JAKARTA – Pencabutan nama Presiden ke-2 RI Soeharto dari Ketetapan (Tap) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dikritik oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Usman menilai pencabutan nama Soeharto itu melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama rezim orde baru (orba).
“Keputusan MPR mencabut nama eks Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) patut dikritik,” ujar Usman dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/9/2024).
Dia menilai pencabutan nama Soeharto itu langkah mundur perjalanan reformasi.
“Jalan pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan maupun pelanggaran HAM selama 32 tahun Soeharto berkuasa belum selesai diungkap,” ungkapnya.
Dia mengatakan, MPR menciptakan preseden buruk yang membuka jalan pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu. Dia menilai ini akan berdampak pada kian menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil.
“Ini juga menyempitkan ruang gerak korban kejahatan masa lalu untuk menyuarakan hak-hak mereka,” ungkapnya.
Usman mengatakan hal itu setelah berbicara dalam konferensi pers konsolidasi akbar yang dihadiri oleh lebih dari 300 perwakilan organisasi masyarakat sipil dalam acara Indonesia Civil Society Forum (ICSF) pada 25-26 September 2024 di Jakarta.
Usman memprediksi kebijakan itu akan mempersempit ruang sipil bagi para masyarakat sipil yang bergerak di sektor antikorupsi dan korban pelanggaran HAM masa lalu.
“Mulai dari korban peristiwa pembantaian orang-orang yang dicap pendukung PKI 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Lampung 1989, peristiwa penghilangan paksa 1997-1998, Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998, hingga korban peristiwa pelanggaran HAM selama penetapan status DOM di Aceh, Papua dan Timor Timur,” tuturnya.
Apalagi, lanjut dia, keputusan MPR ini juga beriringan dengan gagasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
“Ini jelas melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM selama rezim Soeharto yang terus menuntut keadilan. Jika itu diambil, ini jelas berpotensi mengkhianati reformasi 1998, yang berusaha menjamin tegaknya kebebasan politik dan keadilan sosial,” pungkasnya.
7 Teori Dalang G30S
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Gerakan 30 September atau G30S adalah salah satu peristiwa penting sekaligus kelam bagi perjalanan sejarah Indonesia.
Meski terjadi pada tahun 1965, masih ada pertanyaaan di kalangan masyarakat mengenai siapa dalang di balik G30S.
Narasi yang beredar dan masih “terpelihara” hingga kini mengatakan dalang G30S adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI pun ditumpas TNI Angkatan Darat (AD), oleh Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dipimpin Soeharto sebagai panglima.
Meski dalang G30S versi warisan Orde Baru masih dipercaya banyak orang sampai saat ini, ada teori-teori lain yang dikemukakan oleh banyak peneliti dan sejarawan.
Setidaknya ada tujuh teori dalang dari G30S.
1. Soeharto Dalang
Soeharto diduga menjadi salah satu dalang G30S. Saat itu Soeharto memiliki pangkat Mayor Jenderal (Mayjen) dan menjabat sebagai Panglima Kostrad (Pangkostrad). Jabatan itu membuat Soeharto dipandang sebagai jenderal penting yang terlewatkan oleh para pelaku G30S. Dianggap sebagai jenderal penting karena Soeharto memiliki pasukan yang sebenarnya sangat bisa menggagalkan kudeta.
Sejarawan WF Wertheim menilai, Soeharto mempunyai kemungkinan besar berada di pihak yang berkomplot karena kurang puas terhadap kepemimpinan TNI AD karena tidak mampu menjawab tantangan PKI.
Karenanya, Soeharto menggunakan G30S sebagai sarana yang melibatkan PKI untuk memberikan dalih bagi TNI AD bertindak terhadap partai itu.
Dalam teori ini, kemungkinan Kepala Biro Chusus (BC) PKI (badan intelijen PKI) Sjam Kamaruzaman adalah pembantu Soeharto yang disusupkan ke PKI, bukan anggota PKI yang bertugas di TNI AD.
Teori ini juga didukung oleh kesaksian Kolonel Abdul Latief, salah satu tokoh kunci peristiwa G30S/PKI.
Abdul Latief mengungkapkan, ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal, tetapi Soeharto tidak melakukan apa-apa.
Dengan demikian, dalam sekali gerakan G30S, Soeharto bisa menghancurkan pimpinan TNI AD yang mengecewakannya dan PKI yang merupakan musuh TNI AD.
2. Soekarno Dalang
Dalam teori lain, Presiden Soekarno disebut-sebut menjadi dalang dalam peristiwa G30S tersebut. Hal tersebut dikatakan penulis buku Antonie Dake dalam “In The Spirit of the Red Banteng, The Devious Dalang: Soekarno and so-called Untung Putsch dan John Hughes” di buku The End of Soekarno.
Dituliskan, kepentingan Soekarno sebagai dalang G30S yakni melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi TNI AD terhadap kepemimpinannya.
Mengingat kedekatannya terhadap Soekarno, PKI kemudian ikut terseret dalam kasus ini. Saat itu, Soekarno juga condong kepada Uni Soviet yang berhaluan komunisme.
3. CIA Dalang
Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson mengemukakan bahwa badan intelijen Amerika Serikat, CIA adalah dalang G30S. Hal itu dilatarbelakangi oleh kepentingan Amerika Serikat (AS) agar Indonesia ke depannya tidak menjadi basis komunisme.
Pada 1960-an, AS mencemaskan teori domino, bahwa komunisme di Vietnam lama-kelamaan akan tumbuh di Indonesia.
Menurut teori ini, G30S digerakkan oleh CIA atau Pemerintah AS yang bekerja sama dengan AD dan memprovokasi PKI. Tujuan akhirnya adalah menggulingkan PKI dan Presiden Soekarno, yang saat itu condong ke Uni Soviet dan anti-Barat.
4. Inggris-Amerika Serikat Dalang
Teori lainnya berpendapat bahwa G30S direncanakan oleh sebuah konspirasi bersama antara Inggris-Amerika Serikat yang merupakan sekutu.
Keduanya berkepentingan menghentikan laju Indonesia yang pada masa itu condong ke arah komunisme.
Dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965, sebuah studi tentang Konspirasi milik Victor M. Fic, cara untuk mencapai hal tersebut yakni dengan menggulingkan Presiden Soekarno dan menghancurkan PKI.
Teori ini menuduh pihak Inggris terlibat, namun AS juga disebut mendorong “teman-teman” mereka di jajaran puncak TNI AD Indonesia untuk melakukan sebuah kudeta militer guna mencapai tujuan-tujuan mereka.
5. TNI AD Dalang
TNI AD disebut menjadi pihak lainnya yang menjadi dalang utama dalam peristiwa G30S.
Saat itu, disebutkan bahwa TNI AD terpecah menjadi dua kubu besar. Kubu pertama terdiri dari dua perwira “progresif-revolusioner” golongan muda. Sedangkan kubu lainnya yaitu para komandan “reaksioner” TNI AD. Kubu ini yang disebut-sebut bersekongkol dengan pihak asing untuk menggulingkan Presiden Soekarno karena kebijakan-kebijakan progresifnya.
Tokoh-tokohnya Menurut teori ini, G30S adalah sebuah masalah internal TNI AD yang sedang gelisah pada saat itu.
Sedang PKI hanya hanya memainkan peran tambahan, mengambil keuntungan dari perkembangan tersebut dengan mendukung kubu TNI AD yang progresif-revolusioner.
6. PKI Dalang
PKI adalah pihak yang paling banyak disebut sebagai dalang utama dalam peristiwa G30S. Partai yang berhaluan komunis ini mengatur G30S sebagai jalan pintas untuk mereka berkuasa.
Awalnya, PKI tidak memiliki sebuah rencana untuk mengambil alih kekuasaan secara langsung. Mereka berharap mengadakan revolusi agraria di Indonesia dalam lima tahun berikutnya. Namun Politbiro PKI dengan cepat memutuskan untuk mengadakan kudeta pre-emptive. Hal itu sebagai suatu tindakan darurat pada pertengahan bulan Agustus 1965 karena dua alasan.
Alasan pertama, karena kemungkinan Presiden Soekarno bisa meninggal tiba-tiba atau lumpuh secara permanen, setelah ia jatuh pingsan tanggal 4 Agustus 1965.
Kemudian alasan kedua, Pemimpin China saat itu, Mao Zedong telah mendesak salah satu tokoh PKI, DN Aidit pada tanggal 5 Agustus 1965 untuk cepat bergerak menggulingkan pesaing utamanya menuju kekuasaan.
Rencana selanjutnya, orang yang menggantikan Presiden Soekarno adalah kandidat dari PKI, namun sedapat mungkin bukan seorang anggota partai.
7. Tak ada dalang utama
Teori lain yang berkembang yakni dipercaya bahwa tidak ada dalang utama atau pelaku dari G30S. Teori yang dikenal sebagai Teori Chaos tersebut dikemukakan oleh sejarawan John D. Legge.
Selain itu, disebut juga tidak ada skenario besar atau grand scenario dalam G30S, karena semuanya lebih didominasi oleh improvisasi atau perubahan rencana di lapangan.
Soekarno juga pernah mengatakan dalam salah satu pidatonya bahwa tragedi G30S disebabkan oleh unsur-unsur Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger, serta oknum-oknum TNI AD yang tidak benar.
Teori Chaos bagi sebagian orang dianggap sebagai teori G30S yang paling masuk akal. Sebab meski berjalan singkat, peristiwa G30S terasa sangat kacau dan tidak terorganisasi dengan baik.
Apapun teorinya fakta sejarah mengungkapkan pembunuhan 7 perwira TNI Angkatan Darat. Kolonel Sarwo Edhi, yang saat itu menjadi pemimpin operasi pembasmian PKI menyebutkan sebanyak 3 juta orang anggota dan simpatisan PKI dan pendukung Soekarno berhasil dibunuh. Ratusan ribu orang di penjara atau diasingkan tanpa pengadilan. (Web Warouw)