Senin, 28 April 2025

Hendardi: MK Diskriminasi Perkawanan Beda Agama

JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pembatalan Pasal 2 Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa negara masih memiliki otoritas untuk mengatur kebebasan sipil warga, termasuk dalam hal perkawinan. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (20/6).

 

“Bagi para tokoh agama apapun, sebenarnya pasal tersebut dianggap moderat karena menyerahkan keabsahan perkawinan pada agama masing-masing. Hanya saja. Undang-undang ini tidak memberi ruang bagi mereka yang menikah beda agama, sehingga menimbulkan diskriminasi akibat kebijakan pencatatan yang diskriminatif pula. Jadi juga MK lakukan diskriminasi pada  perkawinan beda agama,” jelasnya.

Menurutnya di masa depan pernikahan beda agama akan tetap banyak terjadi karena kebebasan memilih pasangan adalah hak setiap warga negara.

“Karena negara tidak akan menganggap sah, maka semestinya ada mekanisme lain yang memungkinkan pengakuan sehingga tidak ada lagi warga yang terdiskriminasi,” ujarnya.

Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 menyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”

Pasal diatas dianggap menghalangi dan mempersulit terjadinya pernikahan beda agama. Pada tanggal 18 Juni 2015, Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan tersebut dengan pertimbangan negara berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan, agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.

Gugatan pelegalan nikah beda agama yang ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), diajukan oleh Agata Yufens, warga Jalan Ratu Dibalau No. 24 RT 012, Kelurahan/Kecamatan Tanjungsenang, Bandarlampung.

Mahkamah Konstitusi menolak pengujian pasal 2 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan terkait nikah beda agama. Mahkamah menganggap pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Pemerintah memberikan pandangan bahwa ketentuan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan sudah secara tegas dan jelas dalam mewujudkan adanya kepastian hukum sehingga ketentuan a quo tidak perlu diberikan tafsir kembali oleh Mahkamah Konstitusi, baik melalui putusan yang bersifat conditionally constitutional maupun unconditionally constitutional.

Selanjutnya, sembilan majelis hakim konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Ahmad Fadlil Sumadi, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati melakukan musyawarah pada 15 Desember 2014. Masing-masing sebagai anggota sepakat menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru