JAKARTA– Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan hal yang tengah trend secara global. Semangatnya menyeimbangkan karakter korporasi yang cenderung mengejar laba (profit) dengan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan dan masyarakat (CSR). Implementasinya tidak mudah. Keluhan dari berbagai daerah, masih terdapat korporasi enggan melaksanakan program CSR. Belum lagi perdebatan CSR antara dikelola korporasi atau masuk kas daerah. Bagaimana pula pertanggungjawaban dan sanksinya. Lalu, apakah bagi masyarakat ada jaminan keberlanjutan dampak dari CSR.
Kegelisahan menyangkut program CSR di atas mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum di Komite III DPD RI pada hari Selasa (8/3) di Jakarta. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris dengan menghadirkan narasumber Mulyadi Sumarto, Ph.D (UGM) dan Purdyadono Prajarto, SE.,SH.,MM (Universitas Trisakti).
Mulyadi Sumarto menyampaikan, diberbagai negara ada berbagai model pengelolaan CSR. Ada yang dikelola oleh pemerintah maupun hanya swasta semata. Serta ada pula yang kolaborasi antara pemerintah dan swasta. Terdapat tradisi diberbagai negara bahwa secara kontinyu, setiap korporasi melakukan laporan kegiatan CSR (CSR Reporting). Hasil survey di 41 negara menunjukkan, pada CSR Reporting tidak ada keseragaman penyebutan. Ada yang menggunakan istilahSustanaibility, Corporate Responsibility, Sustainable Responsibility maupun Corporate Citizenship. Selain digunakan istilahCorporate Social Responsibility (CSR).
Di berbagai negara, berdasarkan survey tadi, tradisi CSR Reporting rutin dilakukan dan disampaikan pada lembaga yang kapabel melakukan review CSR. Di Inggris dan Australia, ada kewajiban bagi korporasi yang terdaftar di pasar modal maka wajib menyampaikan CSR Reporting ke publik.
Dari segi hukum, bila CSR hendak diatur maka isu tanggung jawab lebih kuat untuk digunakan sebagai nomenklatur bila dibandingkan istilah komitmen atau konsep. Sebab, tanggung jawab dapat memiliki implikasi hukum sehingga memungkinkan CSR diatur secara hukum. Selain itu, penyusunan regulasi CSR umumnya mengacu pada UN Global Compact dan ISO 26000 sebagai guidance (yang didalamnya mencakup hubungan industrial, lingkungan, aturan anti korupsi, penghargaan hak konsumen dan community development).
Mulyadi Sumarto dan Purdyadono Prajarto sepakat bahwa pengaturan CSR saat ini pada regulasi Indonesia baik dalam UU PT maupun Peraturan Pemerintah (PP) menghadapi masalah. Pertama, kewajiban CSR hanya dikenakan pada PT. Maka, menjadi pertanyaan, bagaimana dengan CV dan koperasi misalnya. Kedua, aspek yang hendak diatur dalam CSR tidak jelas. Berbeda dengan UN Global Compact dan ISO 26000 yang mengatur CSR secara jelas dan jernih. Ketiga, besaran anggaran yang tidak jelas karena menggunakan istilah kepatutan dan kewajaran. Istilah ini sangat bias tolok ukurnya. Keempat, regulasi CSR tumpang tindih dengan aturan seperti UU Fakir Miskin dan UU Migas misalnya yang mengatur pemanfaatan dana CSR padahal hal serupa telah diatur di UU PT.
Bagi Purdyadono Prajarto, CSR tidak dapat ditolak. CSR merupakan trend global. Korporasi di Indonesia termotivasi melakukan CSR karena konsumen mereka di negara lain mempersyaratkan program CSR bila hendak menjalin usaha. CSR memiliki makna luas. Tidak sekedar membagikan dana atau donasi keuntungan bagi masyarakat. Namun, lebih holistik. Bila mereka memanfaatkan sumber daya yang ramah lingkungan. Menjaga hak asasi manusia. Mematuhi aturan. Proses produksi dan distribusi ramah lingkungan sesuai standar. Maka, bila hal tersebut dilakukan, CSR telah dilakukan. Jadi, CSR memaksimalkan efek positif dari korporasi.
CSR memiliki dampak positif bagi korporasi. Meningkatkan citra perusahaan. Mengembangkan kerjasama dengan pemangku kepentingan. Menghasilkan inovasi dan pembelajaran untuk meningkatkan pengaruh perusahaan. Serta meningkatkan harga saham. Namun, implementasi CSR terdapat potensi duplikasi dan tumpangtindih dengan program pemerintah karena kurang komunikasi dan koordinasi. CSR juga harusnya diprioritaskan di ring 1 di wilayah korporasi. Selain itu, CSR masih bersifat reaktif.Seharusnya proaktif untuk memitigasi resiko. Regulasi CSR seharusnya tidak lebih menekankan pada sifatnya memaksa. Namun, membangun kesadaran dan partisipasi pemangku kepentingan. Ujungnya diperlukan insentif pemerintah bagi korporasi yang melakukan CSR dengan patut berupa kemudahan administrasi dalam investasi.
Narasumber sepakat apabila CSR hendak diatur dalam undang-undang tersendiri. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, UU CSR harus dapat memastikan menguntungkan semua pemangku kepentingan. Karena itu perlu pengaturan social mapping atau need assesment. Kedua, sebaiknya perlu dipertimbangkan positif negatif penentuan besaran CSR. Diperlukan riset agar dapat diminimalisasi efek negatif. Ketiga, perizinan di level lokal dapat menjadi insentif bagi pemanfaatan CSR, khususnya di ring 1 dimana korporasi berada. Keempat, perlu diatur forum dialog/komunikasi kemitraan CSR antar pemangku kepentingan untuk mengkaji dan implementasi pemanfaatan CSR. Kelima, perlu dipastikan CSR bukan programnya berkelanjutan, melainkan dampaknya. Dengan demikian, kemandirian masyarakat lokal di sekitar korporasi merupakan salah satu tujuan. Pelatihan sumber daya manusia bisa menjadi alternatif. Keenam, perlu diatur koordinasi optimal dengan pemerintah agar tidak tumpang tindih atau duplikasi program CSR antara pemerintah (baik pusat-daerah) dengan korporasi. Dengan demikian sinergitas menjadi kata kunci (key word). Ketujuh, perlu diatur adanya CSR Reporting secara bermutu. (Calvin G. Eben-Haezer)