusia dengan sesuatu yang gaib melainkan harus dioperasionalkan sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan damai, juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan pertikaian, ketika beberapa aspek ajaran agama (Baca: Islam) seperti konsep tentang jihad yang telah diinterpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. Interpretasi yang subjektif itu, memberi wewenang kepada para pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang atas nama Tuhan dan kitab suci. Konflik itu terjadi di sepanjang garis pemisah agama dan kebudayaan. (M. Basyuni, 2015) Secara umum, berdasarkan penelusuran historis, fenomena radikalisme dan fundamentalisme sesungguhnya merupakan gejala yang terjadi di hampir semua agama, baik yang dapat menimbulkan kekerasan agama ataukah tidak. (Nur Syam, 2005: 1)
Radikalisme atau fundamentalisme memang merupakan fenomena agama-agama. Radikalisme atau fundamentalisme tidak hanya dilabelkan kepada penganut Islam, tetapi juga penganut agama lain. Kekerasan di dalam agama Hindu dapat dijumpai dalam kasus kekerasan agama di India Selatan, yaitu antara kaum Sikh haluan keras dengan Islam. Di Israel juga dijumpai kekerasan agama antara Kaum Yahudi Ultra dengan umat Islam. Di Jepang juga dijumpai kekerasan agama Shinto dalam bentuk penyimpangan agama yang mencederai lainnya. Demikian pula di agama Kristen seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat dan juga belahan Eropa lainnya. Di dalam Islam juga dijumpai kekerasan agama seperti terjadinya berbagai terror baik yang langsung maupun tidak langsung mencelakai orang lain. (M. Noor, dalam Perta, Vol. V/No. 02/202: 4-5).
Namun demikian, penggunaan istilah radikalisme atau terorisme sering sengaja atau tidak dialamatkan kepada umat Islam, yang menurut Dr. Ahmad Syafii Maarif, hal ini merupakan semacam kecelakaan sejarah. Menjadi demikian karena memang posisi Islam sebagai kekuatan peradaban sedang berada di buritan. Umat Islam sangat tersudut, karena pelaku teroris mayoritas beragama Islam dan dalam aksinya selalu menggunakan simbol-simbol Islam. Bahkan, media massa yang didominasi oleh media Barat menuduh Islam sebagai basic Idea dari terorisme. (Santosa, 2011).
Pada kenyataannya, radikalisme dan fundamentalisme selalu berurusan dengan kekerasan agama-agama yang tampak dalam coraknya yang simbolik dan aktual. Secara teoretik, kekerasan simbolik terjadi manakala di dalam suatu masyarakat terdapat kelompok yang langsung maupun tidak langsung menggunakan simbol-simbol bahasa atau wacana yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan bersama. Di sisi lain, kekerasan actual terjadi manakala sekelompok penganut agama menggunakan kekuasaan untuk memaksa kelompok lainnya melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya. Kekerasan dapat dilakukan oleh kelompok mayoritas maupun minoritas, tergantung pada faktor-faktor yang memicu dan menyebabkannya (Nur Syam, 2005: 2)
Genealogi Radikalisme Agama
Fenomena radikalisme dan fundamentalisme agama ini menjadi mengedepan pasca peristiwa Black September. Pada tanggal 11 September 2001 dan dalam konteks Indonesia adalah peristiwa bom bunuh diri di beberapa tempat yakni Bom Bali dan beberapa peristiwa Bom Bunuh Diri di Jakarta.
Dalam sebuah buku berjudul Islam dan Radikalisme (2004), Rahimi Sabirin menjelaskan bahwa radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai oleh empat hal, yaitu: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, (2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri (paling benar), menganggap orang lain salah, (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan (memisahkan) diri dari kebiasaan umat Islam kebanyakan, dan (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Umumnya radikalisme muncul dari pemahaman agama yang tertutup dan tekstual. Kaum radikal selalu merasa sebagai kelompok yang paling memahami ajaran Tuhan, karena itu mereka suka mengkafirkan orang lain atau menganggap orang lain sebagai sesat. Dalam sejarahnya, terdapat dua wujud radikalisme, yaitu (1) radikalisme dalam pikiran, yang sering disebut sebagai fundamentalisme, dan (2) radikalisme dalam tindakan, yang sering disebut sebagai terorisme.
Sedangkan bagi Habermas, salah satu karakter utama fundamentalisme terletak pada kekakuan sikap yang ditampakkan; mentalitas, sikap kepala batu yang menekankan pada pemaksaan secara politik keyakinan-keyakinan atau alasan-alasan sepihak, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan keagamaan, bahkan kendati hal tersebut tidak bisa diterima secara rasional. (Borradori, 2005: 45-46). Terlepas dari perbedaan rumusan, mereka sepakat bahwa fundamentalisme merupakan pola keberagamaan (bukan agama) untuk kembali kepada sumber ajaran secara rigid sebagai respon terhadap segala sesuatu yang dalam anggapan mereka merupakan krisis.
Dalam sejarah Islam, fundamentalisme dalam pengertian kembali kepada sumber ajaran secara literalistik senyatanya sudah muncul sejak masa awal, pada masa terjadinya perjanjian perdamaian antara pihak Ali (ra) dan kelompok Mu’awiyah. Pada saat itu ada kelompok yang menganggap kafir baik Ali (ra) maupun Mu’awiyah. Dalam pandangan mereka, kedua figur itu telah melakukan arbitrase yang tidak sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam Teks Suci. Karena itu, kedua figur itu harus dibunuh.
Fundamentalisme dalam Islam bukan hanya dihadapkan kepada modernitas, tapi juga terhadap tradisi dan sejenisnya. Kelompok fundamentalis terperangkap dalam perasaan yang mendalam dalam bentuk kekalahan, frustasi, dan keterasingan bukan hanya terhadap institusi kekuasaan modern, tetapi juga terhadap warisan dan tradisi Islam. (Abd `Ala, 2008: 10). Sebelum fundamentalisme Muslim berhadapan dengan modernitas, persoalan utama mereka tentunya nyaris hanya terkait dengan frustasi mereka terhadap tradisi Islam dan sejenisnya.
Pemikiran dan sikap keagamaan model Khawarij ternyata diteruskan oleh faham Wahabi di Arab Saudi pada abad ke12 H/18 M yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan ini bermaksud memurnikan ajaran Islam, dan menuduh kaum muslim yang tidak sependapat dengan mereka. Hingga saat ini, radikalisme Islam terus berkembang. Radikalisme demikian tidak mudah dihilangkan karena terkait dengan pemahaman teologi dan syariat Islam yang kaku. (Santosa, 2011)
Dalam konteks Wahabi, belum lama ini muncul wacana pembongkaran dan pemindahan makam Rasulullah SAW dan situs-situs penting bersejarah lainnya di area Masjid Nabawi di Madinah oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, yang diback-up oleh kelompok ekstremis Wahabi. Wacana atau usulan ini dimuat dalam sebuah dokumen yang ditulis oleh seorang ilmuwan dari kalangan Wahabi, Dr. Ali bin Abdul Aziz al-Shabal dari “Muhamad ibn Saud Islamic University” Riyadh, dan telah diedarkan kepada Komite Kerajaan Arab Saudi. Rencana semacam ini sesungguhnya bukan kali yang pertama. Karena pada sekitar tahun 1924 yang silam, kelompok ekstremis Wahabi ini sudah hampir benar-benar melakukan pembongkaran terhadap makam Rasulullah SAW tersebut. Namun rencana itu akhirnya berhasil digagalkan lantaran derasnya kecaman dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari kalangan ulama Indonesia sendiri yang tergabung dalam wadah “Komite Hijaz”, sebuah organisasi yang menjadi cikal bakal lahirnya jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU) yang dimotori oleh Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahhab Chasbullah dari Jombang. Sepanjang sejarahnya, sejak awal kemunculannya pada abad ke 18 M, kelompok ekstremis Wahabi ini memang sangat gencar melakukan pembongkaran bahkan pengrusakan terhadap situs-situs penting bersejarah umat Islam, melalui slogan mereka yang sangat populer namun sesungguhnya sangat salah kaprah dengan mengatas-namakan gerakan “tajdid al-‘aqidah” (pembaharuan akidah), yakni: “demi membebaskan umat Islam dari prilaku syirik, khurafat, tahayul dan bid’ah”, sehingga makam-makam para Nabi dan para Auliya pun tak luput dari serangan brutal mereka.
Selain itu, perlu juga kita ketahui, bahwa di antara ajaran khas kaum Wahabi ini adalah: mengkafirkan imam besar sufi yang menjadi panutan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Imam Ibnu ‘Arabi dan Imam Abu Yazid al-Bustami; mudah memberi label “kafir” terhadap umat Islam lain yang dianggap tidak sepaham; memvonis sesat kitab “Aqidatul Awam” dan “Qashidah Burdah”; menganggap sesat pengikut madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah; mengubah beberapa bab dalam kitab-kitab karangan ulama salafus shalih agar sesuai dengan paham mereka, seperti kitab “al-Adzkar” karangan Imam An-Nawawi; mereka juga menolak perayaan Maulid Nabi karena menganggap acara tersebut sebagai bid’ah dholalah, termasuk menolak kitab “Ihya’ Ulumuddin” karangan Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. (M. Kholil, 2014)
*Artikel ini adalah paparan yang disampaikan dalam seminar “Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”, yang di selenggarakan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) di Jakarta 30 April 2016.
**Penulis adalah Direktur Pusat Studi Pesantren Al Falak, Bogor