JAKARTA – Dana Moneter Internasional (IMF) mengakui bahwa dolar Amerika Serikat (USD) berada dalam bahaya terhadap negara-negara BRICS dan mata uang lokal lainnya. Hal itu disebabkan agenda dedolarisasi yang diprakarsai BRICS untuk menggeser dolar AS dari status mata uang cadangan dunia. Ancaman dari BRICS dan mata uang lokal lainnya terhadap dolar AS itu disebut sebagai hal nyata yang harus ditanggapi dengan serius.
Wakil Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath dalam makalahnya yang berjudul “Dampak Geopolitik Terhadap Perdagangan Internasional dan Dolar” menyatakan bahwa BRICS telah menciptakan pergeseran dalam kebijakan ekonomi global.
Dia mengungkapkan bahwa negara-negara BRICS kini menjalankan bisnis berdasarkan aliansi geopolitik mereka dengan negara lain. Perkembangan ini menempatkan dolar AS dalam posisi yang tidak menguntungkan karena mata uang lokal akan digunakan untuk menyelesaikan transaksi lintas batas.
“Negara-negara (BRICS) sedang menilai kembali mitra dagang mereka berdasarkan kekhawatiran ekonomi dan keamanan mereka,” kata Gopinath seperti dilansir Watcher.Guru, dikutip Minggu (19/5/2024).
Menurut dia, arus investasi asing juga telah dialihkan berdasarkan aliansi geopolitik. Beberapa negara juga sedang mengevaluasi kembali ketergantungan mereka yang besar terhadap dolar dalam transaksi internasional dan cadangan devisa mereka. Namun, dia mengatakan meskipun ada risiko, dolar AS tetap menjadi mata uang de facto untuk perdagangan global.
“Mungkin karena sebagian besar perdagangan komoditas masih ditagih dan diselesaikan dalam dolar AS,” ujarnya.
Namun, jika BRICS yang “menguasai” sektor minyak dunia sukses melakukan perdagangan dengan mata uang lokal, maka dolar AS bisa melemah.
Mayoritas negara-negara baru yang bergabung dengan BRICS tahun ini adalah negara-negara penghasil dan pengekspor minyak. Aliansi ini tengah menunggu Arab Saudi untuk bergabung dengan blok tersebut dan mengubah dinamika di sektor minyak global.
Bye Bye Dolar AS!
Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, transaksi antara Rusia dan China saat ini dilakukan sebagian besar dengan menggunakan mata uang nasional, apakah itu yuan atau rubel. Hal itu dipastikan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin dalam lawatannya ke Beijing, pada Kamis kemarin.
Saat bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping, pemimpin Rusia itu memuji penguatan kerja sama kedua negara terutama dalam hal perdagangan. Hubungan antara Moskow dan Beijing didasarkan pada “prinsip-prinsip saling menghormati, bertetangga yang baik, dan saling menguntungkan,” kata Putin.
Dia menambahkan, bahwa terlepas dari pandemi virus corona dan “beberapa tindakan yang bertujuan membatasi pembangunan kita” oleh negara ketiga, volume perdagangan terus meningkat, karena kedua negara telah membangun portofolio investasi yang solid di berbagai bidang.
Keputusan untuk beralih menggunakan rubel dan yuan dalam setiap transaksi, menurut Putin dilakukan diwaktu yang tepat dan menurutnya telah memberikan dorongan kuat dalam perdagangan Rusia dan China.
“Dorongan kuat untuk memperluas arus perdagangan kami dilakukan berdasarkan keputusan bersama dan diwaktu yang tepat untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan dalam mata uang nasional. Sampai hari ini, 90% dari semua pembayaran dilakukan dalam rubel dan yuan,” kata presiden Rusia, Vladimir Putin.
Menurut Putin, omzet perdagangan antara Rusia dan China melonjak hampir 25% pada tahun 2023, mencapai USD227 miliar. Sebagai informasi semua itu disampaikan Putin dalam kunjungan kenegaraan dua hari ke China, yang mana menjadi perjalanan luar negeri pertamanya sejak pelantikannya untuk masa jabatan kelima sebagai presiden di awal bulan ini.
Para pemimpin Rusia dan China, serta pejabat senior dari kedua negara, akan mengadakan pembicaraan tentang berbagai masalah seperti hubungan bilateral, kerja sama ekonomi dan situasi internasional, termasuk konflik Ukraina. Presiden Rusia mengatakan, Moskow tidak memilih untuk melakukan “dedolarisasi ” dalam ekonomi nasional ataupun internasional, proses ini menurutnya “tak terhindarkan.”
Putin secara khusus menegur Washington karena menggunakan mata uangnya sebagai “alat tempur,” yang katanya bisa merusak kepercayaan global.
Setelah pecahnya perang Ukraina pada Februari 2022, AS memutus bank sentral Rusia dari transaksi dolar dan kemudian melarang ekspor uang kertas dolar ke negara itu. Putin menyebut pembatasan Washington sebagai “kebodohan total” yang hanya berfungsi untuk melemahkan kekuatan AS dan ekonominya. (Calvin G. Eben-Haezer)