Perintis gerakan 80-an, Agus Lenon sebenarnya sudah sakit sejak tahun 80-an. Yang paling sering kambuh adalah sakit mag nya. Tapi tidak pernah ia mengeluh apalagi berhenti berjuang buat keadilan bagi rakyat tertindas. Untuk mengenangnya, Bob Randilawe, Aktivis Mahasiswa 80-an, mantan pimpinan Badan Koordinasi Mahasiswa Jakarta (BKMJ) yang kini menjadi pemerhari lingkungan hidup mengenangnya dan dimuat Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Bob Randilawe
KABAR wafatnya Agus Edy Santoso (Lenon) jumat malam tanggal 10 Januari 2020, beredar cepat dari WAG ke WAG, khususnya yang diseraki para mantan aktivis pro demokrasi di tanah air dan lebih khusus lagi, mereka yg memiliki interaksi emosional, intelektual, atau bahkan ideologis dengan Lenon.
Saya tergolong tak tahu sejak kapan julukan lenon disandangnya. Sebutan yg sangat populer di kalangan aktivis 70an, 80an, hingga era 98. Dengan Lenon, seingat saya pertama bertemu di sekretariat PIPHAM di kawasan Cawang, disana saya bertemu rekan aktivis Dediseh (Mahasiswa Sastra UI), Santoso (Aktivis Jogja), dll.
Saat itu saya datang untuk urusan advokasi dan propaganda aksi-aksi mahasiswa di Jakarta, setelah penangkapan para aktivis KMPTL bulan Mei tahun 1989 di Senayan. Dimotori sdr Standarkiaa, Nuku Sulaiman (alm), Indra Iskandar, Okki Satrio, serta saya sendiri, kami mendirikan Badan Kordinasi Mahasiswa Jakarta (BKMJ), sebagai sarana konsolidasi aksi-aksi dan Jaringan lintas kampus/kota se Jawa Bali.
Saat itu Lenon sudah berada di pusaran inti gerakan anti orde baru/suharto. Di era paska 98, Lenon masih sering turun kejalan bersama kawan-kawan mudanya dari Jaringan Aktivis Prodem, yang ikut dibidaninya dan dikelolanya secara ‘proxy’ dengan mendidik aktivis-aktivis muda yang militan dan kerakyatan.
Berbagai kesaksian, mengungkap betapa luwes dan luas spektrum pergaulan politiknya. Bahkan di era politik identitas saat ini, Lenon mempraxiskan adagium: “Politik secukupnya, pertemanan sepenuhnya!”. Tak soal berbeda “blocking politik dimanapun, namun pertemanan atas dasar kemanusiaan jangan dirusak”.
Sikap ini mengingatkan pada ucapan Ernesto Guevara (che), “great revotionaire is a great lover”, seorang pejuang keadilan adalah pencinta kemanusiaan sejati. Itu yang lekat kentara dimata saya tentang perspektif politik Agus Lenon.
Melihat metode gerakannya, caranya merawat pertemanan, buku-buku yang diterbitkan, hingga trik-trik politiknya, Lenon nampaknya memposisikan garpol-nya sebagai aktivis kiri-islam yang radikal dan kerakyatan. Ia pun meninggalkan semacam ‘legacy’ di kediamannya: Tji’ Liwoeng cafe, di kawasan Condet persis di sempadan Kali Ciliwung: sebuah resto yg artistik, sederhana, dan bercorak khas nusantara.
Semoga usaha itu bisa diteruskan pihak keluarga, agar para sahabat Lenon bisa sekedar mengenangnya dari jarak dekat. Konon Agus sudah lama memendam sakit jantung, penyakit yang akhirnya merenggut nyawanya.
Apakah karena sakitnya itu yang membuatnya banyak senyum dan kelakar, agar jantungnya tak terlalu berat mensuplai O2 ke pikirannya yang ‘nakal’ dan kritis? Atau senyum itu sebagai perwujudan sikap islaminya, bahwa senyum adalah ibadah? Wallahua’lam bissawab…
Dari jarak dekat, dari Tji’liwoeng cafe, ternyata Lenon seorang yang cinta keluarga, berdamai dengan lingkungan sosialnya, dan selalu memilih pola gerakan yang merakyat. Selamat jalan kawan Lenon, sampai jumpa di SorgaNya Tuhan Yang Maha Kuasa, nun disana….