SUKABUMI- Lebih baik pemerintah segera memperbanyak sekolah-sekolah sarjana kebidanan untuk meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan bidan Indonesia, ketimbang membatasi bidan untuk bekerja mandiri seperti dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebidanan yang sedang digodog oleh pemerintah dan DPR saat ini. Saat ini, program sarjana kebidanan yang disediakan pemerintah di seluruh Indonesia hanya ada 3 Universitas yaitu di Universitas Brawijaya-Malang, Universitas Airlangga-Surabaya dan Universitas Hassanudin-Makassar.
“Kalau bidan vokasi lulusan D-3 tidak boleh melakukan praktek mandiri dan diarahkan menjadi bidan profesional atau sarjana kebidanan, tunjukan dimana sekarang kami harus sekolah sarjana? Karena kan dasar pikirnya seharusnya menyediakan sekolah sarjana, bukan malah membatasi kerja bidan dulu,” tegas Ketua Forum Bidan Desa Forbides-PTT, Sukabumi, Jawa Barat, Amida Sari kepada Bergelora.com, Rabu (10/8) seusai sosialisasi RUU Kebidanan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi bersama Ikatan Bidan Indonesia dan Anggota Komisi IX DPR-RI, dr. Ribka Tjiptaning.
Bidan Amida Sari mengingatkan Rancangan Undang-Undang mensyaratkan hanya bidan profesional yang diijinkan untuk bekerja mandiri, namun pemerintah tidak menyediakan fasilitas program pendidikan sarjana kebidanan. Hal ini sama saja pemerintah akan mengeliminasi peran bidan yang selama ini sudah bekerja dimasyarakat.
“Sudah sejauh mana pemerintah menyediakan tempat untuk sekolah kebidanan untuk menjadi profesional. Jangan sampai kita disuruh sekolah tapi sekolahnya tidak ada. Mayoritas yang selama ini bekerja adalah bidan vokasi dengan pendidikan diploma,” katanya.
Selama ini, menurutnya, kebutuhan tenaga kesehatan bidan di desa-desa adalah untuk menutupi kekurangan tenaga dokter sampai ke desa-desa terpencil, tertinggal dan perbatasan diseluruh Indonesia.
“Kepada bidan desalah rakyat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan terdekat,– sebelum bisa mencapai Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) maupun Puskesmas Pembantu (Pustu). Karena kesediaan fasilitas kesehatan dan dokter tidak merata diseluruh Indonesia maka kekurangan itu ditutup oleh peran serta bidan vokasi untuk masalah kesehatan di desa terutama menghadapi masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB),” jelasnya
Bidan Amida Sari juga menjelaskan, bahwa masih terdapat 20 persen desa di Indonesia yang belum memiliki bidan. Padahal 75 persen pelayanan kontrasepsi diberikan bidan, baik di Puskesmas maupun di rumah sakit.
Kritisi RUU Kebidanan
Meski bidan merupakan profesi yang tergolong tua namun hingga saat ini belum ada aturan Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang kebidanan. Karena itu payung hukum yang dipakai bidan adalah Permenkes No. 1464 tahun 2010 tentang izin dan Registrasi Penyelenggaraan Praktik Bidan. RUU Kebidanan telah mendapat prioritas untuk dibahas sejak pada masa sidang DPR RI tahun 2014.
“Memang kita butuh Undang-undang kebidanan. Tapi seharusnya undang-undang itu untuk kepentingan bidan, bukan malah menyusahkan bidan dan rakyat Indonesia. Maka para bidan dan rakyat Indonesia harus mengkritisi RUU Kebidanan yang sedang disiapkan DPR,” ujarnya.
Saat ini RUU Kebidanan yang sedang dibahas antara pemerintah dan DPR terdiri dari 12 Bab 74 pasal ditambah dengan penjelasan umum serta penjelasan pasal demi pasal. Dua belas bab dalam RUU Kebidanan adalah tentang Bab 1-Ketentuan Umum, Bab 2-Pendidikan Kebidanan, Bab 3-Registrasi dan Izin Praktik, Bab 4-Bidan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri, Bab 5-Bidan Warga Negara Asing, Bab 6-Praktik Kebidanan, Bab 7-Hak dan Kewajiban, Bab 8-Organisasi Profesi, Bab 9-Konsil Kebidanan, Bab 10-Pembinaan dan Pengawasan, Bab 11-Ketentuan Peralihan dan Bab 12-Ketentuan Penutup.
“Namun sampai saat ini tidak ada seorangpun yang bisa mengakses isi lengkap dari RUU Kebidanan itu. Padahal kita membutuhkan untuk dipelajari,” demikian Amida Sari. (Web Warouw)