JAKARTA – Menyusul peringatan tiga tahun ribuan tentara Rusia menyerbu ke Ukraina atas perintah Presiden Vladimir Putin, Moskwa menegaskan perlunya solusi damai jangka panjang untuk menyelesaikan konflik di Ukraina.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, dalam wawancara eksklusif dengan RIA, menyampaikan bahwa gencatan senjata sementara, yang didorong oleh pihak Amerika, tidak akan mampu mengakhiri konflik secara permanen.
“Kami dapat dengan yakin mengidentifikasi keinginan pihak Amerika untuk segera mencapai gencatan senjata,” ujar Ryabkov.
Ia melanjutkan, “Namun … gencatan senjata tanpa penyelesaian jangka panjang hanya akan membuka jalan bagi dimulainya kembali pertempuran dan berlanjutnya konflik dengan konsekuensi yang lebih serius, termasuk konsekuensi terhadap hubungan Rusia-Amerika. Kami tidak menginginkan hal itu.”
Ryabkov menambahkan, “Kita perlu menemukan solusi jangka panjang, yang pada gilirannya harus mencakup unsur mengatasi akar penyebab dari apa yang terjadi di dan sekitar Ukraina.”
Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan kekecewaan atas hasil pembicaraan Rusia-AS di Riyadh pekan lalu, yang menurut Moskwa bertujuan memulihkan hubungan bilateral dan merancang perundingan mengenai Ukraina, tetapi tidak memberikan kejelasan mengenai rencana perdamaian yang diusulkan Presiden Donald Trump untuk Ukraina.
Selain itu, Moskwa kembali menegaskan pendiriannya bahwa “operasi militer khusus” di Ukraina adalah langkah yang terpaksa ditempuh sebagai respons atas ekspansi aliansi NATO yang “tidak terkendali” ke arah timur.
Di sisi lain, pihak Ukraina dan Barat terus mengecam aksi Rusia tersebut sebagai perang penaklukan brutal bergaya kolonial.
Ryabkov juga mengkritik dugaan pelanggaran hak-hak penduduk berbahasa Rusia di Ukraina, meskipun tuduhan itu telah dibantah oleh Kyiv.
Rusia Ajukan Syarat Berdamai
Sementara itu kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menyatakan kesiapan negaranya untuk membuka dialog demi mengakhiri perang yang telah berlangsung selama tiga tahun di Ukraina.
Dalam pertemuan yang diadakan di Turkiye pada peringatan tiga tahun operasi militer khusus Rusia ke Ukraina, Lavrov menekankan bahwa langkah negosiasi hanya akan ditempuh jika tercapai solusi yang jelas dan menguntungkan kepentingan Federasi Rusia.
“Kami hanya akan menghentikan permusuhan jika perundingan ini menghasilkan kesepakatan yang tegas dan berkelanjutan sesuai dengan kepentingan Federasi Rusia,” ujar Lavrov dalam konferensi pers, dikutip dari AFP, Senin (24/2/2025).
Dalam keterangan tersebut, ia menambahkan bahwa Rusia terbuka untuk berdialog dengan Ukraina, negara-negara Eropa, maupun pihak lain yang memiliki itikad baik untuk menciptakan perdamaian.
Lavrov juga mendesak agar Amerika Serikat segera menunjuk perwakilan resmi untuk perundingan perdamaian berikutnya.
Menurutnya, pekan lalu telah terjadi diskusi positif dengan Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, di Arab Saudi. ,
Bukan Gencatan Senjata Cepat Versi AS
Sementara itu, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menuding negara-negara Eropa sengaja memperpanjang konflik dengan terus menerapkan sanksi terhadap Rusia.
“Negara-negara Eropa terus menambah sanksi terhadap Rusia karena mereka percaya perang harus dilanjutkan,” ujar Peskov.
Ia menambahkan, “Pendekatan ini sangat bertolak belakang dengan langkah yang kini kami lakukan bersama Amerika Serikat untuk mencari solusi damai di Ukraina.”
AS Tak Jamin Ukraina
Sementara itu, Amerika Serikat tengah bersiap mengajukan rancangan resolusi ke Dewan Keamanan dan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna mendesak pengakhiran perang antara Rusia dan Ukraina secepatnya.
Menurut laporan AFP, resolusi yang diusulkan itu justru tidak mencantumkan dukungan terhadap integritas teritorial Ukraina—prinsip yang selama ini menjadi fondasi utama kebijakan PBB terkait konflik yang sudah berlangsung sejak invasi Rusia tiga tahun lalu.
Pecah belah di ranah PBB terus terlihat. Sidang Umum yang mewakili seluruh anggota secara konsisten mendukung kedaulatan Ukraina, sedangkan kinerja Dewan Keamanan kerap terhambat oleh veto Rusia.
Kembalinya Presiden AS Donald Trump ke Gedung Putih bulan lalu juga diyakini mengubah peta diplomasi secara drastis.
Trump dikabarkan menjalin hubungan yang lebih erat dengan Rusia dan bahkan menyebut Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, sebagai seorang diktator.
Di sisi lain, dalam peringatan tiga tahun operasi militer khusus Rusia ke Ukraina, Kyiv bersama lebih dari 50 negara merencanakan pengajuan resolusi di Sidang Umum PBB yang menyerukan penghentian perang pada tahun ini, serta mendesak Rusia untuk segera menarik pasukannya dari wilayah Ukraina.
Menanggapi spekulasi bahwa AS mungkin memilih opsi abstain dalam pemungutan suara, Washington justru mengajukan resolusi tandingan.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyatakan, rancangan tersebut merupakan langkah untuk menyerukan pengakhiran perang dan mewujudkan perdamaian abadi antara Ukraina dan Rusia.
Namun, penghilangan penyebutan integritas teritorial Ukraina memicu kontroversi, mengingat di masa pemerintahan Presiden Joe Biden, AS dikenal sebagai pendukung kuat kedaulatan Ukraina.
Sementara itu, pihak Rusia menilai usulan tersebut sebagai langkah yang positif.
Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassili Nebenzia, menyatakan bahwa resolusi itu seharusnya juga membahas akar penyebab konflik. Di tengah kondisi ini, negara-negara Eropa pun berada di posisi sulit.
Agar resolusi dapat disetujui, minimal sembilan dari 15 anggota Dewan Keamanan harus mendukungnya tanpa adanya hak veto dari anggota tetap—yaitu AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan China.
“Sulit membayangkan Paris dan London mendukung resolusi yang sangat bertentangan dengan posisi mereka soal Ukraina. Namun, saya juga ragu mereka akan menggunakan hak veto,” kata Richard Gowan dari International Crisis Group.
Jika rancangan resolusi gagal mendapatkan dukungan yang cukup, Ukraina diprediksi akan semakin terisolasi di kancah internasional. (Web Warouw)