Kamis, 3 Juli 2025

INSPIRATIF…! Kisah Sepotong Kaki Pedagang Beras Yang Hilang

Ilustrasi Difabel. (Ist)

Ini kisah perjuangan seorang difabel, yang kehilangan kakinya, namun tidak kehilangan semangat dalam mengarungi hidupnya. Hasan Aoni, pendiri Omah Dongeng Marwah menuliskannya kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Hasan Aoni

HAMPIR seluruh kisah tentang difabel adalah penderitaan. Tapi, tidak bagi Said. Di hari yang naas Juli 2012, ia membawa beras-beras dalam kantung bagor seberat 25 kilograman. Motor roda tiga merek Tossan yang dikendarainya bisa mengangkut lebih dari lima kuintal beras untuk disetor di warung-warung sembako di seputar Mejobo, Kudus.

Tapi, hari itu muatannya tumpah sebelum disetor. Truk menerjangnya dari belakang, dan dunia seketika gelap. Ia melihat sendiri tulang pahanya patah, menyembul dari dress pants yang dia pakai. Karena terlalu parah, RS Dr Oen di Solo memutuskan mengeksekusi kaki kirinya. Sepotong kaki mulai 30 cm dari pangkal paha harus mengucapkan selamat tinggal kepada pemiliknya. Ini mimpi terburuk Said sepanjang hidup.

Tapi, Said bukan manusia lemah. Ia bangkit bahkan sebelum lukanya sembuh. Ia lewati semua penderitaan itu dengan penuh khidmat. “Ini takdir. Pasti ada hikmah di balik kecelakaan itu,” katanya kepada pegiat Akar Tani Makmur (ATM), selepas mahrib, 18 Juni 2019, lalu.

Tapi, hanya kaki, kata Said. Masih ada anggota badan lain yang disisakan hidup dari terjangan itu. Terutama nyawa dan semangatnya. “Satu-satunya alasan saya untuk bangkit adalah orang tua,” jawabnya. Pacar? Tidak. Justru sang pacar meninggalkan dia sendiri dalam penderitaan. Menambah luka baru lebih menyakitkan. Tapi, keputusannya mengejutkan. Dia tidak membiarkan diri dalam trauma kecelakaan dan melupakan semua mimpi tentang keindahan hidup berumah tangga. Berdiri dengan susah-payah mendekati kalender yang menggantung di paku tembok kamarnya, lalu mencoret tanggal rencana lamaran dan memilih melajang hingga usia tiga puluh dua tahun sekarang.

Said mulai belajar berdagang dari sedikit. Inspirasinya diperoleh dari ayahnya yang bekerja di pabrik selep padi (rice mill) di desanya. Lulus dari STM PGRI Mejobo tahun 2004 dengan nilai memuaskan, tidak mendorong Said tertarik melanjutkan kuliah. Beras lebih menarik Said belajar arti kehidupan yang sebenarnya. Di tangannya, beras tidak hanya berakhir dimakan, tapi diputar untuk meghasilkan nilai baru.

Dan waktu penyembuhan berlalu. Said mulai membiasakan diri berjalan dengan satu kaki. Hal baru dari tubuhnya adalah krek yang dijepit di pangkal ketiak dan kaki palsu sesudah itu. Tapi, dari kaki yang satu itu muncul semangat seribu. Ia kembali mengirim beras ke warung-warung langganannya setelah tiga bulan berhenti. Kali ini ayahnya yang menyetir, dan seorang pekerja disewa untuk menurunkan kantung-kantung beras itu. Sekarang ia sepenuhnya sudah bisa mengendarai sendiri.

Dan hidup seperti anekdot. Setara tinggi semangatnya, usahanya justru makin maju setelah ia tegak berdiri hanya dengan satu kaki. Dari hanya beberapa kuintal menyuplai, menjadi tiga ton setiap minggu untuk beras merah pecah kulit (PK), dan 10 ton beras putih biasa saat ini.

Banyak orang manaruh iba kepadanya. Tapi, ia tak marah meski tak ingin ditaruh itu. Sebaliknya perihatin pada orang-orang yang sempurna tulangnya, tapi tak pernah membanting tulang dengan sebenarnya.

Di area yang disinggahinya, ia kerap bertemu dengan beberapa penyandang cacat, baik yang dibawa dari lahir maupun karena kecelakaan. Menyapa mereka, bergaul lebih dekat dan memompa semangat yang masih terpuruk. “Banyak dari mereka yang tidak bisa move on, dan itu makin memperpanjang penderitaannya,” kata Said.

Tak cukup dengan jargon ia memompa semangat kaum cacat, bahkan dengan uangnya ia menyuntik modal bagi yang sudah mau memulai usaha. Ada empat orang yang bangkit dan mengikuti jejaknya.

Dan rutin berputar, sebagian kesibukannya dalam seminggu ia khususkan untuk bercengkerama dengan mereka. Di tiga kabupaten: Kudus, Pati, Demak, Said mengitari waktu setiap minggu. Diterjang angin, disiram hujan dan panas cukup dengan satu kaki. Ia makin tak punya alasan berhenti, karena dua roda pada motor bebek yang sudah dirombak menjadi tiga, tak memberi dia kata “tetapi” untuk berhenti bersilaturrahmi.

Dengan beras-beras yang dibawa dan sejuta kasih sayang pada tubuhnya yang tak lengkap, ia terus mencari tempat baru untuk disinggahi, sampai berhenti malam itu di tempat kami. Memberi inspirasi dan selalu mengejutkan setiap kisahnya kepada kami.

Kami bukan difabel. Tapi, jangan-jangan kunjungan Said malam itu sedang mengingatkan kegawatan kepada kami. Karena, cacat yang sesungguhnya lebih sering bersemayam pada setiap yang bertubuh lengkap.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru