JAKARTA- Tahun ini 34 tahun sudah tragedi Tiananmen berlalu dan sampai saat ini peringatan tragedi ini masih dilarang di Tiongkok, Hong Kong dan Makau.
Jumlah persis korban meninggal, luka-luka dan yang ditangkap oleh aparat Tiongkok masih menjadi misteri dan tidak ada upaya komunitas internasional untuk mempertanyakan keadilan bagi para korban dan keluarga korban.
Menolak lupa pada sejarah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta berkolaborasi bersama Sahabat India Jakarta pada Senin (5/6) menyelenggarakan seminar internasional bertajuk: “Remembering 1989 Tiananmen Tragedy: Why it Happened And How it Was Crushed? secara hybrid, menghadirkan pembicara dari dalam dan luar negeri yaitu Dr. Sri Yunanto dan Debbie Affianty dari UMJ, Prof. Srikanth Kondapalli dan Dr. Mahesh Ranjan Debata dari Universitas Jawaharlal Nehru, Letjen Rameshwar Yadav dari Angkatan Darat India, dan Veeramalla Anjaiah serta Telly Nathalia dua jurnalis dari Jakarta.
“Tragedi Tiananmen menjadi salah satu gerakan yang menginspirasi banyak gerakan serupa di berbagai negara termasuk Asia dan Indonesia, terutama gerakan reformasi 1998. Bedanya tragedi Tiananmen dipukul mundur dan mimpi demokrasi dibungkam, sementara di Indonesia gerakan Reformasi 1998 berhasil menghadirkan demokrasi yang bisa kita nikmati hari ini,” papar Telly Nathalia yang paparannya membandingkan gerakan mahasiswa Tiongkok yang berujung pada Tragedi Tiananmen 1989 dengan gerakan mahasiswa Indonesia pada Reformasi 1998.
Ia mengajak mahasiswa untuk memahami arti penting peran mahasiswa dalam mengorganisir dirinya dan masyarakat dalam menyikapi persoalan negara dan bangsa.
Perbedaan lainnya, pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengakui adanya pelanggaran HAM berat pada peristiwa kerusuhan dan penembakan mahasiswa pada Mei 1998 dan meminta maaf pada korban dan keluarga korban, sementara pemerintah Tiongkok sampai hari ini masih menyebut Tragedi Tiananmen sebagai gerakan anti pemerintah. (Web Warouw)