JAKARTA- Menjelang Pemilu Presiden ini rakyat Indonesia berhadapan dengan gaya politik pecah belah dan adu domba. Cara seperti ini biasa dilakukan oleh kepentingan-kepentingan yang mengabdi pada kepentingan asing dengan tujuan untuk menguasai Republik Indonesia lebih dalam dan lebih kuat lagi.
“Siapapun saat ini bertanggung jawab untuk menyelamatkan NKRI dari politik pecah belah seperi ini. Kita negara berdaulat. Kalau pemerintah abai maka, sebagai rakyat berdaulat kita harus segera bertindak. Indonesia perlu gerakan ranaissance,” demikian anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Tengah, Poppy Dharsono kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (3/6).
Sementara itu Mayjend Saurip Kadi mengatakan bahwa saat ini keberadaan negara belum memberi manfaat kepada rakyat. Dalam banyak hal, negara justru menjadi alat dari sedikit orang untuk mengambil hak-hak rakyat melalui kebijakan resmi sehingga mengakibatkan kekerasan oleh negara (state terorisme) yang bersinergi dengan kekerasan uang (capital terorisme) yang dilaksanakan dengan perangkat hukum dan keamanan secara resmi (oppreession by state apparatus).
“Sistem ketatanegaraan yang semrawut, amburadul, tidak sistemik, tidak jelas jenis kelaminnya. Otoriter bukan, demokrasi bukan. Parlementer bukan, Presidential bukan. Sehingga NKRI menjadi negara bukan-bukan,” ujarnya.
Sistem ekonomi yang amburadul menurutnya karena melanjutkan model orde baru, bahkan lebih parah. Karena konsentrasi kekayaan negara masih berada dikuasai tangan sedikit orang.
“Dulu keperluan rakyat ditangani oleh banyak yayasan sosial serta departemen sosial dan departemen koperasi UKM, sedang sekarang perangkat sosial tersebut tidak ada atautidak berperan. Sehingga ketimpangan lebih parah,” ujarnya.
Ia mengatakan moralitas elite politik apalagi sebagai penguasa amat hedonis, berorientasi keuntungan pribadi dan kelompok jangka pendek dan tidak peduli kepentingan bangsa jangka panjang telah terkorbankan.
“Praktik politik dan ekonomi yang bertumpu pada sistem lama orde baru telah menyebabkan elite politik terjebak dalam lingkaran setan seperti didalam tong setan yang terus berputar, kalau berhenti bakal jatuh dan celaka,” ujarnya lagi.
Menurutnya realitas bangsa yang mayoritas jutaan rakyat selama ini menjadi korban dari kesemrawutan sistem ketatanegaraan, amburadulnya tatanan ekonomi, dan moralitas elite penikmat yang tidak peduli perubahan mendasar.
“Sudah saatnya republik diselamatkan bersama, mengingat perubahan tatanan dunia juga akan sampai ke bumi Nusantara, maka perlu dipersiapkan suatu tatanan negeri baru yang menjamin keadilan, kesejahteraan, kedamaian, keamanan yang menjadi unsur-unsur sifat kebangsaan Nuswantara,” ujarnya.
Gerakan Renaissance Indonesia yang dipelopori oleh beberapa anggota DPD didukung oleh beberapa anggota DPR yang bergabung dalam Dewan Penyelamat Negara (DEPAN)
salah satunya adalah Lily Wahid, Effendy Choirie, Bambang Soesatyo, Eva Kusuma Sundari, Hendrawan Supratikno, Syarifudin Suding, Rifka Tjiptaning, Firman Jaya Daely.
Selain itu beberapa jenderal purnawirawan juga ikut mendukung seperti Brigjen TNI (Purn) Krismanto Prawirosumarto, Brigjen Pol (Purn) Simson Munthe, Jendral TNI (Purn) Tyasno Sudarto, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu, Mayjen TNI (Purn) Moerwanto Soeprapto, Ki Hudoro, Bustaman,Jenderal Pol (Purn) Edison Sihaloho, Letnan Jenderal TNI (Purn) Azwar Anas, Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid, Mayjen TNI (Purn) Tubagus Hasanuddin, Brigjen TNI (Purn) Sugeng Widodo, Brigjen TNI (Purn) Daryoto, Brigjen TNI (Purn) Sumarno, Marsekal Muda (Purn) Tumiyo, Brigjen TNI (Purn) Hendrawan. (Enrico Nehemia)