Minggu, 20 April 2025

SUDAH SAATNYA JENDERAL..! Dr. Kurtubi Ingatkan Presiden Prabowo Agar Segera Terbitkan PERPPU Minerba dan PERPPU Migas: Sebesar-besarnya Untuk Kemakmuran Rakyat

JAKARTA- Untuk kesekian kalinya, pakar energi, Dr. Kurtubi memohon kepada Presiden Prabowo Subianto, sesuai dengan sumpah jabatan yang harus menghormati konstitusi, agar mengambil kebijakan yang konstitusional rational dan efisien,– mencabut Undang-Undang Minerba No. 3/2020 dengan mengeluarkan PERPPU. Hal ini disampaikannya kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (15/4).

“Tujuannya adalah untuk melipatgandakan penerimaan negara dari pengelolaan aset SDA minerba nasional. Sehingga ekonomi nasional bisa tumbuh 8% mencapai. double digit tanpa memberatkan rakyat,” tegasnya.

Belajar Dari Sejarah

Kurtubi mengingatkan, untuk kepentingan bangsa, Pertamina sebaiknya segera dikembalikan sesuai konstitusi Pasal 33 UUD45 dengan cara mencabut Undang-undang MIGAS No. 22/2001 yang sudah terbukti melanggar konstitusi dengan 17 pasalnya sudah dicabut oleh Mahkah Konstitusi.

UU Migas No 22/2001 juga terbukti merugikan negara karena juga terbukti menjadi penyebab anjloknya produksi migas selama dua dekade.

“Oleh karena itu Presiden Prabowo Subianto berwenang mencabut UU Migas No 22/2001 dengan cara yang konstitusional rational dan effisien. Karena DPR-RI sudah berkali-kali gagal menghasilkan UU Migas yang baru sebagai pengganti UU Migas No 22/2001 yang sangat merugikan negara,” ujarnya.

Kurtubi menegaskan bahwa presiden perlu segera Mengeluarkan Perppu mengikuti langkah Kebijakan yang diambil oleh zaken kabinet pimpinan PM Djuanda yang mengeluarkan Perppu mencabut pemberlakuan undang-undang pertambangan zaman kolonial (Indische Mijnwet) yang kemudian Perppu tersebut diterima oleh DPR menjadi UU Migas No 44/Prp/1960 dan UU Pertamina No 8/1971.

Bukti empirik menunjukkan kedua undang-undang ini telah berhasil membawa sektor migas nasional menjadi sumber utama penerimaan APBN dan penerimaan devisa hasil ekspor, hingga mencapai 80%, serta Ekonomi Nasional tumbuh hingga 9.8% tertinggi dalam sejarah perekonomian nasional.

“Mari kita belajar dari sejarah bangsa kita sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam yang sesuai dengan konstitusisi Pasal 33 UUD’45 yang harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegasnya.

“Saya termasuk yang sudah lama memperhatikan tata kelola sumber daya alam kita, jauh sebelum saya menjadi Anggota DPR RI, tepatnya ketika saya masih menjadi pengamat dan dosen di Pascasarjana Universitas Indonesia. Saya sampai pada kesimpulan bahwa tata kelola sumber daya alam di bumi pertiwi kita ini menyimpang dari konstitusi dan merugikan negara, baik migas maupun minerba,” tegas Kurtubi saat.

Dalam pandangan Kurtubi, sistem KK telah menyerahkan kedaulatan NKRI pada kontraktor. Hal ini tentu merugikan negara karena dalam KK, posisi pemerintah dan kontraktor sejajar. Kurtubi mencontohkan KK untuk Freeport yang sejak 1967 sudah dipraktikkan. Pada 1998 KK Freeport diperpanjang dan banyak kemudahan yang diberikan. Misalnya, kewajiban kontraktor membayar Royalty/PNBP hanya 1% pada KK 1967 yang kemudian diperkuat oleh KK 1998.

Karena menggunakan sistim Kontrak Karya “B to G”,  posisi Freeport menjadi  sejajar dengan Pemerintah.

Pasal-pasal dalam Kontrak Karya yang ditandatangani oleh pemerintahan sebelumnya, tidak bisa diubah oleh pemerintahan sesudahnya. Meskipun terbukti kemudian sangat merugikan negara. 

“Seperti ketentuan besaran Royalty dalam KK utuk produk emas yang sangat kecil hanya sebesar 1% itu. Kedaulatan negara atas sumber daya alamnya hilang karena memakai sistim kontrak karya,” jelas Kurtubi.

Sebenarnya hal tersebut sudah  disampaikannya ke publik melalui  berita Parlementaria yang diterbitkan oleh DPR-RI.

“Sehingga setelah Freeport selesai menambang selama 30 Tahun,  pemerintah yang sedang berkuasa ketika itu, seyogyanya tidak memperpanjang masa Kontrak Karyanya. Atau Pemerintah waktu itu bisa menaikkan besaran royalty untuk emas dari hanya 1% menjadi  prosentasi tertentu sedemikian rupa sehinga total jumlah yang disetor ke negara oleh Freeport yang berupa pajak dan royalty menjadi lebih besar dari jumlah keuntungan bersih yang diterima oleh Freeport,” paparnya.

Ia mengingatkan mengikuti patokan implementasi Pasal 33 UUD’ 45  di sektor migas ketika menggunakan UU Migas No 44/PRP/1960 Dan UU Pertamina No.8/1971 dengan menggunakan Production Sharing Contract  “B to B”, dimana porsi bagi hasil untuk negara memperoleh 65% dan investor memperoleh 35% setelah cost recovery

Fakta yang terjadi dengan kasus Kontrak Karya Freeport adalah, malah pemerintah meneruskan sistim Kontrak Karya Freeport dengan membeli saham Freeport. Pemerintahan sesudahnye harus menghormati. tidak bisa menolak. Kalau Pemerintahan sebelumnya tidak memperpanjang atau tidak memberi kemudian kepada Freeport, Maka Freeport akan 100% milik negara dan dioperasikan sendiri oleh perusahaan negara yang dibentuk dengan undang-undang.

“Pengelolaan aset sumber daya alam yang sangat besar dan beragam  yang terpendam dalam bumi negara kita, harus kita sempurnakan agar sesuai dan sejalan dengan ide besar Bung Hatta konseptor Pasal 33 UUD 1945 bahwa kekayaan ini harus dikuasai dan dimiliki oleh negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat,” tegasnya

Pemerintah Kehilangan Kontrol

Dalam pola rezim KK ini, manajemen operasional tambang diserahkan 100% ke kontraktor. Tentu ini membuat pemerintah kehilangan kontrol atas biaya yang dikeluarkan dalam eksplorasi tambang. Ketika kontraktor membeli alat tambang yang sangat mahal, pemerintah tidak tahu, karena kontrol sepenuhnya dimiliki kontraktor. Akibatnya, kontraktor bisa menggelembungkan biaya yang telah dikeluarkan untuk menambang emas, perak dan lain-lain, meskipun ada akuntan publik yang mengauditnya.

Politisi dari dapil NTB ini juga menyesalkan, modal tambang yang dibeli oleh kontraktor dengan harga mahal sepenuhnya jadi miliki kontraktor.

“Sampai kontrak mereka berakhir, itu tetap menjadi miliki mereka. Misalnya, saat ini mereka stop kontrak, maka barang-barang itu bisa mereka bawa pulang. Itulah jahatnya kontrak karya!* tegas Kurtubi.

Ironisnya, meski sistem KK merugikan, tapi masih diakomodir dalam UU No.4/2009. Dia menyatakan kekecewaannya kepada DPR waktu itu. Bila kelak izin Freeport dihentikan, maka perusahaan tambang asal Amerika itu bisa membawa pulang semua aset perusahaannya. Dan Indonesia harus membangun kembali dari nol lagi.

Ada Kesempatan Merubah


Kini, ada kesempatan yang baik untuk merubah ketidakadilan sistem KK tersebut lewat agenda revisi UU Minerba yang sedang digulirkan oleh Komisi VII. Alumni Colorado School of Mine, Amerika Serikat ini, mengusulkan agar revisi UU Minerba fokus pada pengembalian kedaulatan negara yang telah hilang.

“Saya tak tahu konseptor UU ini berfikirnya kayak apa. Padahal, yang benar harus mengacu pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pengertian dikuasai negara ini mengandung pengertian dimiliki oleh negara.”

Meskipun sudah diatur dalam konstitusi, tetapi UU tidak secara spesifik mengatur itu. Sehingga penting dilakukan perubahan.

“Aset yang ada diperut bumi ini harus ada pemiliknya dan alhamdulillah soal kepemilikan ini diatur dalam pasal 33 UUD 1945. Meskipun begitu, saya kecewa berat karena UU kita tidak mengatur kepemilikan itu. Ini amanah besar yang harus kita perjuangkan bahwa aset bumi harus dimiliki oleh negara, tandas deklarator Gerakan Pemantapan Pancasila itu,” katanya.

Ia menegaskan posisi negara bagaimana pun harus lebih tinggi daripada kontraktor. Dalam UU Minerba belum jelas kepemilikan negara atas sumber daya mineral. Ini penting untuk dipertegas.

Berbeda dengan UU No.22/2001 tentang Migas yang dinilai Kurtubi lebih maju. Disebutkan dalam UU itu bahwa Migas di perut bumi milik negara. Bahkan, kepemilikan negara atas Migas tidak hanya ketika Migas itu dinaikan ke atas bumi, tapi sampai ke pelabuhan untuk tujuan ekspor.

“Jadi kita bisa copy paste apa yang ada di UU Migas ke UU Minerba. Tapi dalam UU Migas juga tidak dijelaskan dengan baik pengelolanya. Bahkan, pengelolanya diserahkan pada BP Migas, lembaga pemerintah. Dan bagusnya, Mahkamah Konstitusi sudah mencabut pasal yang berkaitan dengan BP Migas, ungkap Kurtubi lebih lanjut.

Dengan begitu, negara sebagai pemilik kedaulatan berada di atas perusahaan. Dan negara bisa berkontrak dengan perusahaan asing atau nasional untuk membantu mengelola SDA secara maksimal. Model business to business antar-perusahaan sangat efektif untuk mengurangi beban APBN untuk mencari minyak dan tambang. Bila menggunakan dana APBN, negara bisa rugi jika minyaknya tidak ditemukan.

Revisi UU Minerba harus menghapus sistem KK di Indonesia. Yang bisa dilakukan adalah contract production sharing atau bagi hasil.

“Kita tidak anti-asing. Kita undang mereka, karena punya teknologi, modal, dan mau mengambil risiko. Ke depan yang boleh menganggunkan aset di perut bumi Indonesia ada lah perusahaan negara, bukan kontraktor,” tandasnya. (Web Warouw)

 

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru