JAKARTA – Kehebohan datang dari Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga dunia tersebut tiba-tiba meminta pemerintah Indonesia untuk menghapus kebijakan hilirisasi.
Ini tertuju pada larangan ekspor nikel. IMF menegaskan RI harus mempertimbangkannya dengan menghapusnya secara bertahap dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
“Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil,” muat IMF dalam paparan “Article IV Consultation”, dikutip Rabu (28/6/2023).
“Ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini,” ujar IMF lagi mengingatkan kebijakan hilirisasi menimbulkan rambatan negatif bagi negara lain.
Karenanya IMF mengimbau adanya analisa rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi. Analisa ini wajib diinformasikan secara berkala dengan menekankan pada keberhasilan hilirisasi dan perlu atau tidaknya perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.
“Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif,” tambah IMF.
“Meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus secara bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan untuk komoditas lain,” paparnya lagi meminta otorita mempertimbangkan kebijakan hilirisasi dalam negeri yang lebih tepat
Sebelumnya, Indonesia menginisiasi hilirisasi nikel sejak 2020. Kebijakan ini diklaim memberikan nilai tambah dari hilirisasi nikel mencapai US$ 33 miliar atau setara dengan Rp 514,3 triliun pada 2022.
“Kita ingin kekayaan alam negeri ini bermanfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Kita ingin rakyat di luar Jawa juga merasakan manfaat yang signifikan dari pembangunan yang ada,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato Hari Lahir Pancasila beberapa waktu lalu.
Ekonomi RI Melambat
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sementara itu, dalam paparannya, IMF juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami moderasi di kisaran 5% pada 2023, setelah tumbuh 5,3% pada 2022. Proyeksi ini diungkapkan IMF dalam laporan yang sama.
Adapun, IMF menegaskan bahwa penurunan ini dipicu oleh lesunya permintaan dari partner dagang Indonesia. Di sisi lain, Indonesia diperkirakan akan menghadapi tekanan dari sisi permintaan domestik.
“Pemulihan permintaan domestik pada tahun 2023 juga akan menghadapi hambatan dari kebijakan konsolidasi fiskal terkini dan sikap kebijakan moneter yang lebih ketat, yang menyebabkan pertumbuhan kredit lebih lambat,” papar IMF dalam laporannya.
IMF melihat inflasi Indonesia diperkirakan akan kembali ke kisaran target BI pada paruh kedua tahun 2023 dan menurun menjadi 3 persen pada pertengahan 2024.
“Moderasi harga pangan dan energi global dan penurunan yang jelas dalam biaya pengapalan diperkirakan akan menurunkan harga impor dan inflasi utama,” tulis IMF.
Adapun, lesunya pasar tenaga kerja Indonesia dipastikan akan meredam tekanan inflasi. Sementara itu, pengetatan baru-baru ini Kebijakan moneter diproyeksikan dapat menjaga ekspektasi inflasi tetap terjangkar dan inflasi inti tetap terjaga sekitar 3,0 persen pada tahun 2023.
Dari sisi perdagangan, IMF menegaskan bahwa ekspor riil diperkirakan akan berkembang. Meskipun dalam laju yang lebih lambat, 10% dengan impor yang tetap kuat.
“Sejalan dengan perkembangan ini harga komoditas diperkirakan bergerak lebih rendah, diperkirakan akan menyebabkan arus defisit neraca pada tahun 2023 dan 2024,” kata IMF.
Namun demikian, secara keseluruhan, surplus neraca pembayaran diperkirakan akan meningkat secara bertahap yang mencerminkan peningkatan FDI. Termasuk kembalinya aliran masuk portofolio, dan sedikit peningkatan cadangan devisa. (Muff)