JAKARTA- Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menilai KPK saat ini secara sistematis sedang mengalami pelemahan dan penghancuran lewat cara-cara hukum dan kendali politik kekuasaan.
“Ada kooptasi politik terhadap fungsi KPK dalam memberantas korupsi. Upaya ini sudah ada sejak 2019 melalui revisi UU KPK,” jelas Ari dalam diskusi yang digelar PARA Syndicate bertajuk “Kala KPK di Bawah Kendali Politik” pada Jumat (14/6/2024) di Kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan. Diskusi menghadirkan Ari Nurcahyo (PARA Syndicate), Ray Rangkuti (Lingkar Madani), Badiul Hadi (Seknas FITRA), Lucius Karus (FORMAPPI), dan moderator Lutfia Harizuandini.
Ari menyinggung intervensi melalui manipulasi hukum yang terjadi belakangan ini, juga dialami KPK, menjadi preseden bahwa hukum bisa “dimainkan”. Hukum dijadikan sebagai senjata politik untuk menekan lawan politik, sementara kawan politik dilindungi dan diberi ‘segalanya’ termasuk jabatan dan kekuasaan. Adapun KPK di bawah produk hukum, revisi UU KPK dan putusan Majelis Hakim Tipikor di PN Jakarta Pusat, menjadi salah satu bentuk bagaimana perampasan hukum terjadi.
Ari mencium ada aroma politik yang kuat di balik pemeriksaan yang dijalani Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, baik di kepolisian maupun di KPK, terutama bila mencermati kronologis pemeriksaan dan penyitaan barang milik Hasto. Bila betul ada intervensi dan kendali politik di baliknya, ini merupakan praktik manipulasi hukum dengan tujuan memberangus lawan politik.
Ari mempertanyakan kasus Harun Masiku, yang telah diputus empat tahun berlalu, baru diungkit tak lama setelah Sekjen PDI-P mengkritisi pemerintah.
Senada dengan Ari, Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti, juga tak bisa menafikkan bahwa kasus pemanggilan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto itu sarat akan kepentingan politik. Ia bahkan mempertanyakan kinerja KPK dalam beberapa tahun terakhir.
“Komisioner KPK dan Dewan Pengawas KPK seharusnya diperiksa. Empat tahun kemarin ngapain aja?” tegas Ray.
Pola semacam itu, kata Ray, mempersalahkan mereka yang dianggap reaksioner dan kritis, dikhawatirkan terus terjadi. Ray mengatakan hal yang dialami oleh Sekjen PDI-P akan mambawa trauma politik kepada publik. Ke depan, makin banyak orang yang mungkin takut untuk mengkritik penguasa.
Menurut Ray, pelemahan yang sama tidak hanya terjadi di KPK, tetapi juga pelemahan Mahkamah Konstitusi (MK). MK yang diharapkan menjadi penjaga konstitusi justru melahirkan putusan yang memungkinkan publik menjadi lebih permisif terhadap nepotisme. Putusan yang kurang lebih serupa juga diterbitkan oleh Mahkamah Agung, soal batas usia calon kepala daerah.
“Keduanya, mengeluarkan produk hukum yang menungkinkan dua anak Presiden Jokowi, Gibran dan Kaesang, masing-masing melenggang di kontestasi Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah. Kita semua tahu bahwa nepotisme erat berkaitan dengan potensi korupsi,” kata Ray.
Peneliti Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi mengatakan, sepanjang tahun 2023, ada 5.079 laporan korupsi kepada KPK. Namun, yang baru ditindaklanjuti oleh KPK sebanyak 690 kasus. Banyaknya laporan kepada KPK ini menyiratkan kegelisahan publik. Namun, sayangnya, publik tak mendapat kepastian bagaimana tindak lanjut laporan mereka.
Menurut Badiul, anggaran yang bisa dikembalikan ke negara atau recovery asset dari penanganan kasus korupsi di KPK pada periode 2023 hanya sebesar Rp 525,4 M saja. Padahal ada banyak kasus korupsi yang nilai korupsinya melampaui itu. Hal seperti ini menunjukkan memang sedang ada masalah internal di KPK.
Lebih lanjut, Badiul menekankan soal pentingnya kita semua mengawal dan mendorong supaya proses seleksi pimpinan KPK yang tengah berlangsung bisa menghasilkan pimpinan yang lebih baik, betul-betul memberantas korupsi.
“Harapannya, publik yang saat ini kecewa terhadap KPK, kembali percaya kepada lembaga tersebut. Selain itu, masyarakat sipil juga harus mengawal rencana revisi UU KPK,” katanya.
Sementara itu, peneliti FORMAPPI Lucius Karus kembali menyinggung soal pelemahan KPK. Ia menjelaskan pelemahan KPK dilakukan oleh kekuasaan melalui cara yang konstitusional di DPR, sebagaimana pelemahan lembaga lain yang lahir dari semangat Reformasi.
“DPR saat ini menjadi kaki tangan politik kekuasaan,” imbuhnya.
Kembali ke perihal KPK, Lucius tak memungkiri bahwa UU KPK perlu direvisi secara betul demi memperkuat lembaga anti korupsi tersebut. Namun, Lucius mengingatkan, masa sidang DPR periode 2019-2024 tersisa satu kali lagi masa sidang, yaitu pada 16 Agustus mendatang. Dengan masa sidang yang sempit ini, tak ada ruang bagi publik untuk terlibat dalam proses legislasi. Selain itu, proses revisi UU memakan waktu lama lantaran membutuhkan kajian mendalam. Maka dari itu, mengingat UU KPK tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), ia mendorong perevisian UU KPK di DPR periode selanjutnya.
Menurutnya, saat ini KPK ada di bawah kekuasaan eksekutif, sehingga mustahil untuk bekerja sebagai yudikatif. Hal inilah, yang menjadi salah satu permasalahan di KPK dan menyebabkannya KPK rentan digunakan untuk kepentingan politik. Maka itu, selamatkan KPK dari kendali politik.
Diskusi ini digelar sebagai respon terhadap dinamika KPK terakhir, lembaga anti korupsi yang lahir dari rahim Reformasi ini terus dilemahkan dan dihancurkan marwahnya melalui cara-cara hukum dan kendali politik penguasa.
Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus terjadi utamanya sejak revisi UU KPK pada 2019 silam. Belakangan KPK selalu diterpa banyak pesoalan, mulai dari pelanggaran etik sampai tindakan melawan hukum, bahkan pimpinan KPK sampai menjadi tersangka korupsi.
Belum lama muncul produk hukum yang menjadi mimpi buruk yang potensial melemahkan KPK. Kita mencatat Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang terbit pada 27 Mei 2024 lalu, yang memutus bahwa penuntut umum KPK harus mendapat delegasi dari Jaksa Agung lebih dulu untuk setiap perkara yang ditangani KPK. Putusan ini bisa berakibat fatal bagi pemberantasan korupsi dan mengancam eksistensi KPK yang menurut UU berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.
Peristiwa belakangan kala KPK melakukan pemanggilan kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai saksi mengenai Harun Masiku, namun disayangkan disertai aksi penyitaan ponsel serta tas dan buku milik Hasto secara tidak profesional. Pemanggilan KPK ini berselang tak lama setelah Sekjen PDI-P diperiksa Polda Metro Jaya atas dugaan penghasutan dan penyebaran hoaks, terkait pernyataan Hasto di salah satu media yang mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024. Publik menyiratkan dugaan kuat adanya motif kepentingan politik di balik proses hukum yang dijalani Hasto Kristiyanto, karena selama ini Sekjen PDI Perjuangan itu memang keras menyuarakan sikap kritis partai terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. (Web Warouw)