JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan tenggat waktu dua pekan kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk mencari solusi dan strategi agar harga alat kesehatan (alkes) dan obat di Indonesia lebih terjangkau.
Selain harga obat dan alkes, Budi menyebut Presiden memerintahkan kepadanya untuk mencari solusi guna meningkatkan daya industri kesehatan di Indonesia semakin maju.
“Dua minggu [timeline],” kata Budi di Istana Kepresidenan, Selasa (2/7).
Budi pun membeberkan kemungkinan alasan yang menyebabkan alkes dan obat di Indonesia mahal dibandingkan negara lain.
Pertama, Budi menilai terdapat inefisiensi jalur perdagangan Indonesia. Ia menyebut tata kelola perdagangan harus dibuat semakin transparan sehingga tidak ada peningkatan harga tidak masuk akal yang akan terjadi.
Kedua, pajak alkes dan obat. Ia mengatakan Kemenkes tengah berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk membuat sistem perpajakan alkes lebih efisien, namun tidak mengganggu pendapatan pemerintah.
Ketiga, masalah koordinasi antara kementerian/lembaga terkait. Ia pun mencontohkan, apabila Indonesia ingin mengimpor USG secara keseluruhan, mereka tidak dikenakan bea masuk.
“Tapi kalau kita ada pabrik dalam negeri beli komponen layar USG, elektronik buat USG, bahan bakunya malah dikenakan pajak, dikenakan bea masuk 15 persen,” ujarnya.
Oleh sebab itu, mantan Wakil Menteri BUMN itu mengaku Presiden telah meminta kementerian teknis untuk saling berkoordinasi dan menemukan solusi untuk membuat harga alkes dan obat lebih terjangkau di Indonesia.
Selain itu, Jokowi juga meminta agar kementerian/lembaga terkait untuk mengembangkan industri kesehatan dalam negeri sehingga mampu memberikan nilai kekuatan kepada Indonesia apabila kemungkinan terburuk pandemi terjadi di suatu hari nanti.
“Nah, koordinasi ini yang tadi bapak presiden minta coba dirapiin,” ujar Budi.
5 Kali Lebih Mahal dari Malaysia
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Budi Gunadi Sadikin mengakui harga obat Indonesia lebih mahal tiga hingga lima kali lipat dari Malaysia.
Menurut menteri yang akrab disapa BGS tersebut, mahalnya harga obat di Tanah Air bukan disebabkan oleh pajak, melainkan inefisiensi dalam perdagangan dan jual beli obat serta alat kesehatan.
“Pajak dampaknya paling cuma berapa, 20%-30%. Bagaimana menjelaskan perbedaan harga 300% – 500%,” kata Budi.
Budi mencontohkan, impor alat kesehatan seperti mesin USG mendapatkan bea masuk impor 0%. Sedangkan untuk mengimpor komponennya, seperti layar USG dan bahan baku lain, dikenakan bea masuk 15%. Besarnya bea masuk ini menjadi hambatan bagi pertumbuhan industri farmasi di dalam negeri.
Mahalnya harga obat dan alat kesehatan di Indonesia telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden, kata Menkes, memerintahkan agar tata kelola dan pembelian obat serta alat kesehatan harus diperbaiki agar lebih transparan demi mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu dikeluarkan.
“Ada biaya-biaya yang mungkin harusnya tidak dikeluarkan karena ujungnya kan yang beli pemerintah juga,” terangnya.
“Itu sebabnya kita harus mencari kombinasi semurah mungkin, tapi isunya bukan hanya di pajak saja,” tambah BGS.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Budi menyebut, dibutuhkan koordinasi teknis lintas kementerian seperti Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan untuk mendesain ekosistem sebuah industri. (Enrico N. Abdielli)