JAKARTA – Pegiat media sosial, pelaku bisnis dan pengamat politik Erizely Bandaro, mengatakan, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai konsekuensi karyawan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), maka pemahaman ideology Pancasila, harus sesuai persepsi Pemerintah.
“Tidak bisa membuat persepsi diri sendiri tentang ideologi Pancasila, apabila mau menjadi ASN. Bagi ASN, setia kepada ideologi Pancasila sesuai persepsi Pemerintah, itu, keharusan dan mesti yang paling utama di atas kepentingan lain. Tidak bisa ditawar-tawar,” kata Erizely Bandaro, Senin, 14 Juni 2021.
Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Analisa Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, Dinas Intelijen dan Dinas Psikologi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, menggelar TWK bagi 1.351 karyawan dan penyidik KPK, 18 Maret – 9 April 2021.
Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia, menyerahkan hasil TWK kepada KPK, Selasa, 27 April 2021. Hasilnya sebanyak 75 orang tidak lulus TWK, termasuk di antaranya Novel Baswedan dan Yudi Purnomo Harahap.
Komplotan Novel Baswedan, langsung melakukan protes ke sana ke mari, di antaranya meminta perlindungan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM).
TWK sebagai konsekuensi logis karyawan dan penyidik KPK beralih menjadi ASN, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK.Materi ideology Pancasila harus sesuai persepsi Pemerintah di dalam TWK sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang: Aparatur Sipil Negara
Disebutkan informasi berkembang di masyarakat, dalam TWK KPK, ada pertanyaan, pilih Al Quran atau Pancasila? Jawaban petugas KPK yang memilih Al Quran dianggap tidak lulus. Yang menjawab Pancasila, lulus.
“Saya kemudian menyimak tanggapan beberapa tokoh dari ulama, aktifis, profesor, terkesan perbedaan persepsi semakin lebar. Seakan membenturkan antara agama dan Pancasila. Kemudian mereka yang gagal dalam TWK, akan membawa kasus ini ke Komnas HAM. Jadi ramai,” ujar Erizely Bandaro.
Erizeli Bandaro, memberikan pemahaman sederhana, sehubungan kedudukan dan posisi Pancasila bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).Pertama, pertanyaan itu ditujukan dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang ASN.
“Jadi tentu persepsi ideologi Pancasila di dalam TWK KPK untuk menjadi Aparatur Sipil Negara, adalah persepsi Pemeritah. Dalam sistem politik kita, Pemerintah adalah penguasa yang mendapat mandat lewat Pemilu. Tentu Pemerintah berhak menentukan persepsi kebenaran politik terhadapa Aparatur Negara, baik sipil maupun militer. Karena ASN juga adalah bagian dari politik kekuasaan. Mereka harus patuh kepada pemahaman ideologi Pancasila sesuai persepsi Pemerintah Republik Indonesia,” ujar Erizely Bandaro.
Kedua, kalau tidak patuh kepada Pemerintah ya petugas KPK atau ASN bisa mengundurkan diri secara suka rela.
“Tidak dipaksa kok jadi ASN. Menjadi rakyat biasa juga tidak buruk. Bebas dari TWK. Mengapa? Pemerintah tidak bisa memaksa rakyat agar persepsi Pancasila seperti Pemerintah mau. Tidak bisa. Mengapa? Karena Pancasila bukanlah idiologi tertutup. Tetapi sebagai idiologi terbuka. Memaksakan kehendak persepsi Pancasila seperti maunya Pemerintah itu jelas melanggar HAM. Tetapi tidak berlaku pelanggaran HAM kalau pemaksaan itu kepada ASN,” kata Erizely Bandaro.
Ketiga, Indonesia bukan negara religius. Bukan pula negara sekular.
“Buktinya kita ada Menteri Agama. Tetapi Indonesia adalah negara yang mempunya nilai-nilai religius sebagaimana filosofi Pancasila pada sila pertama. Kalau negara religius maka sistem kita dibangun berdasarkan agama tertentu. Tetapi kalau nilai religius artinya sistem kita dibangun berdasarkan agama pada umumnya. Jadi harus dipahami dengan baik perbedaan antara negara religius dan nilai religius,” ungkapnya
Kepada Bergelora.com dilaporkan ia menegaskan, kalau tiga hal itu dipahami, tentu tidak perlu dibenturkan, Pancasila atau Al Quran. TWK itu hanya ditujukan kepada ASN, ditujukan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI), ditujukan kepada Polisi Republik Indonesia (Polri), bukan kepada rakyat biasa. Jadi tidak ada kasus HAM kepada ASN.
“Kalau kasus HAM bisa diterapkan, saya kawatir, besok Komandan Militer di lapangan juga bisa diadili oleh Komnas HAM, karena prajurit menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan persepsi komandan, kena tempeleng. Kan runyam jadinya. Saran saya kepada karyawan dan penyidik KPK yang tidak lulus TWK, kalau merasa Pemerintah tidak lagi sesuai dengan selera kalian, ya jadi rakyat biasa saja. Berjuang kan tidak harus jadi ASN atau Pejabat. Jadi rakyat juga bisa berjuang kalau memang niatnya tulus, bukan fulus,” ujar Erizely Bandaro. (Aju)