Jumat, 25 April 2025

ITU IURAN DUIT RAKYAT..! BPJS Kesehatan Raih Pendapatan Rp166 Triliun: Kami Tak Bangkrut

JAKARTA — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan meraih pendapatan Rp166 triliun hingga akhir 2024. Angka ini naik signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut data yang dipaparkan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, tercatat pendapatan pada 2021 sebesar Rp143,31 triliun.

Pendapatan kemudian naik pada 2022 menjadi Rp144,04 triliun.

Kemudian pada 2023 pendapatan iuran sebesar Rp151,69 triliun, yang kemudian pada 2024 meningkat menjadi Rp166 triliun.

Seiring dengan kenaikan pendapatan, penerimaan iuran BPJS Kesehatan juga terus meningkat, mencapai Rp163,96 triliun pada 2024 dengan tingkat kolektibilitas 98,77 persen.

Ali Ghufron menegaskan kondisi keuangan BPJS tetap stabil meskipun pengeluaran layanan kesehatan juga meningkat. Ia juga membantah isu bahwa BPJS mengalami gagal bayar klaim rumah sakit.

“Sampai dengan 31 Desember 2024, pendapatan penerimaan terus meningkat. Baru pertama kali tembus Rp200 triliun lebih untuk RKAT (rencana kerja dan anggaran tahunan) yang kita setujui pada 2025 ini. Saya tekankan di sini, sampai 2025 BPJS tidak akan bangkrut dan tidak akan gagal bayar,” ujar Ali Ghufron dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (11/2).

Menurutnya, keberhasilan BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan pendapatan tak lepas dari tingginya tingkat kolektibilitas iuran yang mencapai 98,77 persen pada tahun lalu. Capaian ini meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 98,62 persen pada 2023, 99,47 persen pada 2022, dan 97,37 persen pada 2021.

Ali Ghufron menjelaskan bahwa pencapaian ini didukung oleh lebih dari 950 ribu kanal pembayaran, termasuk GoPay, OVO, Indomaret, serta metode auto debit dan telecollecting.

“Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) juga menanyakan, kok bisa-bisanya 98,7 persen koleksi iuran? Itu karena lebih dari 950 ribu channel pembayaran sudah tersedia, termasuk pembayaran digital seperti GoPay dan OVO,” jelasnya.

Namun, Ali Ghufron berkata tantangan masih ada, terutama dari segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau pekerja informal. Menurutnya, peserta PBPU sering menghadapi tekanan ekonomi, sehingga kesadaran membayar iuran masih rendah.

“Yang agak sulit memang peserta PBPU, karena tekanan ekonomi. Tapi kalau untuk beli rokok mampu Rp500 ribu sebulan, BPJS yang cuma Rp42 ribu masih disubsidi sampai Rp35 ribu pun kadang enggan membayar,” katanya.

Ali Ghufron juga menegaskan BPJS Kesehatan tetap membayar klaim rumah sakit maksimal dalam 15 hari, selama klaim tersebut tidak mengalami sengketa atau dispute.

“Saya sampaikan, tidak ada rumah sakit yang tidak dibayar klaimnya lebih dari 15 hari, selama klaimnya beres. Jika ada dispute terkait diagnosis, tentu butuh waktu penyelesaian. Jangan dibandingkan dengan swasta, karena sistemnya berbeda,” tegasnya.

Potensi Defisit

Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, BPJS Kesehatan dihadapkan dengan kemungkinan defisit dan gagal bayar jika tidak melakukan perbaikan. Sejak tahun 2023, terjadi ketimpangan antara biaya pengeluaran BPJS Kesehatan dan pemasukan yang didapatkan dari premi atau iuran peserta.

Kesenjangan antara besaran premi yang diterima BPJS Kesehatan dan yang dikeluarkan untuk membiayai layanan kesehatan masyarakat penerima manfaat berpotensi menyebabkan defisit anggaran yang serius.

Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir mengatakan terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi potensi defisit BPJS Kesehatan. Pertama, lanjutnya, adanya peningkatan beban jaminan kesehatan pasca COVID-19.

Abdul mengatakan pasca COVID-19, terjadi peningkatan utilisasi pelayanan atau rebound effect pada rumah sakit maupun klinik. Hal ini, lanjut Abdul, berpengaruh pada potensi defisit BPJS Kesehatan. Terlebih, perubahan pola tarif JKN dan dampak biaya tindak lanjut atas hasil skrining 14 penyakit juga disebut menjadi faktornya.

“Kita semua memahami bahwa pasca COVID-19 itu terjadi rebound effect di mana utilisasi rumah sakit, utilisasi klinik semakin meningkat. Tentunya juga disebabkan ada perubahan pola tarif JKN sebagaimana Permenkes Nomor 3 tahun 2023,” katanya saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI dan Menteri Kesehatan RI.

“Dampak biaya tindak lanjut atas hasil skrining 14 penyakit sesuai implementasi Per BPJS Nomor 3 tahun 2024,” sambungnya.

Selain itu, tingkat keaktifan peserta BPJS yang masih rendah juga turut mempengaruhi potensi defisit BPJS Kesehatan. Berdasarkan data pada 31 Desember 2024, tercatat ada 55 juta peserta yang tidak aktif kepesertaan BPJS-nya.

“Tentunya ini berdampak pada pengumpulan iuran sehingga nantinya akan mempunyai berpotensi defisit BPJS Kesehatan. Terakhir adalah penanganan fraud belum optimal sehingga demikian hal ini berpengaruh pada potensi defisit BPJS Kesehatan,” katanya lagi.

Bos BPJS Kesehatan Usai Raih Pendapatan Rp166 T: Kami Tak Bangkrut


JAKARTA — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan meraih pendapatan Rp166 triliun hingga akhir 2024. Angka ini naik signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut data yang dipaparkan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, tercatat pendapatan pada 2021 sebesar Rp143,31 triliun.

Pendapatan kemudian naik pada 2022 menjadi Rp144,04 triliun.

Kemudian pada 2023 pendapatan iuran sebesar Rp151,69 triliun, yang kemudian pada 2024 meningkat menjadi Rp166 triliun.

Seiring dengan kenaikan pendapatan, penerimaan iuran BPJS Kesehatan juga terus meningkat, mencapai Rp163,96 triliun pada 2024 dengan tingkat kolektibilitas 98,77 persen.

Ali Ghufron menegaskan kondisi keuangan BPJS tetap stabil meskipun pengeluaran layanan kesehatan juga meningkat. Ia juga membantah isu bahwa BPJS mengalami gagal bayar klaim rumah sakit.

“Sampai dengan 31 Desember 2024, pendapatan penerimaan terus meningkat. Baru pertama kali tembus Rp200 triliun lebih untuk RKAT (rencana kerja dan anggaran tahunan) yang kita setujui pada 2025 ini. Saya tekankan di sini, sampai 2025 BPJS tidak akan bangkrut dan tidak akan gagal bayar,” ujar Ali Ghufron dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (11/2).

Menurutnya, keberhasilan BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan pendapatan tak lepas dari tingginya tingkat kolektibilitas iuran yang mencapai 98,77 persen pada tahun lalu. Capaian ini meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 98,62 persen pada 2023, 99,47 persen pada 2022, dan 97,37 persen pada 2021.

Ali Ghufron menjelaskan bahwa pencapaian ini didukung oleh lebih dari 950 ribu kanal pembayaran, termasuk GoPay, OVO, Indomaret, serta metode auto debit dan telecollecting.

“Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) juga menanyakan, kok bisa-bisanya 98,7 persen koleksi iuran? Itu karena lebih dari 950 ribu channel pembayaran sudah tersedia, termasuk pembayaran digital seperti GoPay dan OVO,” jelasnya.

Namun, Ali Ghufron berkata tantangan masih ada, terutama dari segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau pekerja informal. Menurutnya, peserta PBPU sering menghadapi tekanan ekonomi, sehingga kesadaran membayar iuran masih rendah.

“Yang agak sulit memang peserta PBPU, karena tekanan ekonomi. Tapi kalau untuk beli rokok mampu Rp500 ribu sebulan, BPJS yang cuma Rp42 ribu masih disubsidi sampai Rp35 ribu pun kadang enggan membayar,” katanya.

Ali Ghufron juga menegaskan BPJS Kesehatan tetap membayar klaim rumah sakit maksimal dalam 15 hari, selama klaim tersebut tidak mengalami sengketa atau dispute.

“Saya sampaikan, tidak ada rumah sakit yang tidak dibayar klaimnya lebih dari 15 hari, selama klaimnya beres. Jika ada dispute terkait diagnosis, tentu butuh waktu penyelesaian. Jangan dibandingkan dengan swasta, karena sistemnya berbeda,” tegasnya.

Potensi Defisit

Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, BPJS Kesehatan dihadapkan dengan kemungkinan defisit dan gagal bayar jika tidak melakukan perbaikan. Sejak tahun 2023, terjadi ketimpangan antara biaya pengeluaran BPJS Kesehatan dan pemasukan yang didapatkan dari premi atau iuran peserta.

Kesenjangan antara besaran premi yang diterima BPJS Kesehatan dan yang dikeluarkan untuk membiayai layanan kesehatan masyarakat penerima manfaat berpotensi menyebabkan defisit anggaran yang serius.

Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir mengatakan terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi potensi defisit BPJS Kesehatan. Pertama, lanjutnya, adanya peningkatan beban jaminan kesehatan pasca COVID-19.

Abdul mengatakan pasca COVID-19, terjadi peningkatan utilisasi pelayanan atau rebound effect pada rumah sakit maupun klinik. Hal ini, lanjut Abdul, berpengaruh pada potensi defisit BPJS Kesehatan. Terlebih, perubahan pola tarif JKN dan dampak biaya tindak lanjut atas hasil skrining 14 penyakit juga disebut menjadi faktornya.

“Kita semua memahami bahwa pasca COVID-19 itu terjadi rebound effect di mana utilisasi rumah sakit, utilisasi klinik semakin meningkat. Tentunya juga disebabkan ada perubahan pola tarif JKN sebagaimana Permenkes Nomor 3 tahun 2023,” katanya saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI dan Menteri Kesehatan RI.

“Dampak biaya tindak lanjut atas hasil skrining 14 penyakit sesuai implementasi Per BPJS Nomor 3 tahun 2024,” sambungnya.

Selain itu, tingkat keaktifan peserta BPJS yang masih rendah juga turut mempengaruhi potensi defisit BPJS Kesehatan. Berdasarkan data pada 31 Desember 2024, tercatat ada 55 juta peserta yang tidak aktif kepesertaan BPJS-nya.

“Tentunya ini berdampak pada pengumpulan iuran sehingga nantinya akan mempunyai berpotensi defisit BPJS Kesehatan. Terakhir adalah penanganan fraud belum optimal sehingga demikian hal ini berpengaruh pada potensi defisit BPJS Kesehatan,” katanya lagi. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru