Sabtu, 13 September 2025

Humaniora Kesehatan: Pasangan Bioetika, Menuju Prognostikasi Kedokteran Masa Depan

Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, MSi, Sp.F.M.(K). (Ist)

Pendidikan menjadi dokter yang baik melalui role modeling tertentu memerlukan pemahaman praktis sosiologi, antropologi, psikologi, budaya dan agama sebagai ilmu bantu humaniora kesehatan. Bergelora.com memuat pidato Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, MSi, Sp.F.M.(K) yang berjudul ‘Humaniora Kesehatan: Pasangan Dari Bioetika, Pewujud Prognostikasi Kedokteran Masa Depan’, sebagai Promotor pada Promosi Dr. dr. Rita Mustika M.Epid binti Musthafa Toyib sebagai Doktor Ilmu Kedokteran di FKUI, 5 Mei 2020 lalu. (Redaksi)

 

Oleh: Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SH, MSi, Sp.F.M.(K)

Assalamu’alaikum Wr Wb

Terlebih dahulu marilah kita ucapkan syukur alhamdulillah atas nikmat sehat di era Pandemik Covid-19 yang menyebabkan kita semua mampu menyelenggarakan promosi doktor dengan cara melalui daring. Marilah kita doakan teman-teman sejawat dan tenaga kesehatan bersama pasien mereka penderita Covid dan non Covid dimanapun berada agar semakin sehat, masyarakat sekitar tetap sehat dan negara kita segera terbebas dari pandemik. Marilah kita senantiasa mendoakan agar arwah sejawat dokter dan tenaga kesehatan lain yang telah wafat diterima di sorga Allah Swt, Tuhan YME. Aamiin YRA.

Hadirin yang saya muliakan.

Sebagai promotor saya mengucapkan terima kasih kepada Dekan FKUI, Prof.Dr.dr.Ari Fachrial Syam, SpPD, KGEH, FINASIM beserta seluruh jajarannya. Juga kepada KPS S3 FKUI, Prof.Dr.dr. Suhendro, SpPD-KPTI dan SPS Dr.dr. Harrina Erliyanti Rahardjo, Sp.U(K), PhD beserta seluruh jajarannya. Dekan FKUI bahkan telah memimpin sendiri promosi pertama doktor ilmu kedokteran secara daring.

Terima kasih juga kepada kopromotor: dr. Diantha Soemantri, M.Med.Ed, PhD dan Dr.dr. Wresti Indriatmi, M.Epid, Sp.KK. Demikian juga kepada semua penguji: Prof.dr. Marcellus Simadibrata, SpPD, KGEH, PhD, Dr. E.Kristi Poerwandari, M.Hum dari Fakultas Psikologi UI dan penguji luar Prof.Dr.dr. David S.Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) dari FK Unair. Kita semua mencatatkan sejarah bahwa peristiwa ini sebagai yang pertama di FKUI. Bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Humaniora kesehatan memiliki dasar yang kokoh untuk menjadi konten kurikulum di FK. Konten yang berdampak jangka panjang dalam profesionalisme, adonan perilaku etis dan profesional seorang dokter.

Sdr Dr.dr. Rita Mustika M.Epid yang terpelajar.

Saudara telah berhasil membangun awal epistemologi humanisme sebagai inti humaniora kesehatan melalui temuan orisinalnya yakni H-CliM (Humanistic Climate Measure). Instrumen Penilaian Iklim Humanis ini menjadikan ihwal humanisme lebih operasional. Humanisme yang lebih banyak dipersepsikan sebagai aspek “IPS” karena sesuatu yang kualitatif dapat didekati dari aspek “IPA” yang kuantitatif. Melalui pendekatan mixed method.

Saudara juga mengangkat pentingnya memperhitungkan dan mengatasi hidden curriculum dalam rangka mengukuhkan nilai profesionalitas luhur humaniora kesehatan. Promovendus telah menyatukannya dengan bidang pendidikan kedokteran yang penelitiannya cenderung ke prosedural proses belajar-mengajar. Serba kuantitatif, reduksionistik dan teknis.

Disertasi ini sekaligus juga membuka cakrawala diversifikasi keilmuan dari pilar ke 4 ilmu kedokteran yakni bioetika & humaniora kesehatan sesuai UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang saat ini tengah direvisi. HCliM diharapkan akan menjadi salah satu tonggak etika kelembagaan dari FK dalam menjalankan proses belajar mengajar atau pendidikan akademik profesionalnya.

H-CliM akan menjadi salah satu tolok ukur moralitas dekanat atau pimpinan FK dimanapun berada khususnya dalam memimpin fakultas dan mendidik calon dokter. Bahkan juga moralitas pimpinan RS Pendidikan sebagai wahana pembelajaran klinis mahasiswa FK. Khususnya tahap profesi. Menyadarkan pengaruh institusi dalam memupuk humanisme sebagai “ruh” dari pelayanan etis profesional. Pelayanan yang berpusat kepada klien/pasien sebagai insan manusia yang memerlukan pertolongan seorang dokter.

Topik penelitian yang dihasilkan promovedus hakekatnya menyadarkan betapa utamanya pembiasaan (habituasi) sesuatu yang baik. Mekanisme dipindahkannya sikap, tindak, perilaku dosen klinis kepada mahasiswa FK. Mahasiswa lebih membekas penilaian terhadap lingkungan pembelajaran di RS Pendidikan dan jejaringnya lewat hidden curriculum yang berpotensi penumbuh deprofesionalisme dokter.

Hal ini mengingatkan betapa pentingnya aspek “kemahasiswaan” (saya adalah mantan Pudek III/kemahasiswaan FKUI 1990 – 1997). Saya sering menampung, mendiskusikan dan menyelesaikan masalah mereka sebagai insan utuh pembelajar. Bukan sekedar peserta program studi. Baik profesi atau akademik. “Kemahasiswaan” cocok dengan kebaruan disertasi ini.

Dengan cakupan 4 ranah H-CliM. Meliputi kurikulum formal & informal; relasi & fasilitas, hidden curriculum dan pengembangan kepribadian & profesionalisme. Keempat ranah iklim humanis tadi bahkan amat membekas di ingatan calon dokter secara meta-kognisi.

Ketika mahasiswa merefleksi sikap, tindak, perilaku “tertentu” setiap dosen klinis atau tenaga kependidikan di saat berinteraksi di ruang kuliah. Di bangsal saat ronda, jaga malam. Saat berpapasan di perpustakaan, koridor, kafe RS atau kampus FK. Bahkan saat pertemuan ilmiah, olahraga dan seni di luar kampus. Saat kegiatan ko dan ekstra-kurikular. Lebih membekas ketika mahasiswa berinteraksi dengan kelompok klinisi pemegang pisau bedah. Yang terbukti kurang humanis dibandingkan yang bukan (walaupun perlu penelitian lebih lanjut untuk ini).

Dalam disertasi ini nampak bahwa belajar menjadi dokter yang baik melalui role modeling memerlukan pemahaman praktis sosiologi, antropologi, psikologi, budaya dan agama sebagai ilmu bantu humaniora kesehatan.

Sdr Dr.dr. Rita Mustika M.Epid yang terpelajar.

Promovendus selama ini menujukkan telah berupaya keras dan cerdas menerobos pelbagai rintangan dan kendala sehingga dalam waktu yang tepat. Promovendus menyelesaikan disertasinya dengan hasil cum laude. Penelitiannya tuntas menjelang dunia dikejutkan dengan episenter Covid-19 di Wuhan yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk negara kita, khususnya Jakarta. “In jury time” berbuah berkah.

Dari topik disertasinya, kemampuan menyanggah hingga detik terakhir terhadap pertanyaan para penguji multi-disiplin dan sikap, tindak, perilakunya selama studi program doktor yang secara implisit dan tacit nampak greget semangatnya meneliti. Semua kapasitas individu tadi diharapkan menjadi pionir dalam pengembangan humaniora kesehatan. Disamping keahliannya selama di bidang pendidikan kedokteran.

Saat ini era disruptif 4.0 di sela pandemik Covid-19, masyarakat dunia semakin intens berinteraksi secara virtual dari rumah. Melalui humaniora kesehatan, akan terjadi kemenyatuan interaksi dua hal. Pertama, semua kemajuan modalitas teknologi yang sering dipersepsi “bebas nilai”. Kedua, kompleksitas kemanusiaan yang “sarat nilai” (sebagaimana ciri-ciri ilmu bioetika, pasangan dari humaniora kesehatan). Hal ini akan membingkai pemanfaatan 3 pilar lain ilmu kedokteran (biomedik, klinis/spesialistis dan kesehatan masyarakat/kedokteran pencegahan) di masa depan. Ketiganya kembali ke khittah-nya untuk pengabdian bagi peri-kemanusiaan.

Promovendus yang bermodalkan interaksi di 2 FK selama S1 profesi dan 2 fakultas di UI selama S2 dan S3 akan menyempurnakan metodologi pendidikan kedokteran berintikan humaniora kesehatan sebagai pasangan dari bioetika. Secara ontologis sekaligus epistemologis. Promovendus berkemampuan mengatur tugas domestiknya sebagai ibu dari 2 anak sekaligus istri seorang dokter spesialis jantung pembuluh darah. Ditambah dengan kemampuan publikasi internasional.

Saya harapkan promovendus suatu saat karena posisinya sebagai dosen, akan menggantikan posisi saya disini (sebagai promotor). Khususnya untuk menggubah dan memugar prognostikasi (upaya penunaian prognosis) klien/pasien sebagai perspektif utama praktik kedokteran. Lebih daripada diagnosis dan terapi. Prognosis adalah cakrawala sekaligus kata kunci upaya humanis kedokteran masa depan. Ditengah semakin kecilnya ukuran unsur tubuh dari skala proteomic untuk diintervensi. Ditengah semakin tepat obat/alat kesehatan di sasaran pangkal penyakit (targeted therapy) dan semakin akurat ramalan patogenesis berkat big data yang digunakan. Itu di satu sisi sebagai pendekatan kedokteran modern.

Juga ditengah human enhancement (penalaan manusia) sebagai sisi lain mengarah ke eugenika. Kesemuanya akan “mengganggu” konsep kemanusiaan saat ini. Siapakah pasien ? Siapakah klien ?

Prognostikasi bukan sekedar cara atau kiat komunikasi efektif. Namun otentikasi rasional keinginan, harapan, kekawatiran, kebingungan dan pelbagai perasaan pasien. Berlanjut ke akumulasi semuanya ke kebertubuhan (embodiement) dalam wujud keluhan atau sakitnya secara fenomenologis. Amat kompleks namun khas pada diri pasien saat sakit. Amat kontekstual. Lalu dicoba ditangkap sebagian sebagai anamnesis oleh dokter klinisi. Sebelum, berbarengan atau sehabis pemeriksaan fisik dan laboratorium pasien. Di akhiri dengan penasehatan.

Itulah metodologi kedokteran klinis (pilar kedua). Kokoh. Namun mulai disesuaikan pada situasi era disrupsi 4.0 menjelang 5.0 plus pandemik. Lengkap dengan internet of thing , 3-D, robotik, digital imaging, NG sequencing hingga intensifikasi telemedisin saat ini. Prognostikasi adalah plaform hubungan dokter – pasien masa depan. Dengan wadah humaniora kesehatan.

Prognostikasi amat relevan dengan inti disertasi promovendus tentang iklim pembelajaran yang de facto adalah persepsi rasional mahasiswa sebagai pusat pembelajar tingkat profesi. Persepsi terhadap lingkungannya yang mikro (diri pasien) dan macho (kolaborasi tim pelayanan kesehatan termasuk bedah-non bedah, klinik-preklinik). Persepsi terhadap lingkungan meso (hubungan kelembagaan FK – RS Pendidikan termasuk jejaringnya) dan bahkan makro (kebijakan nasional bidang kesehatan).

Humaniora kesehatan menjadi sarana refleksi (kritis) terhadap semua tujuan ilmu kedokteran. Humaniora kesehatan ketika digabung dengan kompetensi “belajar sepanjang hayat” dapat menjadi sarana pertobatan profesi yang ampuh ketika banyak terjadi penyimpangan. Sesuatu yang dalam episode riwayat kehidupan dokter sering terjadi, sebagaimana penyintas sakit berat atau katastropik. Termasuk penyintas PDP Covid-19 mantan dirawat di ICU.

Bioetika dan humaniora kesehatan tak disangsikan lagi adalah penyeimbang sekaligus penyempurna secara filsafat ilmu, multi-metodologi ilmu kedokteran sebagaimana dimaksud UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Sdr Dr.dr. Rita Mustika M.Epid yang terpelajar.

Saya ucapkan selamat atas telah hilangnya “beban sementara” dengan pencapaian gelar akademik tertinggi saat ini, yakni Doktor Ilmu Kedokteran dari almamater tercinta FKUI. Ijinkan saya menambahkan frasa “kekhususan bioetika humaniora kesehatan” selain kekhususan pendidikan kedokteran. Amat membanggakan. Dalam catatan saya di hari istimewa ini, saya ikut menghantarkan saudara sebagai doktor ke lima lulusan FKUI dalam bidang ini.

Namun yang lebih spesifik, saudara adalah doktor pertama “sub-kekhususan humaniora kesehatan”. Di belakang saudara Insha Allah menyusul 2 lagi calon doktor yang “sub-hybrid bioetika – pendidikan kedokteran”. Kemudian 1 calon yang “bioetika”. Yang menarik menyusul 3 orang lagi dengan bidang baru : “subkekhususan medikolegal”, yang bukan saja diminati dokter spesialis forensik dan medikolegal. Saudara berandil dalam inisiasi mengembangkan epistemologi pilar ke 4 ilmu kedokteran.

Selamat menempuh babak baru pengabdian saudara di bidang humaniora kesehatan untuk membekali profesionalisme sejawat dan calon sejawat kita dimanapun berada. Selamat untuk teman sejawat Dr Sunu Budhi Raharjo SpJP(K) suami tercinta beserta ananda Adiwasita Azis dan Shalihana Ramadita dan seluruh keluarga besarnya. Semoga Allah Swt senantiasa meridhoi langkah-langkah saudara dan kita semua ke depan.

Kepada seluruh hadirin yang menyaksikan acara ini sekarang, saya juga mengucapkan terima kasih. Selamat berpuasa bagi umat Muslim dan Muslimat. Maaf lahir batin.

Ijinkan saya mengakhiri pidato dengan pantun, untuk mengantarkan Bapak Dekan FKUI Prof.Dr.dr. Ari Fachrial Syam Sp.P.D., KGEH, FINASIM yang lebih bonafide menutupnya.

Mpok Rita jalan ke Senen beli ketan

Duit ratusan ribu susah nukarnya

Gelorakan bioetika humaniora kesehatan

Mengawal enyahnya Covid dari Indonesia

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

Jakarta, 5 Mei 2020

Promotor: Prof.Dr.dr. Agus Purwadianto, SH, MSi, Sp.F.M.(K);

Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI/RSCM & Divisi Bioetika

Departemen Pendidikan Kedokteran FKUI.

Imel: apurwadianto@gmail.com; agus.purwadianto@ui.ac.id

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru