JAKARTA- Tuduhan Jaksa Agung HM Prasetyo bahwa aktivis HAM menghambat rekonsiliasi, semakin menunjukkan ketidakpahaman Jaksa Agung tentang tugas dan kewajiban negara dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Untuk itu Jaksa Agung pantas untuk diberhentikan. Hal ini disampaikan Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (6/10).
“Ada kewajiban generik yang melekat pada negara, yaitu mengungkap kebenaran, menciptakan terobosan yang adil dan memulihkan korban. Rekonsiliasi adalah result atau hasil dari seluruh kewajiban negara itu,” jelasnya.
Ia mengatakan, mengungkap pelanggaran HAM berat mengandung hak publik yang juga harus dipenuhi, yaitu rights to know dengan mengungkap kebenaran.
“Rekonsiliasi yang digagas Jaksa Agung adalah menyesatkan, mengaburkan masalah, dan tidak akan memenuhi rasa keadilan,” ujarnya.
Presiden menurutnya harus menegur Jaksa Agung dengan gagasan rekonsiliasi semu dan penuh kamuflase.
“Pejabat semacam ini pantas untuk diberhentikan, karena merusak wibawa pemerintahan yang sudah berniat untuk mencari jalan keadilan yang lurus,” tegasnya.
Ingin Rekonsiliasi
Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo menginginkan rekonsiliasi menjadi solusi atas penyelesaian kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Namun, Jaksa Agung mengakui bahwa ada beberapa pihak yang masih tidak setuju atas wacana rekonsiliasi tersebut. Mereka adalah aktivis atau pegiat HAM.
“Para aktivis itu, pegiat HAM. Itu saja (yang menolak rekonsiliasi) sebenarnya,” ujar Prasetyo di Cilegon, Banten, Senin (5/10) lalu.
Jaksa Agung mengatan para keluarga korban pelanggaran HAM sudah menerima dan memaafkan bahkan, ingin penyelesaiannya dilakukan secepatnya.
Para pegiat HAM sebelumnya menolak pembentukan tim rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Mereka berpendapat bahwa penyelesaian kasus HAM berat tidak cukup hanya dengan meminta maaf. Langkah rekonsiliasi tanpa melalui proses hukum, dianggap memotong rasa keadilan korban serta keluarganya.
Kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang menjadi perhatian pemerintah adalah kasus Talangsari, Wasior, Wamena, penembak misterius atau petrus, G30S PKI, kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan orang secara paksa. (Calvin G. Eben-Haezer)