JAKARTA- Tugas pemerintah untuk menjaga kebhinekaan dan dan memastikan toleransi antar umat beragama jebol lagi. Untuk itu Pemerintahan Joko Widodo harus segera bertindak cepat mengatasi kerusuhan berbau SARA yang baru saja terjadi di Aceh Singkil, Aceh Selasa (13/10) siang agar tidak melebar ke daerah-daerah lain. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Partai Gerindra, FX Arief Poyuono, kepada Bergelora.com di Jakarta Rabu (14/10).
“Toleransi antar umat beragama hanya bisa dijaga oleh pemerintah yang kuat dan berwibawa. Kalau pemerintah lemah, ya seperti ini jadinya. Kalau dibiarkan pasti nanti ada lagi rumah ibadah yang dibakar,” ujarnya.
Kerusuhan yang diikuti dengan pembakaran gereja oleh massa berpotensi menjadi pemicu memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Presiden tidak bisa lengah, goyah atau takut lagi dengan tekanan dari berbagai pihak sehingga kehilangan wibawa,” demikian tegasnya.
Menurutnya, NKRI sangat bergantung pada kekuatan Presiden untuk menghadapi berbagai tekanan dalam berbagai macam bentuk. Saat ini berbagai kepentingan asing sedang beroperasi di Indonesia untuk menggagalkan konsolidasi nasional yang dipimpin oleh pemerintahan Joko Widodo dengan cara pecah belah menggunakan berbagai isu.
“Lepas dari soal suka atau tidak pada Presiden Jokowi, tapi resiko akan ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia, kalau Presiden tidak kuat maka pemerintahan tidak kuat, dan kita semua akan hancur,” jelasnya.
Kegagalan Pemimpin
Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan penyerangan gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) dan ancaman terhadap puluhan gereja lainnya yang terjadi di Aceh Singkil adalah pelanggaran HAM serius yang diprakarsai oleh negara, yang direpresentasikan oleh Bupati Aceh Singkil, Sapriadi.
“Peristiwa yang menelan 1 korban jiwa ini merupakan dampak dari kegagalan kepemimpinan Bupati Sapriadi dan Gubernur Zaini Abdullah dalam mengelola keberagaman,” tegasnya secara terpisah kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (14/10)
Ia mengingatkan bahwa peristiwa yang sama terjadi sebelumnya pada tahun 1979, 2001, 2012 disebabkan karena adanya perjanjian 1979 yang diskriminatif bagi umat Kristiani. Aceh juga memiliki Pergub 25/2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah yang lebih diskriminatif dari Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang hal yang sama.
“Untuk itu Gubernur Tjahjo Kumolo diminta segera melakukan evaluasi sikap Bupati dan semua peraturan diskriminatif di tingkatan daerah maupun pusat. Segera susun langkah solutif bersama yang berkeadilan,” ujarnya. (Enrico N. Abdielli)