JAKARTA – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik aturan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang menuai banyak kontra di masyarakat. Menurutnya, aturan memotong gaji lewat Tapera merupakan bentuk penindasan baru. Padahal UU Tapera asalah usulan inisiatif DPR-RI yang disahkan pada tahun 2016.
“Nah terkait dengan persoalan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) itu kan UU mengatakan tidak wajib, ketika ini menjadi wajib maka menjadi suatu bentuk penindasan yang baru dengan menggunakan otokrasi legalism tadi,” kata Hasto kepada wartawan seusai kuliah umum di FISIP UI, Depok, Senin (3/6/2024).
Hasto menegaskan iuran Tapera seharusnya tidak boleh diterapkan. Terlebih aturan Tapera ini sudah mendapat banyak kritik, baik dari masyarakat umum maupun akademisi.
“Ini yang seharusnya tidak boleh dilakukan, bahkan tadi menjadi bagian dari kritik kebudayaan yang disampaikan Prof Sulistyowati (Guru Besar Antropologi UI),” jelas dia.
Sebagaimana diketahui, lewat program Tapera, buruh ataupun pekerja dengan gaji di atas upah minimum harus membayar 3% dari gajinya. Iuran ini akan menjadi tabungan perumahan pekerja yang bisa digunakan untuk manfaat Kredit Pemilikan Rumah (KPR) murah, kredit pembangunan rumah, dan kredit renovasi rumah.
Di sisi lain, apabila pekerja tak mau menggunakan manfaat Tapera, nantinya tabungan tersebut dikembalikan saat pensiun dengan nominal ditambah pemupukan atau imbal hasil dari pengelolaan yang dilakukan BP Tapera.
Inisiatif DPR 2016 dan Diserujui Seluruh Fraksi
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan Fraksi PDIP dan PKS di DPR RI kala itu 2014-2019 secara khusus memuji pengesahan UU Tapera. Menurut mereka, UU Tapera akan menjadi solusi kebutuhan rumah yang kian meningkat.
Kini, Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI minta Pemerintah Jokowi menarik kembali PP Tapera karena dianggap memberatkan pegawai swasta dan perusahaan.
UU Tapera disahkan dalam Rapat Paripurna pada 23 Februari 2016 dan disetujui semua fraksi. Bahkan, UU Tapera kala itu menjadi RUU inisiatif yang pertama diusulkan DPR pada periode 2014-2019.
“RUU Tapera ini adalah RUU inisiatif DPR yang pertama kali dalam periode 2014-2019 yang masuk dalam prolegnas yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah untuk diprioritaskan dalam tahun 2015,” kata Ketua Pansus RUU Tapera kala itu, Yoseph Umar Hadi dari Fraksi PDIP.
Dalam mekanisme sederhana, Yoseph menjelaskan UU Tapera hanya menyediakan payung hukum bagi pemerintah untuk mewajibkan setiap warga negara menabung sebagian dari penghasilannya.
Tabungan itu akan dikelola Bank Kustodian di bawah Badan Pengelola Tapera untuk dipupuk dan dimanfaatkan menjadi rumah murah dan layak.
Begitu juga halnya Fraksi PKS di DPR, sebagai oposisi pemerintah kala itu bahkan secara khusus memuji pengesahan UU Tapera.
Menurut PKS, UU Tapera akan menjadi solusi kebutuhan rumah yang kian meningkat. “Fraksi PKS memandang bahwa RUU Tapera memiliki arti penting dan strategis untuk membuka akses kepemilikan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Abdul Hakim, pada Juni 2016.
“Nanti ada kewajiban menabung dari peserta sebesar 2,5 persen penghasilan dan kewajiban menabung bagi pemberi kerja 0,5 persen. Setiap peserta juga berhak mendapatkan pemanfaatan Dana Tapera yang di antaranya dapat digunakan untuk pembiayaan pemilikan rumah, pembangunan rumah, dan perbaikan rumah,” imbuhnya.
Pada PP Tapera yang diteken Jokowi, gaji pekerja bakal dipotong 3 persen untuk simpanan Tapera mulai Mei 2027.
Hal ini merujuk pada tenggat waktu yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan untuk mendaftarkan para pekerjanya kepada BPTapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP 25/2020.
“Pemberi Kerja untuk Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i mendaftarkan Pekerjanya kepada BP Tapera paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini,” demikian bunyi Pasal 68 PP Tapera.
Adapun PP 25/2020 diteken Jokowi pada 20 Mei 2020. Artinya pendaftaran itu harus dilakukan pemberi kerja paling lambat pada 20 Mei 2027.
Jejak Pengesahan UU Tapera
Terkait iuran wajib kepada semua pekerja lewat program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai gelombang kritik publik karena dinilai sebagai kebijakan keliru di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang lesu.
Iuran wajib Tapera tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Aturan terbaru itu diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Mei 2024.
Aturan baru itu merevisi bahwa peserta iuran wajib Tapera kini bukan hanya PNS atau ASN dan TNI-Polri, serta BUMN, melainkan termasuk karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah.
Besaran total iuran yang wajib diberikan yakni sebesar 3 persen, masing-masing 2,5 persen bersumber atau diberikan oleh pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja.
PP Tapera merujuk atau didasarkan pada UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Di dalamnya menyebutkan Tapera merupakan penyimpanan periodik peserta dalam jangka waktu tertentu, yang dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan dengan hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. (Web Warouw)