JAKARTA- Perseketuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyatakan sangat keprihatinan dan mengutuk keras tindakan intoleransi sekelompok orang yang telah menimbulkan korban jiwa dan menimbulkan rasa tidak aman bagi warga masyarakat di Aceh Singkil. PGI juga menyesalkan kurang tanggapnya aparat dan kepolisian untuk segera melakukan tindakan preventif sehingga peristiwa tragis itu terjadi. Hal ini disampaikan Juru Bicara PGI, Jerry Sumampouw, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (13/10) menyusul kerusuhan dan pembakaran gereja di Aceh Singkil.
“Negara tidak boleh absen melindungi warganya untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh konstitusi pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945,” tegasnya.
Ia mengingatkan, kewajiban pemerintah setempat untuk memfasilitasi warga yang beribadah manakala kondisi objektif mereka tidak mampu memenuhi syarat mereka melakukan ibadah, seperti yang diatur dalam Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 pasal 14.
“Perlu ditegaskan bahwa tiada maksud gereja untuk tidak mengurus ijin. Tetapi realitasnya ijin pembangunan rumah ibadah sangat sulit didapat, bahkan tidak bisa diperoleh walaupun sudah memenuhi peraturan yang berlaku,” ujarnya.
PGI juga menyayangkan sikap Pemda di Pulau Sarok, Aceh Singkil yang takut terhadap tekanan kelompok-kelompok intoleran sehingga menyetujui rencana pembongkaran 10 gereja setempat.
“Tenggat waktu 6 bulan untuk pengurusan ijin adalah mustahil, karena pada dasarnya pengurusan ijin akan dipersulit. Apalagi didahului dengan pembongkaran gereja, sehingga kegiatan ibadah akan terhenti sampai waktu yang tidak ditentukan, karena tidak ada kejelasan dan jaminan beribadah dari pemda,” ujarnya.
Untuk itu, PGI mendesak Presiden Joko Widodo dan seluruh instansi terkait untuk mengambil sikap tegas dan segera menghentikan tindakan intoleran karena jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD’45. Pemerintah juga diminta segera memproses secara hukum orang-orang yang terlibat dalam aksi ini, baik para provokator maupun aktor intelektual dibelakangnya.
Sebelumnya pada hari Salasa (6/10) lalu sekelompok orang mengatas namakan Pemuda Peduli Islam (PPI) Aceh Singkil melakukan aksi mendesak pemerintah agar gereja yang tidak memiliki ijin di bongkar. Aksi itu mengancam, jika sampai hari Selasa (13/10) tuntutan tidak dipenuhi maka kelompok itu sendiri yang akan membongkarnya.
Baru pada hari Senin (12/10) diadakan rapat antara Bupati Singkil, Safriadi, Muspida, Ulama, Ormas Islam serta tokoh masyarakat di kantor Setda Kabupaten di Pulau Sarok, Singkil. Dalampertemuan disepakatim pembongkaran 10 gereja di Aceh Singkil dalam kurun waktu dua pekan. Pembongkaran gereja akan dimulai pada tanggal 19 Oktober 2015 sampai dua pekan ke depan. Rumah ibadah yang tidak dibongkar harus mengurus ijin dengan tenggat waktu selama 6 bulan. Tokoh dan ulama diminta menenangkan umatnya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Disepakati juga agar pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan yang ada. Hasil kesepakatan akan disosialisasikan oleh Muspida di Masjid Lipat Kajang Bawah, Kecamatan Simpang Kanan pada malam itu juga.
“Walaupun sudah tercapai kesepakatan, tanpa disangka-sangka Selasa (13/10) pagi terjadi penyerangan oleh sekelompok orang intoleran. Setidaknya ada 2 gereja dibakar oleh kelompok itu. Tindakan itu juga telah menyebabkan kematian dan luka parah pada korban. Kondisi di Aceh Singkil semakin mencekam. Sudah ada eksodus umat Kristen dari Aceh Singkil untuk mencari tempat yang lebih aman,” jelas Jerry Sumampouw. (Web Warouw)