JAKARTA- Pilkada di Jakarta 2017 telah menjadi tipping point bagi radikal-intoleran karena “keberhasilan” penggunakan politik identitas, terutama sentimen keagamaan untuk memenangkan kontestasi politik. Demikian pernyatan INFID dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis ( 1/3)
Totok Yuliyanto, Wakil Ketua Dewan Pengurus INFID dan Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyebutkan negara khususnya Badan Pengawas Pemilu dan penegak hukum harus bertindak tegas mengenai penggunaan kampanye-kampanye intoleran yang berpotensi merusak kemajemukan.
“Masyarakat diharapkan untuk lebih memfokuskan kepada visi-misi dan program kerja dari para calon pemimpin dibandingkan menjadi obyek kampanye intoleran,” katanya dalam forum yang digagas INFID di Jakarta, Kamis (1/3).
Puspa Dewi, Ketua Dewan Pengawas INFID dan Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) menyebutkan, Pilkada 2018 ini juga menjadi momentum penting bagi para calon kepala daerah untuk memasukkan program-program penurunan ketimpangan dan pencegahan intoleransi sebagai agenda pembangunan daerah.
“Apalagi persepsi masyarakat masih melihat ketimpangan dan intoleransi sebagai ancaman di Indonesia,” katanya.
Menurutnya, tahun 2018 merupakan tahun yang krusial bagi proses demokratisasi di Indonesia. Krusial karena Pilkada di berbagai daerah dapat memperkuat atau melemahkan demokrasi.
“Pilkada di tahun 2018 yang akan berlangsung serentak di 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten akan memperkuat demokrasi jika menjadi proses politik adu program. Sebaliknya akan melemahkan demokrasi dan Keindonesiaan jika politik identitas (berbasis agama) digunakan,” katanya.
Menguatnya kelompok-kelompok radikal-intoleran yang mengancam kohesi sosial, kedamaian, dan NKRI menurutnya telah memanfaatkan ruang dan lembaga demokrasi dengan menggunakan berbagai media termasuk media sosial.
“Perlu ada agenda yang menghentikan atau mengurangi penggunaan politik identitas untuk menjaga gotong royong dan kedamaian antar warga di Indonesia,” katanya.
Ketimpangan
Dalam forum itu, Dian Kartika Sari, Ketua Dewan Pengurus INFID dan Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan, ketimpangan gender masih terjadi di Indonesia. Perkawinan anak merupakan akibat dan penyebab ketimpangan sekaligus melanggengkan pemiskinan dan ketimpangan.
“Perkawinan anak juga menjadi hulu dari berbagai masalah anak di antaranya tumbuh pendek (stunting), putus sekolah, menurunnya derajat kesehatan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, dan kematian ibu melahirkan,” katanya.
Fakta-fakta tersebut menurutnya menunjukkan perkawinan anak merupakan wujud nyata feminisasi pemiskinan. Jika masalah perkawinan anak tidak diatasi, program-program pemerintah untuk menurunkan ketimpangan dan kemiskinan tidak akan mencapai hasil yang optimal.
Puspa Dewi, Ketua Dewan Pengawas INFID dan Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) menyebutkan jika masalah ketimpangan dan intoleransi tidak diatasi, kecil kemungkinan agenda Nawacita bisa tercapai. Padahal pemerintahan Jokowi-JK menjanjikan negara hadir untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan mendorong produktivitas rakyat.
“Sementara kesempatan perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik terhambat karena masih banyaknya diskriminasi yang dihadapi perempuan,” katanya.
Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif INFID menegaskan, komitmen dan prioritas pemerintah Jokowi-JK untuk mengurangi ketimpangan sebagai sasaran utama dan alat ukur keberhasilan pembangunan patut didukung. Selanjutnya yang menjadi soal adalah cara-cara untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.
“Investasi infrastruktur baik tetapi segera harus dibuka dan dilaksanakan investasi SDM khususnya bagi angkatan kerja kaum muda dan kaum perempuan. Antara lain, pemerintah harus segera melaksanakan sistem jaminan sosial yang baru yang negara lain sudah punya: Tunjangan Pengangguran (unemployment benefit) dan beasiswa pelatihan kerja,” katanya.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, pemerataan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah. Walaupun ketimpangan pendapatan menurun dengan menurunnya gini rasio dari 0,41 di tahun 2014 menjadi 0,39 di tahun 2017 (BPS, 2017), namun ketimpangan kekayaan masih lebar. 1% orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 45% total kekayaan nasional (Credit Suisse, 2017). Persepsi masyarakat juga menyebutkan ketimpangan meningkat. Sebuah fakta yang harus dipecahkan di negara yang demokratis. (Mugiyanto)
INFID: 20 Tahun Reformasi Intoleransi Justru Jadi Ancaman
Ki-ka:
Odi Shalahuddin (Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN)), Totok Yuliyanto (Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI)), Dian Kartika Sari (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia), Mugiyanto (Senior Program Officer Human Rights and Democracy INFID), Istiatun (Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) Yogyakarta), Sugeng Bahagijo (Direktur Eksekutif INFID)
JAKARTA- Pilkada di Jakarta 2017 telah menjadi tipping point bagi radikal-intoleran karena “keberhasilan” penggunakan politik identitas, terutama sentimen keagamaan untuk memenangkan kontestasi politik. Demikian pernyatan INFID dalam forum diskusi, di Jakarta, Kamis ( 1/3)
Totok Yuliyanto, Wakil Ketua Dewan Pengurus INFID dan Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyebutkan negara khususnya Badan Pengawas Pemilu dan penegak hukum harus bertindak tegas mengenai penggunaan kampanye-kampanye intoleran yang berpotensi merusak kemajemukan.
“Masyarakat diharapkan untuk lebih memfokuskan kepada visi-misi dan program kerja dari para calon pemimpin dibandingkan menjadi obyek kampanye intoleran,” katanya dalam forum yang digagas INFID di Jakarta, Kamis (1/3).
Puspa Dewi, Ketua Dewan Pengawas INFID dan Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) menyebutkan, Pilkada 2018 ini juga menjadi momentum penting bagi para calon kepala daerah untuk memasukkan program-program penurunan ketimpangan dan pencegahan intoleransi sebagai agenda pembangunan daerah.
“Apalagi persepsi masyarakat masih melihat ketimpangan dan intoleransi sebagai ancaman di Indonesia,” katanya.
Menurutnya, tahun 2018 merupakan tahun yang krusial bagi proses demokratisasi di Indonesia. Krusial karena Pilkada di berbagai daerah dapat memperkuat atau melemahkan demokrasi.
“Pilkada di tahun 2018 yang akan berlangsung serentak di 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten akan memperkuat demokrasi jika menjadi proses politik adu program. Sebaliknya akan melemahkan demokrasi dan Keindonesiaan jika politik identitas (berbasis agama) digunakan,” katanya.
Menguatnya kelompok-kelompok radikal-intoleran yang mengancam kohesi sosial, kedamaian, dan NKRI menurutnya telah memanfaatkan ruang dan lembaga demokrasi dengan menggunakan berbagai media termasuk media sosial.
“Perlu ada agenda yang menghentikan atau mengurangi penggunaan politik identitas untuk menjaga gotong royong dan kedamaian antar warga di Indonesia,” katanya.
Ketimpangan
Dalam forum itu, Dian Kartika Sari, Ketua Dewan Pengurus INFID dan Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan, ketimpangan gender masih terjadi di Indonesia. Perkawinan anak merupakan akibat dan penyebab ketimpangan sekaligus melanggengkan pemiskinan dan ketimpangan.
“Perkawinan anak juga menjadi hulu dari berbagai masalah anak di antaranya tumbuh pendek (stunting), putus sekolah, menurunnya derajat kesehatan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, dan kematian ibu melahirkan,” katanya.
Fakta-fakta tersebut menurutnya menunjukkan perkawinan anak merupakan wujud nyata feminisasi pemiskinan. Jika masalah perkawinan anak tidak diatasi, program-program pemerintah untuk menurunkan ketimpangan dan kemiskinan tidak akan mencapai hasil yang optimal.
Puspa Dewi, Ketua Dewan Pengawas INFID dan Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) menyebutkan jika masalah ketimpangan dan intoleransi tidak diatasi, kecil kemungkinan agenda Nawacita bisa tercapai. Padahal pemerintahan Jokowi-JK menjanjikan negara hadir untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan mendorong produktivitas rakyat.
“Sementara kesempatan perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik terhambat karena masih banyaknya diskriminasi yang dihadapi perempuan,” katanya.
Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif INFID menegaskan, komitmen dan prioritas pemerintah Jokowi-JK untuk mengurangi ketimpangan sebagai sasaran utama dan alat ukur keberhasilan pembangunan patut didukung. Selanjutnya yang menjadi soal adalah cara-cara untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.
“Investasi infrastruktur baik tetapi segera harus dibuka dan dilaksanakan investasi SDM khususnya bagi angkatan kerja kaum muda dan kaum perempuan. Antara lain, pemerintah harus segera melaksanakan sistem jaminan sosial yang baru yang negara lain sudah punya: Tunjangan Pengangguran (unemployment benefit) dan beasiswa pelatihan kerja,” katanya.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, pemerataan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah. Walaupun ketimpangan pendapatan menurun dengan menurunnya gini rasio dari 0,41 di tahun 2014 menjadi 0,39 di tahun 2017 (BPS, 2017), namun ketimpangan kekayaan masih lebar. 1% orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 45% total kekayaan nasional (Credit Suisse, 2017). Persepsi masyarakat juga menyebutkan ketimpangan meningkat. Sebuah fakta yang harus dipecahkan di negara yang demokratis. (Mugiyanto)