Senin, 21 April 2025

“Dokter Jangan Lihat Kartu Waktu melayani?”

Oleh : Dr. Tonang Dwi Ardyanto, SpPK, PhD*

 

Beberapa waktu lalu Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menegaskan agar dokter jangan melihat kartu waktu melayani pasien. Apakah memang Dokter tidak boleh melihat Kartu Kepesertaan dalam memberikan pelayanan? Apakah Rumah Sakit (RS) tidak boleh melihat kartu kepesertaan? Persepsinya jangan digiring ke satu sisi. Regulasi yang ada sekarang memang mengharuskan RS dan pada kondisi tertentu juga Dokter untuk melihat kartu yang dimiliki.

 

Setiap orang yang ke RS, dengan maksud menggunakan Kartu BPJS, harus mendapatkan SEP (Surat Eligibilitas Peserta). Syarat dan kondisinya, ditentukan oleh BJPS. Jadi bukan RS atau dokter yang menyatakan sah tidaknya menggunakan Kartu BPJS.

Sebagian RS telah melakukan bridging (menghubungkan) antara sistem HIS (Hospital Informationl System) dengan database BPJS untuk melakukan verifikasi kepesertaan. Namun prinsip dasarnya, tetap saja yang menyatakan sah tidaknya adalah BPJS. Sekali lagi, bukan RS atau Dokter.

Setelah mendapatkan SEP, maka barulah pelayanan BPJS diberikan. Regulasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyatakan ada yang masuk pertanggungan dan ada yang tidak ditanggung, Siapa yang menentukan? Tentu pemerintah melalui Permenkes lah yang menentukan soal pertanggungan itu.

Yang tidak ditanggung cukup banyak, diatur dalam Permenkes Nomor 28/2014 selengkapnya ada di tulisan ini:

https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/ini-di-cover-bpjs-nggak-ya-bagian-2/821584584570532

atau di: http://proquaconsulting.com/home/ini-di-cover-bpjs-nggak-ya-bagian-2.html
Pilihan obat juga sudah ditentukan dalam Formularium Nasional, melalui Kepmenkes No 328/2013 dan revisinya Kepmenkes Nomor159/2014. Pelayanan pasien dengan BPJS harus menggunakan obat dalam daftar itu.

Ketika membeli, Permenkes Nomor 28/2014 juga mengatur harga dan cara pembelian obat yang ditentukan melalui melalui E-Catalog dan E-Purchasing. Bisa dilihat di : https://katalog-obat.lkpp.go.id/e-katalog-obat/.

Masalahnya, belum semua masuk dalam katalog tersebut, sehingga mengganggu penyediaannya di RS dan Apotik yang bekerjasama dengan BPJS. Lebih berat lagi di RS swasta, karena mekanisme e-purchasing tidak selancar bagi RS Negeri.

Bagaimana tentang pemilihan penggunan alat kesehatan? Itu sudah diatur juga dalam Kepmenkes Nomor 118/2014. Di sana terdaftar alat-alat yang diijinkan penggunaannya. Tidak ada permainan oleh RS atau Dokter? Sistem kendalinya sudah dirancang oleh pemerintah dalam Permenkes Nomor 71/2013. Selengkapnya di sini:
https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/kendali-mutu-dan-kendali-biaya-penggunaan-obat-dan-alat-kesehatan/806038002791857

Atau di: http://proquaconsulting.com/home/kendali-mutu-dan-kendali-biaya-penggunaan-obat-dan-alat-kesehatan.html

Kesejahteraan Dokter?

Bagaimana kalau sampai diperlukan obat yang di luar Formularium Nasional (Fornas)? Nanti ada permainan lagi dengan farmasi? RS dan dokter boleh memberikan obat di luar Fornas. Tetapi harganya ditanggung sendiri oleh RS dan tidak diganti oleh BPJS. Juga tidak boleh juga dimintakan pada pasien. Hal ini diatur dengan jelas dalam Permenkes Nomor 28/2014.

Apa dokter tidak ingin “kesejahteraan”? Apa artinya kalau malah dianggap fraud dan gratifikasi dengan ancaman pidana? Bukan insentif dokter, tapi yang lebih penting adalah standar pelayanan. Sedangkan untuk “kesejahteraan” dokter, lebih diharapkan dalam bentuk-bentuk fasilitas pengembangan kapasitas dan kompetensi. Kemudahan dari pemerintah untuk mengakses sumber-sumber ilmiah, juga dalam berpartisipasi dalam kegiatan ilmiah. Itulah yang lebih penting.

https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/bukan-insentif-dokter-tetapi-standar-pelayanan/648378315224494

atau di: http://proquaconsulting.com/home/bukan-insentif-dokter-tetapi-standar-pelayanan.html

Bagaimana dengan iur biaya karena naik kelas? Iur biaya hanya boleh ditagihkan kepada pasien bila naik kelas ke kelas di atas kelas 1. Selisih antara tarif INA-CBGs dengan tarif lokal itu yang ditanggung pasien. Bila hanya naik dari kelas III ke kelas II atau kelas I, maka yang harus ditanggung adalah selisih sesuai tarif INA-CBGs atar kelas. Ini harus dipahami agar tidak timbul salah paham.

https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/tombok-berapa-kalau-naik-kelas/817008558361468

atau di: http://proquaconsulting.com/home/tombok-berapa-kalau-naik-kelas.html

Lha koq itu banyak yang ditolak karena RS penuh? Apa karena pakai kartu BPJS?

Kita harus hati-hati menyatakan bahwa RS menolak pasien. Kalau benar RS menolak pasien pada kondisi gawat darurat tanpa alasan yang sah, maka Undang-undang sudah mengaturnya sebagai pelanggaran.

Tapi, harus pula dicermati, apa sebenarnya alasan RS sampai terpaksa tidak bisa menerima pasien tersebut?

https://www.facebook.com/notes/tonang-dwi-ardyanto/menolak-pasien-rs-akan-dipidana/750489298346728

atau di: http://proquaconsulting.com/home/menolak-pasien-rs-akan-dipidana.html

Pasien Mbludak

Satu lagi yang penting. Mengapa setelah era JKN kok malah RS menjadi penuh membludak? Kalau kita lihat, sekarang ini di RS pemerintah, pasien justru sangat banyak, sampai harus dirawat di tempat-tempat yang sebenarnya kurang layak. Mengapa? RS Pemerintah dibebani “aturan” tidak boleh menolak pasien dalam kondisi apapun. Disebut “aturan” karena muatan politis dalam hal ini sangat besar.

Sampai-sampai ada bahasa rutin di garda depan RS Pemerintah, “ Nyatanya memang pasien sangat banyak, kamar benar-benar sudah penuh, kalau bersedia di rawat di tempat seadanya, kami tidak pernah menolak, tapi nanti jangan dilaporkan bahwa kami menelantarkan pasien,”

Kalau ada pasien yang sebenarnya tidak perlu rawat inap, maka RS harus menanggung risiko, karena besoknya mudah muncul berita “RS menolak pasien padahal kesakitan, hanya gara-gara pakai Kartu BPJS,”

Kalau ada pasien yang sudah layak dipulangkan, maka RS juga harus menanggung risiko, karena besuknya mudah muncul berita “RS memaksa pasien pulang padahal belum sembuh, gara-gara pakai Kartu BPJS,”

Sebelum era JKN, angka kunjungan berobat adalah 4,2 per 1000 penduduk per bulannya. Menjelang JKN 1 Januari 2014 muncul perhitungan bahwa akan terjadi peningkatan kunjungan menjadi 9,1 per 1000 penduduk per bulan.

Mengapa?  “Biasanya kalau sakit pada takut berobat. Tetapi pada era BPJS nanti, orang akan lebih aktif untuk mendatangi fasilitas kesehatan,” papar Wamenkes Ali Ghufron Mukti (2013-2014) beberapa waktu lalu.

Belum ada laporan di media saat ini secara angka pasti. Tetapi saya menduga perkiraan 9,1 per 1000 penduduk per bulan itu benar adanya. Buktinya? Silakan sekali-sekali kunjungi IGD RS Pemerintah, maka akan terlihat jelas gambarannya. Satu sisi ini harus disyukuri karena berarti masyarakat tidak perlu takut lagi berobat hanya karena alasan biaya. Di sisi lain, adalah keprihatinan melihat kondisi penuh sesak tersebut.

Seharusnya, jumlah tempat tidur di RS adalah 1 per 1.000 penduduk. Kita masih banyak sekali kekurangan. Perbandingannya masih di angka 1 per beberapa ribu bahkan belasan ribu penduduk. Bisa dibayangkan, ketika angka kunjungan bertambah lebih dari 100% tetapi jumlah tempat tidurnya kurang.

Pesan kami mohon tidak tergesa-gesa menuding bila terjadi pelayanan kurang menyenangkan dengan kondisi yang demikian. Jadi, kembali ke pertanyaan pertama:

Apakah Dokter dan RS harus melihat kartu saat memberikan pelayanan? Jawabnya HARUS!

 

*Penulis aktif di Fakultas Kedokteran, Universitas Negeri Surakarta (UNS) dan di Rumah Sakit Dr. Moewardi, Surakarta

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru