Oleh: Dr. Maruly Hendra Utama
PADA 9 Juni 2014, dari kawasan Menteng Jakarta Pusat, Jokowi berkata bahwa “Kasus masa lalu orang hilang dengan motivasi politik harus ditemukan oleh Negara. Bisa ketemu hidup atau meninggal. Masak 13 orang bisa ndak ketemu tanpa kejelasan? Wiji Thukul itu saya sangat kenal baik. Dia orang Solo, anak isterinya saya kenal. Puisi-puisinya saya juga tahu.”
Pernyataan Jokowi menjadi berita semua stasiun tekevisi kala itu, dikutip seluruh media nasional dan menjadi sihir bagi kawan-kawan Suyat yang hilang 13 Februari 1998, Herman Hendrawan hilang 12 Maret 1998, Bimo Petrus (Bimpet) hilang 1 April 1998, dan Wiji Thukul yang hilang 12 Mei 98.
Sihir itu seperti mendikte kesadaran aktivis 98 yang tersebar diberbagai daerah untuk bahu membahu memenangkan Jokowi secara sukarela. Dengan harapan jika Jokowi menjadi Presiden, kawan-kawan yang hilang dapat ditemukan.
Sudah hampir 10 tahun Jokowi menjadi Presiden, selama itu pula orang hilang tidak pernah ditemukan. Yang dicari orang hilang malah menemukan jalan tol, waduk dan bendungan, IKN dan masih banyak lagi hasil pembangunan infrastruktur lainnya disamping kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin demokratis.
Jauh sebelum janji Jokowi, upaya pencarian orang hilang pernah pernah diberi jalan secara politik ketika Pansus DPR tahun 2009 mengeluarkan 4 rekomendasi untuk Presiden yang saat itu dijabat SBY. Pertama, merekomendasikan Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden serta institusi Pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketika, merekomendasikan Pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat
merekomendasikan Pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. Sampai akhir masa jabatannya, entah karena alasan apa SBY tidak menjalankan rekomendasi Pansus DPR.
Disisi lain, Prabowo Subianto sebagai orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap penculikan aktivis dalam wawancara dengan majalah Panji edisi 27 Oktober 1999 mengatakan bahwa penculikan terhadap Pius, Desmond dan Taslam adalah kecelakaan dan kesalahan. “Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka,” tegasnya saat itu.
“Perintah tidak ada menculik, yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Dalam DKP saya kemukakan perintah pengamanan itu tidak rahasia. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan,” ujar Prabowo
“Saya bukan satu-satunya Panglima yang menerima daftar itu,”– daftar nama aktivis PRD, asumsi penulis.
“Pimpinan ABRI lain juga menerima. Daftar itu sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah Menteri bahwa itu adalah operasi intelijen.”
“Dikalangan ABRI sudah menjadi pengetahuan umum. Kita dapat briefing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai, sudah dapat belum Andi Arief ? Tiap hari ditanya,” ujar Prabowo.
Jika Presiden yang dengan jabatannya dapat bertindak mewakili Negara tidak juga menemukan jalan untuk menemukan orang hilang bukan berarti sebagai teman orang hilang kita menjadi patah arang dengan merawat dendam tak sudah. Selalu membangun harapan pada setiap Pilpres, Presiden baru akan menemukan kawan-kawan yang hilang.
Gerobak buruk sapi gilo, kelakar uwong Pelembang.
Mengutip buku Allah, Bagaimana Akhir Hidupku? Yang ditulis Muh. Ramli menjelaskan dalam satu riwayat, Ali Bin Abi Thalib pernah berkata “Balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik”.
Sayidina Ali mengingatkan bahwa Allah telah memerintahkan umat Nya untuk membalas keburukan dengan kebaikan. Karena sesungguhnya kebaikanlah yang dapat menghilangkan keburukan.
Kerjasama Aktivis dan Intelijen
Menurut Budiman Sudjatmiko, dalam menghadapai krisis global dibutuhkan dua tipe orang yang berlatar belakang aktivis dan intelijen. Sebab hanya kedua tipe orang seperti ini yang mampu berbicara hal-hal yang strategis secara komprehensif.
Selain itu aktivis dan intelijen memiliki resiko yang sama dalam menjalankan tugasnya. Sama-sama mempertaruhkan nyawa.
Orang hilang sebagai komoditas politik harus dieliminir. Kita tidak bisa melupakan sejarah. Benar bahwa kawan-kawan kita ada yang hilang menjelang tergulingnya Regim Orde baru. Tapi kita juga tidak bisa membenarkan kasus orang hilang menjadi dagangan politik lima tahunan setiap menjelang Pilpres.
Kerjasama Aktivis dan Intelijen adalah isu baru dan belum pernah ada yang melakukannya selain Partai Prima dengan memberikan jabatan Ketua Majelis Pertimbangan Partai kepada Jenderal R.Gautama Wiranegara. Karenanya perlu adaptasi dan latihan dalam melakukan kerjasama yang lebih strategis.
Jika Prabowo pernah membentuk Tim Mawar untuk melakukan operasi intelijen, maka sebagai aktivis 98 kita harus membentuk Tim Anggrek guna melakukan operasi kontra intelijen.
Tim Anggrek ini bertugas untuk melakukan rekonsiliasi. Kita bagi tugas, kau melanjutkan pembangunan Front Persatuan Nasional, aku dengan beberapa kawan yang independen, tidak terafiliasi dengan partai politik melakukan kerja-kerja rekonsiliasi. Tim Anggrek akan keliling kota menemui keluarga korban untuk meyakinkan mereka dengan memberi perspektif pentingnya Persatuan Nasional.
Negara sedang tidak ramah terhadap kita, persoalan ini harus diselesaikan dengan cara dan tradisi kita.
Dana operasional Tim Mawar bersumber dari dana operasional dan bunga tabungan abadi Batalyon 42 seperti pengakuan Mayor Bambang Kristiono dalam persidangan Mahkamah Militer II tanggal 23 Februari 1999.
Karena aktivis 98 tidak memiliki tabungan abadi maka dana operasional Tim Anggrek dari pajak revolusi. Tehnisnya jangan dibicarakan disini. Bagaimana Bud?
*Penulis Dr. Maruly Hendra Utama, Dosen Pascasarjana Universitas Pasundan, Dewan Pakar SMSI – Serikat Media Siber Indonesia