JAKARTA – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani mengusulkan, agar pendidikan antikorupsi masuk dalam kurikulum sejak jenjang sekolah dasar. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi dan mencegah perilaku koruptif di dunia pendidikan.
“Salah satu hal yang bisa didorong adalah memasukkan pendidikan antikorupsi secara lebih eksplisit dalam kurikulum sejak jenjang dasar,” ucap Lalu saat dikonfirmasi, Jumat (25/4/2025).
Berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Survei Penilaian Integritas (SPI), integritas pendidikan pada tahun 2024 turun dibandingkan 2023.Ā
Lalu menilai, penerapan pendidikan antikorupsi juga tidak bisa hanya diberikan sebatas teori saja, tapi juga harus diterapkan di kehidupan peserta didik.
“Bukan hanya sebatas teori, tetapi melalui praktik-praktik keseharian di sekolah, seperti kejujuran dalam ujian, penghargaan terhadap orisinalitas karya, serta keterbukaan dalam pengelolaan dana sekolah,” jelasnya.
Di sisi lain, Lalu mengatakan guru dan kepala sekolah juga harus menjadi teladan berperilaku antikorupsi, karena mereka punya posisi strategis dalam membentuk karakter peserta didik.
Selanjutnya, pemerintah pusat dan daerah dinilai perlu memperkuat program pendidikan karakter dan pengawasan dana pendidikan berbasis teknologi agar celah-celah koruptif bisa ditutup.
“Sinergi antara kementerian, lembaga pengawas seperti KPK, serta masyarakat sipil perlu ditingkatkan. Dunia pendidikan yang bersih adalah fondasi bagi Indonesia yang lebih berintegritas dan maju,” imbuh Lalu.
Di sisi lain, ia menambahkan, Komisi X DPR RI sangat prihatin bahwa perilaku koruptif di dunia pendidikan seperti menyontek, plagiat, hingga penyunatan dana BOS, masih marak di dunia pendidikan di Tanah Air.
Dia menyayangkan dunia pendidikan yang seharusnya menjadi benteng terakhir nilai-nilai kejujuran dan integritas, masih menjadi ladang subur praktik tidak etis.
“Jika sejak dini peserta didik sudah terbiasa dengan perilaku manipulatif, dampaknya bisa sangat panjang terhadap masa depan bangsa,” ungkap Lalu.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, politikus PKB ini menilai perbuatan koruptif di sekolah adalah peringatan bagi semua pihak. Persoalan ini harus diselesaikan secara sistemik.
Di sisi lain, budaya akademik harus dikembalikan kepada marwahnya yaitu menjunjung tinggi integritas dan etika.
“Perlu ada pembenahan menyeluruh, mulai dari tata kelola anggaran pendidikan yang lebih transparan, penguatan sistem pengawasan, hingga pembiasaan nilai-nilai kejujuran dalam proses belajar mengajar,” ucap Lalu.
Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI), integritas pendidikan tahun 2024 berada di angka 69,50 atau masuk dalam posisi koreksi. Adapun skor tersebut turun dari skor SPI 2023 yang berada di angka 71.
“Indeks Integritas Pendidikan Nasional tahun 2024 69,50 berada di level koreksi atau bermakna bahwa upaya perbaikan integritas melalui internalisasi nilai-nilai integritas sudah dilakukan, meski implementasi serta pengawasan belum merata, konsisten, dan optimal,” kata Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, dalam acara peluncuran SPI Pendidikan di Gedung C1 KPK, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Wawan mengatakan terdapat beberapa temuan dari hasil SPI Pendidikan 2024 baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi.
Pertama, terkait kejujuran akademik menunjukkan bahwa 78 persen sekolah dan 98 persen kampus masih ditemukan kasus menyontek.
“Kasus plagiarisme masih ditemukan pada guru/dosen di satuan pendidikan yaitu kampus (43 persen), sekolah (6 persen),” ujarnya.
Terkait ketidakdisiplinan akademik menunjukkan bahwa 69 persen siswa masih ada guru yang terlambat hadir ke sekolah, dan 96 persen mahasiswa menyatakan masih ada dosen yang terlambat ke kampus. Bahkan disebut juga, 96 persen kampus dan 64 persen sekolah masih ada dosen/guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
Terkait gratifikasi ada 30 persen dari guru/dosen dan 18 persen kepala sekolah/rektor masih menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid sebagai hal yang wajar untuk diterima. t
“65 persen sekolah ditemukan bahwa orang tua siswa terbiasa memberikan bingkisan atau hadiah kepada guru saat hari raya atau kenaikan kelas,” kata dia.
Kemudian, ada 43 persen sekolah dan 68 persen kampus menentukan vendor pelaksana/penyedia barang dan jasa berdasarkan relasi pribadi. Pengadaan/pembelian barang dan jasa dilakukan secara kurang transparan. Persentasenya sebanyak 75 persen sekolah dan 87 persen kampus.
Terkait penggunaan Dana BOS, sebanyak 12 persen sekolah menggunakan dana BOS tidak sesuai peruntukkannya. Di antaranya, 17 persen sekolah masih ditemukan pungutan terkait dana BOS; 40 persen sekolah masih ditemukan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa atau proyek; 47 persen sekolah masih melakukan penggelembungan biaya penggunaan dana lainnya.
Selain itu, hasil survei menunjukkan 28 persen sekolah masih ditemukan pungutan di luar biaya resmi dari sekolah dalam penerimaan siswa baru.
“Pungutan lain juga ditemukan dalam pungli pengajuan sertifikat, dan pengajuan dokumen di sekolah dan kampus,” ucap dia. (Enrico N. Abdielli)