JAKARTA – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menyatakan ketertarikannya untuk bekerja sama dengan State Atomic Energy Corporation Rosatom, BUMN nuklir Rusia, terkait dengan pembangunan pembangit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia.
Bloomberg melaporkan, EVP Aneka Energi Terbarukan PLN Zainal Arifin mengatakan sejatinya Rosatom sudah mengajukan proposal ke PLN sejak 2019 atau sebelum pandemi Covid 19. Namun memang belum ada informasi lebih jauh.
“Iya [sudah menyatakan ketertarikan], namun tetap menunggu sampai sekarang,” kata Zainal saat ditemui di sela acara EESA Summit Indonesia, Selasa (29/4/2025).

Dia menjelaskan PLN akan mencoba untuk menyusun rencana kerja yang sama dengan Rosatom untuk membangun PLTN. Menurutnya, harga yang ditawarkan oleh Rosatom cukup kompetitif bagi Indonesia.
Tidak hanya itu, Rosatom menawarkan pembangunan PLTN modular kecil atau small modular Reactor (SMR) yang sesuai dengan kebutuhan RI.
“Menarik. Bisa kompetitif sama base load , sama geothermal menarik. [Dari PLN] sudah aman, bagus,” tuturnya.
Dalam pertemuan antarperwakilan bisnis RI-Rusia pertengahan bulan ini, Rosatom mengajukan dua proposal pembangunan PLTN di Indonesia.
Proposal itu disampaikan Kepala Perwakilan Rosatom di Indonesia Anna Belokoneva dalam Pertemuan Sidang Komisi Bersama ke-13 antara Indonesia dan Rusia di Jakarta pada tanggal 14 April 2025.
Opsi pertama , perusahaan pembangkit nuklir asal Rusia itu mengusulkan pembangunan PLTN modular atau Small Modular Reactor (SMR) di daerah pedalaman dan PLTN dengan skala besar.
Untuk PLTN modular kecil, Rosatom akan membangunnya di Kalimantan Barat dengan kapasitas 3×110 megawatt (MW).
Unit I akan dibangun pada tahun 2032, unit II pada tahun 2033, dan unit III dibangun pada tahun 2035. Biaya rata-rata listrik atau levelised cost of energy (LCOE) dari pembangkit ini sekitar US$85 per megawatt/jam (MWh) sampai US$95 per MWh.
Sementara itu, untuk PLTN skala besar, Rosatom akan membangun dua PLTN di Bangka Belitung dengan kapasitas 2×1.200 MW. Sementara itu, di Kalimantan Selatan dengan kapasitas yang sama yakni 2×1.200 MW.
Dengan demikian, LCOE untuk dua pembangkitan skala besar ini berkisar US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.
Oleh karena itu, Rosatom berencana untuk membangun dua PLTN skala besar tersebut secara bertahap pada tahun 2037 hingga 2040 untuk ke empat pembangkit nuklir tersebut, dibagi ke dalam empat tahapan.
Opsi kedua, Rosatom mengusulkan untuk membangun PLTN terapung di Kalimantan Barat dengan kapasitas 2×110 MW.
PLTN tersebut akan dibangun pada tahun 2030 dan 2031. Adapun tarif listrik diperkirakan berkisar US$150 per MWh hingga US$190 per MWh.
Selain itu, Rosatom juga mengusulkan untuk membangun dua PLTN skala besar di Bangka Belitung dan Kalimantan Selatan dengan kapasitas masing-masing 2×1.200 MW.
PLTN tersebut akan dibangun secara bertahap mulai tahun 2037 untuk unit I, 2038 untuk unit II, 2039 untuk unit III, dan 2040 untuk unit IV.
Rosatom mengajukan perkiraan tarif listrik untuk pembangkit listrik yang terakhir sekitar US$65 per MWh sampai dengan US$75 per MWh.
Kedua proposal pengembangan nuklir yang disampaikan Rosatom itu memiliki kapasitas terpasang mencapai 5 gigawatt (GW) hingga tahun 2040 mendatang.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana sebelumnya menuturkan Rusia telah lama memiliki keinginan untuk berinvestasi PLTN di Indonesia.
Hanya saja, kata Dadan, pemerintah perlu mempertimbangkan sejumlah hal untuk mendokumentasikan pembangkit listrik tenaga nuklir berdasarkan nuklir tersebut.
“Iya sampai sekarang belum kejadian, kalau nuklir kan panjang bukan lama ya tapi kita harus komprehensif mempertimbangkannya, termasuk aspek regulasi,” kata Dadan ditemui di sela Pertemuan Sidang Komisi Bersama ke-13 antara Indonesia dan Rusia, Selasa (15/4/2025).
Di sisi lain, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo juga membahas peluang kerja sama PLTN modular dengan mantan Perdana Menteri (PM) Inggris, Tony Blair.
Pertemuan itu membahas mengenai peluang kerja sama investasi dan transfer teknologi di bidang nuklir untuk 15 tahun mendatang dengan Inggris.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dalam perkembangan terkini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menargetkan PLTN di Indonesia dapat beroperasi pada tahun 2030 atau berpeluang lebih dua tahun dari target komersialisasinya yang ditetapkan pada tahun 2032 dan lebih awal dari rencana semula pada tahun 2039. (Web Warouw)