Oleh: Achmad Ubaidillah**
Terorisme yang dilakukan kalangan fundamentalisme Islam jihadis sejak peristiwa 11 September 2001 hingga saat ini pada kenyataannya memang merupakan fenomena yang terus menyeruak. Terorisme fundamentalis Islam jihadis yang bekerja mirip sebuah sel pun bahkan menjadi fenomena di banyak negara tidak hanya terjadi di kawasan Timur Tengah.
Tidak dapat dimungkiri bahwa agama Islam dengan ajaran-ajarannya yang tertuang di dalam kitab suci al-Quran dan Hadits, akhir-akhir ini kerap disudutkan dan diidentikkan sebagai “agama kekerasan”, “agama teroris”, dan sebutan-sebutan negatif lainnya. Tentu saja umat Islam secara umum akan sangat tidak setuju dan menolak keras anggapan seperti itu. Namun perlu dipahami, bahwa anggapan semacam ini muncul sedikitnya disebabkan oleh dua hal: Pertama, karena adanya sebagian kaum orientalis (para ilmuwan Barat yang mengkaji ajaran-ajaran Islam), meskipun tidak semuanya, yang sejak awal kajiannya terhadap Islam memang bertujuan mendiskreditkan Islam melalui teks-teks ajaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, sebagian kaum orientalis semacam ini berupaya menyudutkan citra Islam melalui teks-teks ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan hadits Nabi. Mereka umumnya sangat tertarik mengkaji teks-teks keislaman yang berkaitan tentang “perang” (jihad), baik yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran maupun hadits-hadits Nabi. Teks-teks tersebut kemudian oleh mereka “diotak-atik” atau “dipoles” sedemikian rupa dengan pemahaman dan penafsiran sesuai kepentingan mereka sendiri yang sangat tidak objektif dan menyudutkan, demi meyakinkan masyarakat dunia bahwa Islam adalah agama yang melegitimasi peperangan dan kekerasan.
Kedua, karena adanya pemahaman dari sebagian kelompok umat Islam sendiri, terutama dari kalangan Islam Garis Keras yang sangat dangkal dan tekstual dalam memahami ajaran Islam, tanpa memahami konteks dan inti maqashid as-syari’ah dari masing-masing ajaran itu. Dengan kata lain, kelompok umat Islam semacam ini umumnya memahami teks ajaran Islam hanya berhenti pada tataran al-ma’na (makna permukaan) yang sekiranya sesuai dengan selera dan kepentingan mereka sendiri, namun mereka gagal menggali aspek al-maghza (kedalaman substansi dan spirit ajaran) yang terkandung di dalamnya. Sehingga, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh mereka pun sesungguhnya tidaklah berbeda dengan pemahaman yang dihasilkan oleh sebagian kaum orientalis di atas. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah, kelompok umat Islam semacam ini, dengan bekal pemahaman keagamaan mereka yang sangat kaku dan tekstual itu, justeru menganggap diri mereka sebagai kelompok umat Islam yang paling benar (truth claim), bahkan mudah memberi label “kafir” terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sepaham dengan mereka sehingga layak diperangi. Cara berpikir semacam ini sungguh sangat keliru dan berbahaya bagi kerukunan hidup umat Islam sendiri, lebih-lebih dalam hubungan antar umat beragama dan hubungan masyarakat sebangsa-setanah air yang penuh dengan kemajemukan. Itu semua karena doktrin atau ajaran yang dikembangkan oleh mereka cenderung eksklusif, ekstrem, fanatik, tidak toleran, radikal, dan keras. Di antara doktrin yang paling sering diusung oleh mereka hingga saat ini umumnya berkutat pada konsep “Khilafah Islamiyah” (terbentuknya Negara Islam) dan konsep “Jihad” dengan pemaknaan yang sangat dangkal dan sempit hanya sebatas “perang fisik” dan aksi-aksi “kekerasan” yang tanpa kompromi. Padahal, hakikat makna “Jihad” itu sendiri yang sesungguhnya adalah sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW di akhir berkecamuknya Perang Badar yang sangat dahsyat, bahwa jihad yang paling besar adalahjihad an-nafs (jihad memerangi hawa nafsu dan angkara murka yang bersemayam di dalam diri setiap manusia). (M. Kholil, 2014)
Namun demikian, tentu saja banyak argumentasi dan teori yang menjelaskan problem terorisme dari dua aspek yakni politik, dan ekonomi. Namun, jika dilihat dari literatur ilmu-ilmu sosial, jarang sekali dilihat sebagai persoalan teologis. Sebagian besar ahli melihatnya terkait dengan absennya ketidakadilan sosial, baik dalam kerangka mikro (nation state) mauun makro (global [dominasi Barat/Amerika Serikat]). Namun, ternyata faktor teologis sangat mempengaruhi terorisme Islam jihadis. Dalam hal ini kekeliruan interpretasi terhadap kitab suci. Secara teoritik, cara pandang ini diakui Max Weber (1864-1920). Baginya, tindakan apapun harus dipahami sebagai tindakan mental. Karenanya, yang harus dicari, tegas Weber, adalah pola pikir dan pola rasa di balik sebuah tindakan. Dalam konteks terorisme Islam jihadis, hal ini terlihat dari persidangan terhadap terdakwa teroris bernama Bayu Setyono 16 Mei 2013. Dalam persidangan terungkap bahwa dirinya tidak menyesal melakukan aksi terorisme dengan menyerang pos polisi Solo pada pertengahan Agustus 2012. Menurutnya, apa yang dia lakukan merupakan jihad untuk menegakkan hukum Allah. Alasannya, karena hukum di Indonesia adalah hukum peninggalan penjajah Belanda yang kafir. Dia mengaskan: “ Barang siapa yang mengaku berhak membuat hukum, selain hukum Allah, dia telah kafir. Dan halal darah dan hartanya, kecuali bertaubat”.
Dalam studi Islam, dengan mudah bisa dinilai bahwa pandangan Bayu di atas dan juga kelompok Islam jihadis seperti NII (Negara Islam Indonesia) berakar pada doktrin gagasan utama pencanangan kekuasaan mutlak Allah (al-hakimiyyah) lewat doktrin la hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka umumnya memahami jihad bukan dalam arti bertahan tetapi ofensif – sebagaimana dipahami Imam Samudra – yaitu proklamasi atas pembebasan manusia dari menghamba selain kepada Tuhan. Pandangan semacam ini secara metodologis dan sosial politik keindonesiaan tentu saja sangat problematik, bahkan keliru. Alasannya: pertama, karena menurut Syeikh Nawawi Mirâh Labîd, Tafsîr an-Nawâwî, yang dianut oleh hampir semua ulama di Indonesia (baik di Muhammadiyah maupun Nahdhatul Ulama), sikap tidak memberlakukan syari’ah tertentu semisal hukum pidana Islam, karena ketidakmungkinan dalam format nation state, sebagai negara milik bersama, bukanlah sebuah kekafiran, dalam arti keluar dari Islam. (Sukron Kamil, 2015)
Gerakan Islam radikal dalam perkembangannya telah memberikan warna berbeda bagi perjalanan corak keberagamaan di Indonesia. Misalnya dalam pengalaman umat Islam terjadi polarisasi yang sangat tajam antara Islam moderat dan Islam radikal di masa sekarang. Setelah Islam moderat berhasil mendapatkan tempat di hati penguasa sejak 1980-an, kini di era reformasi, mereka mendapat tantangan serius dari gerakan Islam radikal yang menyeruak ke dalam lapisan sosial masyarakat. Mereka berhasil merebut simpati publik secara terbatas dengan membangun opini publik dan organisasi gerakan. Tak heran jika suara mereka di pentas nasional begitu nyaring terdengar. Karena itu, perkembangan radikalisme Islam di Indonesia merupakan suatu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan pluralisme di Indonesia. Sebagai antisipasi, perlu memperluas gerakan Islam yang moderat, pluralis, dan inklusif di tengah-tengah masyarakat. Gagasan moderasi ini baik secara diskursif maupun praktik, diyakini sebagai penopang terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era mulikultural. Karena bagaimanpun, multikulturalisme merupakan realitas historis dalam masyarakat yang mesti disikapi secara positif. (Miswari, 2004: 56)
Deradikalisasi dan Rehabilitasi Terorisme
Agama sering dijadikan legitimasi aksi kekerasan oleh para pengusungnya melalui penafsiran yang distorsif. Memonopoli penafsiran agama membawa implikasi destruktif pada tataran kehidupan masyarakat, sehingga muncul kesan seakan-akan agama yang dibajak penafsiranya itu telah menjadi arus utama kehidupan beragama. Padahal misi suci agama tidak sama dengan yang diekspresikan oleh para pelaku kekerasan yang selama ini selalu bersandar pada pengertian jihad. Kemudian bagaimana mestinya jihad dimaknai? Jihad kerap diartikan sebagai perjuangan fisik yang berbuntut penyerangan dan kekerasan. Oleh karenanya, makna jihad mestinya selalu direkonstruksi sebagai sebuah ajaran yang substansial. Misalnya, membebaskan makna jihad dari tirani kognitif-epistemologis yang sempit. Jihad harus diletakkan sebagai sebuah pesan agama yang mengandung makna terdalam.
Kata jihad dalam bahasa Arab erat sekali kaitannya dengan makna ijtihad yang secara definitif diartikan sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk mencari solusi keagamaan dan persoalan sekular. Upaya pemaknaan ini lebih tepat disebut sebagai jihad dalam bidang kultural dan intelektual sebagai energi kehidupan umat menuju kemajuan peradaban. Distorsi makna jihad sebagai perjuangan dalam bentuk fisik yang amat partikular, pada urutannya bukan saja terus menodai citra agama (Islam) sebagai pembawa rahmat bagi semesta, melainkan juga terus menghantui umat sebagai kekuatan laten yang destruktif dan traumatik, justru dari dalam psikologis umat sendiri. Alhasil, implikasi negatif itu tak lain hanyalah sebuah beban psikologis-historis umat yang malah menambah persoalan, bukan solusi itu sendiri. Kalangan Barat sering menuding aksi teror dan bom bunuh diri merupakan bentuk radikalisme yang berakar dari perintah jihad dalam agama. Kasus bom bunuh diri dalam bom Bali I dan II, Hotel Marriot, Ritz Cartlon dan sederetan pemboman lain di wilayah Nusantara sebagian kalangan menyimpulkan bahwa semua itu sangat kental dengan sentimen agama sebab aksi mereka dalam lima tahun terakhir, selalu berakar pada konsep “jihad” di dalam Islam. Perilaku kekerasan dan teror tersebut pada dasarnya merupakan pembajakan terhadap nilai suci keagamaan. Secara eksplisit, bom Bali jilid II di Jimbaran dan Kuta dengan jelas menunjukkan ideologi kekerasan yang dikelindankan dengan keagungan ajaran agama. Agama oleh pengusung ideologi terorisme hanya melegitimasi teologi, memanipulasi penafsiran ajaran agama dengan pendekatan subjektivitas. Klaim identitas dan solusi agama yang diembel-embeli dengan jihad telah menjadi sikap sebagian kalangan Islam. Sikap dan perilaku semacam itu adalah bagian dari anakronisme sejarah yang akut. Dengan kata lain, penggunaan makna jihad sebagai ideologi kekerasan seringkali dikaitkan dengan romantisme
sejarah Islam masa lalu yang gemilang dan eksotis. Sebagai sebuah upaya mengembalikan kemenangan, justru penggempuran atas pihak lain yang dianggap sebagai representasi modernitas yang hegemon dihalalkan. Di sisi lain, makna-makna progresif dan dinamis dari ajaran Islam yang selalu mengajarkan the idea of progress secara universal-kosmopolitan dipungkiri. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa kecenderungan masyarakat elite dan awam yang masih dangkal pemikiran dan kesalehan dengan sikap ekstrim dan eksesif dalam beragama tidak bisa dipungkiri. Sejatinya, makna jihad mesti diletakkan pada keberagamaan yang toleran, moderat, solider, beradab, dan tidak membelenggu. Dengan demikian, tujuan (teleologis) agama adalah memanusiakan manusia melalui pembebasan yang fitrah secara universal tanpa kecuali. (Harfin Zuhdi, 2010: 89-91)
Fenomena semacam ini tentu saja perlu upaya penanganan dalam bentuk deradikalisasi yang juga telah diterapkan di sejumlah negara termasuk Eropa dan Amerika Serikat dengan tujuan untuk memberikan pelurusan kembali tentang makna Islam, terutama dari salah pemahaman makna jihad. Dengan melihat keinginan yang kuat dari pemerintah Indonesia dalam menanggulangi ancaman terorisme, dapat dikatakan bahwa deradikalisasi adalah satu solusi yang lebih mencerahkan ketimbang menggunakan kekuatan senjata dalam menghadapi para pelaku teror. Beberapa waktu terakhir, pendekatan “hard power” dalam memerangi terorisme seperti perang terhadap negara yang dianggap sarang teroris dinilai dunia hanya akan menyuburkan aksi-aksi teror yang lebih luas dan kejam sehingga mulai beralih ke pendekatan yang lebih beradab atau “soft power” seperti pendekatan agama sebagai bentuk deradikalisasi. Di Indonesia, program ini telah berjalan dan tentu saja perlu diapresiasi bersama.
Dalam setiap pembahasan terorisme, diskursus deradikalisasi kerap digagas sebagai salah satu ”obat” dalam penanganan terorisme di Indonesia. Melalui deradikalisasi itu, harapannya penganut ideologi radikal mengubah ideologinya hingga di level kognitif, lalu menerima nilai-nilai atau ideologi mainstream. Namun demikian, penting juga untuk menyimak pandangan John Horgan, peneliti dan Direktur International Center for the Study of Terrorism di Pennsylvania State University, dalam bukunya, Leaving Terrorism Behind. Ia berpandangan bahwa deradikalisasi dalam penanganan terorisme harus disertai strategi negara untuk memfokuskan pada upaya disengagement atau pemutusan keterikatan anggota teroris dengan jejaringnya, termasuk memutus segala aksesnya terhadap aksi kekerasan. Terlebih, derajat radikal tidaknya seseorang sulit diukur. Kerangka penegakan hukum, termasuk pemenjaraan, termasuk dalam disengagement. Dalam hal ini, praktik penegakan hukum yang kredibel menjadi kuncinya, termasuk penanganan rehabilitasi saat di penjara. (Febrianie, 2010).
Penutup
Radikalisme dan fundamentalisme yang berwujud dalam wajah kekerasan atas nama agama masih saja terjadi sesungguhnya telah mereduksi agama yang sesunggunya bermisi kedamaian yang kehadirannya justeru harus senantiasa mengemban misi penyelamatan manusia (the salvation of man) dalam kehidupan. Fenomena semacam ini sangat nyata merugikan Islam dan kaum muslim yang secara umum justeru menolak gagasan dan praktik kekerasan yang mengatasnamakan Islam.
Agama sering dijadikan legitimasi aksi kekerasan oleh para pengusungnya melalui penafsiran yang distorsif dan memonopoli penafsiran agama justeru telah membawa implikasi destruktif pada tataran kehidupan masyarakat, sehingga muncul kesan seakan-akan agama yang dibajak penafsiranya itu telah menjadi arus utama kehidupan beragama. Oleh karena itu upaya penanganan dalam bentuk deradikalisasi dan rehabilitasi terorisme merupakan upaya penting dan strategis yang perlu didukung luas oleh berbagai kalangan masyarakat khususnya umat Islam Indonesia yang sejak lama dikenal mempromosikan dan mempraktikan gagasan Islam moderat.
*Artikel ini adalah paparan yang disampaikan dalam seminar “Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”, yang di selenggarakan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) di Jakarta 30 April 2016.
**Penulis adalah Direktur Pusat Studi Pesantren Al Falak, Bogor