JAKARTA- Selama ini masyarakat dunia sudah mengetahui hanya Amerika Serikat dan Inggris yang terlibat dalam pembantaian rakyat Indonesia dalam kudeta dan penggulingan Presiden Soekarno oleh militer Indonesia ditahun 1965-1966.
Belakangan terbongkar keterlibatan Jerman sangat kuat dalam membantu operasi CIA di atas. Operasi BND, sebuah badan rahasia Jerman itu sendiri ditulis dalam media Jerman, Deutsche Welle (DW) dalam sebuah artikel berjudul ‘Keterlibatan Jerman dalam Pembantaian Massal Pasca G30S-1965’
DW melaporkan aksi pembunuhan massal yang dilancarkan Angkatan Darat dan kelompok pendukungnya pasca peristiwa 30 September adalah salah satu tragedi kemanusiaan terbesar Asia di era Perang Dingin. Sampai di mana keterlibatan Jerman?
Jerman Barat selama era Perang Dingin tahun 1960-an adalah salah satu ujung tombak Sekutu Barat menghadapi pengaruh Uni Soviet dan Cina. Tidak heran jika Jerman Barat dan dinas rahasianya juga dikerahkan untuk mendukung kudeta militer di berbagai tempat, dari Chili (1973) sampai Turki (1980).
Namun kudeta militer di Indonesia tahun 1965-66 adalah yang paling berdarah dalam catatan sejarah era Perang Dingin. Diperkirakan 500.000 sampai tiga juta orang dibunuh, dari warga yang diduga simpatisan PKI sampai kelompok minoritas yang dianggap condong mendukung Cina. Majalah berita terbesar Jerman Der Spiegel tahun 1971 sudah menurunkan berita tentang keterlibatan dinas rahasia Jerman Bundesnachrichtendisenst, disingkat BND, dalam apa yang disebut “operasi penumpasan” PKI.
Spiegel ketika itu menulis, BND telah mendukung dinas intelijen militer Indonesia tahun 1965 untuk memukul kudeta sayap kiri di Jakarta, dengan bantuan berupa senapan mesin ringan, radio gelombang pendek, dan uang senilai 300.000 Deutsche Mark. Beberapa minggu kemudian, Spiegel memberitakan bahwa “komando BND”, telah “melatih agen intelijen militer di Indonesia” untuk meringankan beban rekan-rekan CIA yang sedang berada “di bawah tekanan berat propaganda anti-Amerika” di Indonesia. Instruktur BND itu “memasok senapan Soviet dan amunisi Finlandia” dan bahkan “benar-benar terlibat” dalam “perang saudara” itu.
Sejak Suharto sebagai pelaku utama sejarah meninggal dunia, makin banyak dokumen-dokumen rahasia di luar negeri yang dibuka untuk publik. Di Jerman, tahun 2014 beberapa anggota dari Partai Kiri mulai melontarkan pertanyaan kepada parlemen mengenai peran Jerman, terutama setelah peran dinas rahasia Amerika Serikat CIA mendukung para jenderal Angkatan Darat untuk menggulingkan Soekarno makin jelas. Menanggapi permintaan Partai Kiri, pemerintah Jerman mengirim jawaban setebal delapan halaman, namun membantah “keterlibatan Jerman” dalam peristiwa itu. Sejak itu makin jelas peran dinas intelijen Jerman dalam “operasi penumpasan PKI” di Indonesia.

Operator intelijen Jerman yang dulu ditempatkan di Jakarta dan disebut dalam berita Der Spiegel adalah Kolonel Rudolf Oebsger Roeder, kemudian dikenal sebagai O.G. Roeder. Setelah Suharto mengambil alih kekuasaan, dia kemudian menerbitkan biografi tentang Suharto dengan judul: ”The Smiling General”, terbitan Gunung Agung tahun 1969. Edisi Indonesianya berjudul: ”Soeharto, dari Pradjurit Sampai Presiden”.
Dokumen Dinas Rahasia Jerman
Data-data dinas rahasia yang sekarang terungkap mengindikasikan keterlibatan BND dan pemerintah Jerman sebelum peristiwa 30 September 1965. Suasana global saat itu memang menuntut Jerman Barat berada di garis depan operasi menghadang penyebaran komunisme. Juga setelah terjadi aksi pembunuhan massal di berbagai tempat, intelijen Jerman menerima laporan-laporan perkembangan situasi aktual.
Penelusuran terbaru dilakukan oleh jurnalis portal berita T-Online Jonas Mueller-Töwe bersama dua rekannya, yang menyisir dokumen-dokumen rahasia BND dan merilis hasil penelitian mereka pada 13 Juli 2020.
Mereka misalnya mengungkapkan sebuah laporan internal BND tertanggal 3 November 1965 berjudul “Föhrenwald”, yang menggambarkan terjadinya “pembantaian besar-besaran terhadap komunis”. Lima hari kemudian, 8 November 1965, dokumen lain menulis tentang “permohonan mendesak” dari para jenderal militer di Jakarta agar dikirimkan dana dari Jerman, karena mereka “tidak bisa mengambil dana dari kas negara” di Indonesia. Para jenderal ketika itu meminta dana sekitar 1,2 juta Deutsche Mark untuk keperluan “aksi pembersihan anti komunis”. Tidak jelas, apakah uang itu akhirnya dikirimkan, karena masih ada beberapa dokumen BND yang tetap ditutup.

Dokumen-dokumen BND juga mengungkapkan hubungan dekat dinas intelijen Jerman Barat BND dengan jajaran Angkatan Darat, jauh sebelum peristiwa G30S. Tahun 1962 dan 1963, perwira-perwira intelijen Indonesia mendapat pelatihan di Jerman. Hubungan baik itu juga terdokumentasi dalam berkas-berkas BND. Kedekatan BND dengan Angkatan Darat kemudian memungkinkan “kerjasama intelijen” kedua negara, berupa “uang, peralatan, penasehat”, tulis pejabat intelijen Jerman Gerhard Wessel, yang kemudian diangkat menjadi Direktur BND.
Bantuan Setelah Pembantaian
Wakil Menteri Luar Negeri Jerman tahun 1965, Karl Carstens, disebut-sebut sebagai salah satu pejabat tinggi yang mendukung bantuan BND untuk Indonesia dan hubungan Jerman dengan para jenderal Angkatan Darat. Karl Carstens di kemudian hari menjadi Presiden Jerman periode 1979-1984.
Pada 25 November 1965, Karl Carstens menerima kunjungan Brigjen Ahmad Sukendro, salah satu tokoh penting kepercayaan Jendral A.H. Nasution, yang memainkan peran kunci dalam penggulingan Soekarno dan pembantaian anti komunis, walaupun kemudian dia juga dipenjarakan oleh Suharto akhir 1970-an. Menjelang kedatangan Sukendro ke Bonn, yang saat itu menjadi ibu kota Jerman Barat, Kedutaan Besar Jerman di Jakarta mengirim kabar ke Bonn tentang rencana kunjungan itu, dan menyebut Sukendro sebagai “salah satu jendral anti komunis yang paling mampu dan paling energik”. Dubes Jerman di Jakarta saat itu menulis, Sukendro sendiri mengatakan kepadanya bahwa “sudah sejak beberapa bulan” Angkatan Darat hanya menunggu alasan “untuk menumpas PKI”.

Di Jerman, Brigjen Ahmed Sukendro kemudian bertemu dengan Menlu Jerman Gerhard Schröder dari Partai Uni Kristendemokrat CDU untuk membahas bantuan ekonomi, suatu pertemuan langka di panggung diplomasi, di mana seorang perwira militer diterima langsung oleh seorang Menteri Luar Negeri. Gerhard Schröder sendiri tidak lama kemudian menjabat sebagai Menteri Pertahanan (1966-1969).
Bahwa pemerintah Jerman saat itu sudah mengetahui adanya aksi pembantaian massal di pulau Jawa, bisa dibaca dalam laporan Föhrenwald tertanggal 3 November 1965.
“Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi pembantaian massal para komunis, terutama dilaksanakan oleh muslim fanatik. Pimpinan militer kelihatannya membiarkan aksi-aksi anarkis ini secara sadar… Aksi-aksi anti komunis tentu saja disiapkan secara matang oleh pimpinan militer..,” tulis dokumen itu.
Pada 14 Desember 1965, Kedutaan Besar Jerman Barat di Jakarta menulis, korban tewas dalam aksi anti komunis “sedikitnya 128.000 orang” dan “ratusan ribu orang lain ditahan.” Pada saat yang sama, para diplomat Jerman di Jakarta tengah berunding dengan Angkatan Darat tentang bantuan ekonomi untuk Indonesia, yang melandasi hubungan baik Jerman dengan rezim Suharto sampai bertahun-tahun kemudian. Pada kunjungan Suharto ke Jerman Barat tahun 1995, Kanselir saat itu Helmut Kohl menyambutnya sebagai “sahabat”.
Mantan Direktur BND Reinhard Gehlen, yang memimpin badan intelijen itu dari 1956 sampai 1968, dalam sebuah wawancara televisi tahun 1996 menanggapi kudeta politik di Indonesia tahun 1965/66 dengan komentar: “Keberhasilan Angkatan Darat Indonesia,.. yang melaksanakan penumpasan seluruh Partai Komunis dengan segala konsekuensi dan kekerasan, menurut keyakinan saya punya peran yang tidak terbilang pentingnya.”

Bergelora.com menerima dari aktivis HAM, Nursyahbani Katjasungkana, sebuah ulasan baru berupa film dokumenter tentang keterlibatan Jerman dalam pembantaian 1965 di Indonesia dapat ditonton secara terbuka.
Presiden AS Eisenhower dan Huru-Hara 1965
Media nasional Kompas sempat mengulas, ternyata upaya penggulingan Soekarno sudah dilakukan jauh sebelum Kudeta militer 1965.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, Amerika Serikat jauh-jauh hari sudah membuka keterlibatan agen-agen rahasianya dalam Kudeta penggulingan Soekarno tahun 1965-1966. Walau demikian pemerintah RI masih saja enggan mengakui peristiwa berdarah yang memakan korban 7 orang perwira dan jutaan orang rakyat Indonesia, sebagai kudeta penggulingan Presiden RI Pertama, Soekarno oleh Angkatan Darat.

Dalam pengakuan resmi pertamanya, Departemen Luar Negeri AS telah memberikan laporan rinci tentang operasi rahasia besar yang diluncurkan CIA di Indonesia selama tahun 1950-an.
Operasi rahasia itu, disebut dipicu kekhawatiran pengaruh komunis yang mulai tumbuh di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Dilansir LA Times, dokumen sejarah setebal 600 halaman ini menunjukkan bahwa pemerintahan presiden AS saat itu, Dwight D Eisenhower, yang menjabat hingga 1961, sempat melakukan operasi intelijen rahasia.
Mereka mendukung pemberontak anti-komunis di Indonesia yang, dalam beberapa hal, juga merupakan cikal bakal operasi Teluk Babi melawan Kuba.
William Z Slany, sejarawan resmi Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa sebelumnya, Departemen Luar Negeri tidak pernah mempublikasikan informasi tentang operasi rahasia CIA, kecuali beberapa kegiatan intelijen di Vietnam pada awal 1960-an.
Indonesia adalah operasi intelijen Perang Dingin yang lebih khas. Di depan umum, AS mempertahankan hubungan diplomatik yang normal dengan pemerintah Soekarno di Jakarta.
Sementara itu, Administrasi Eisenhower diam-diam campur tangan dalam tindakan militer terhadapnya.
Menteri Luar Negeri John Foster Dulles mengatakan pada satu pertemuan penting bahwa Soekarno, “berbahaya, tidak dapat dipercaya, dan rentan terhadap cara berpikir komunis.”
Maka, pada awal tahun 1958, AS mulai secara diam-diam memasok dan mendukung kelompok-kelompok militer pembangkang di pulau-pulau terluar Indonesia, Sumatra, dan Sulawesi.
“Ada banyak bukti bahwa AS mendorong dan mendukung pemberontakan, sampai jelas bahwa pemberontakan itu gagal,” ujar sejarawan Departemen Luar Negeri.
Sejarawan mengatakan bahwa fakta bahwa CIA melakukan operasi rahasia di Indonesia sudah diketahui.
Indonesia mulai mengeluh tentang kegiatan CIA setelah menembak jatuh dan menangkap seorang pilot Amerika, Allen Pope, yang membom sasaran militer untuk mendukung pemberontak.
Howard P Jones, duta besar Amerika untuk Indonesia, kemudian menulis sebuah buku di mana dia mengakui, dan mengkritik, operasi intelijen rahasia itu.
Tetapi, dokumen Departemen Luar Negeri yang baru mengumumkan untuk pertama kalinya bahwa ada pengambilan keputusan Administrasi Eisenhower, makalah kebijakan internal dan laporan pertemuan di mana operasi rahasia direncanakan dan diluncurkan.
Direktur CIA saat itu, Allen Dulles, duduk di semua sesi strategi utama, mencoba mengatur detail sehari-hari dari tanah Asia yang dilihatnya melalui mata Barat.
Pada satu titik, dia mengatakan kepada Dewan Keamanan Nasional: “Sebagai rakyat, orang Indonesia sering banyak bicara, disertai dengan sangat sedikit tindakan.”
Pada tahun 1959, ketika menjadi jelas bahwa para pemberontak akan gagal, Eisenhower mengubah arah.
Alih-alih mendukung para pemberontak, ia memutuskan untuk memberikan dukungan AS kepada tentara reguler Indonesia yang telah memerangi mereka.
Harapan, para pemimpin militer akan memberikan penyeimbang bagi Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam jangka panjang, strategi itu lebih efektif. Pada tahun 1965, di tengah upaya kudeta yang misterius, para pemimpin militer Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto mengambil alih negara, dan secara bertahap menurunkan Soekarno dari kekuasaan.
Soeharto lantas menjadi presiden Indonesia.
Sejarah Departemen Luar Negeri berakhir pada tahun 1960, dan tidak ada bukti tentang peran CIA dalam perebutan kekuasaan militer tahun 1965.
Direktur CIA memanggil eksekutif, agar berusaha untuk menjaga agar berita tersebut tidak dipublikasikan.
Tapi, peran Eisenhower semakin jelas dan nyata saat dokumen-dokumen lampau perlahan dibuka.
Sampai hari ini menjelang Film propaganda Orde Baru berjudul asli ‘Penumpasan Pengkhianatan G30/S PKI’ yang sudah diragukan kebenarannya masih disebar dan ditonton di masyarakat Indonesia. Hal ini bagus menjadi pelajaran melihat kaitan benang merah antara Adolf Hitler dan fascismenya, peran Amerika Serikat dan CIA-nya dengan peristiwa kudeta militer dan pembantaian jutaan orang Indonesia pada tahun 1965.
Bisa dipastikan, geopolitik dunia hari ini yang diwarnai perang NATO melawan Rusia di Ukraina juga tak terlepas dari rangkaian semua sejarah di atas itu. Adolf Hitler sudah mati, tapi Amerika Serikat melahirkan fascisme kembali kembali,– si Ukraina sampai di Indonesia hari ini. Soekarno sudah tepat, “Jangan Melupakan Sejarah! (Jasmerah)”. (Web Warouw)