Jumat, 4 Juli 2025

JANGAN MUNDUR…! Korban Terus Bertambah, Segera Sahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual

Demonstrasi kaum perempuan Indonesia di DPR-RI menuntut pengesahan RUU PK-S . (Ist)

JAKARTA- Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menuntut pembahasan DIM (Daftar Inventarisir Masalah) RUU dan membentuk tim perumus, guna memastikan pembahasan RUU ini dapat berakhir dengan pengesahan pada  September 2019 sesuai jadwal. Hal ini disampaikan dalam demonstrasi ribuan kaum perempuan di DPR- RI beberapa waktu lalu.

ā€œSegera sahkan RUU P-KS  yang memastikan jaminan perlindungan korban melalui ketentuan pemidanaan pelaku, hukum acara pidana khusus penanganan kasus, dan lakukan perlindungan dan pemulihan hak korban,ā€ tegas Wahida dari API Kartini dalam orasinya.

Ia menegaskan, Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menegaskan bahwa penolakan, penundaan, penghasutan atau fitnah dan penghinaan terhadap pengesahan RUU P-KS sesungguhnya telah mempermainkan dan menyakiti perasaan seluruh korban di seluruh Indonesia yang menjadi bagian dari kontribusi atas terbentuknya rancangan Undang-Undang tersebut.

ā€œPengabaian terhadap klarifikasi dan penolakan melakukan dialog atas penyebaran informasi tentang RUU P-KS yang dimaknai secara negatif dan dimaknai dengan salah dan fatal, menunjukkan tidak adanya political will, dan menunjukkan sebagai cara-cara politik yang menghasut kepentingan korban,ā€ tegasnya.

Pengabaian dan penolakan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah dikuasai oleh sekelompok orang yang ingin mempertahankan ā€œbudaya perkosaan,” dan justru melanggengkan para pelaku kejahatan seksual serta sama sekali tidak berempati pada korban.

ā€œDitundanya pembahasan dan pengesahan menunjukkan bahwa para wakil rakyat terutama Komisi VIII (Anggota Panja) yang menolak atau diam, tidak memiliki perasaan tentang keadilan korban, mempermainkan, menganggap remeh dan bermain-main politik untuk kepentingan dirinya sendiri,ā€ ujarnya.

Demonstrasi perempuan Indonesia di DPR-RI mendesak pengesahan RUU PK-S. (Ist)

Veni Siregar dari Forum Pengada Layanan menyatakan justru saat ini  terancam, dan dikuasai oleh orang-orang yang membela pemerkosa atau pelaku kekerasan seksual, dan menganggap enteng kekerasan seksual yang terjadi pada korban, dengan mempercayai hasutan-hasutan yang telah digiring untuk memberikan stigma buruk pada rancangan Undang-Undang tersebut.

ā€œPara tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pejabat negara, seharusnya menjadi pembela masyarakat yang mengalami kekerasan seksual, membuka dialog bila ada perbedaan pendapat, mengecek ulang kembali seluruh RUU yang mudah diakses, sebelum membuat pernyataan,ā€ jelasnya.

Ratna Batara Munthi dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan menegaskan saatnya kaum perempuan menagih janji DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang tidak kunjung dilakukan dan terkesan mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan.

ā€œTelah terjadi penyebaran fitnah yang sistematis dan meluas dalam bentuk propaganda yang membelokkan substansi dari RUU P-KS dalam bentuk ujaran-ujaran yang negatif dan penuh kebencian. Awal tahun 2019 misalnya, beredar di sosial media yang menuduh secara ekstrim bahwa RUU P-KS itu pro zina dan LGBT, dua kata yang menghasut publik untuk menolak pengesahan RUU tersebut,ā€ ujarnya.

Saat ini, menurutnya, tuduhan itu diperluas menjadi lebih ekstrim lagi, bahwa RUU P-KS dituduh sebagai semangat kebebasan seksual yang diusung kelompok feminis untuk membuka pintu-pintu kemaksiatan, dan pelecehan terhadap syariat Islam dan Pancasila.

ā€œTuduhan-tuduhan tersebut tentu saja sangat melukai hati korban, membuat banyak orang ketakutan, bahkan lebih menakutkan dari kasus kekerasan seksual itu sendiri. Dampak fitnah tersebut, banyak orang menolak pengesahan RUU P-KS tersebut,ā€ ujarnya.

 

Korban Bertambah

Kepada Bergelora.com dilaporkan, Tunggal Pawestri, aktivis perempuan menjelaskan RUU P-KS dibentuk dan dibangun oleh sejumlah kelompok pendamping korban kekerasan seksual yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Kasus perkosaan YY adalah awal mula ledakan protes publik bagaimana kasus-kasus kekerasan seksual yang sadis dibiarkan begitu saja dan tidak ada perangkat hukum khusus untuk mencegah dan melindungi korban dari  persoalan-persoalan kekerasan seksual.

ā€œRUU P-KS adalah solusi atas situasi ā€œDarurat Kekerasan Seksualā€. Komnas Perempuan merilis catatan tahunan 2018, jumlah kasus kekerasan seksual naik menjadi 406.178 dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 348.466,ā€ ujarnya.

Ia mengingatkan, Komnas Perempuan juga mencatat bahwa tahun ini kasus-kasus kekerasan seksual juga meluas di dunia siber, meningkatnya kasus inses dan meningkatnya perkosaan perempuan disabilitas. Menurut Komnas Perempuan, banyak hal yang tidak dapat dilakukan oleh perangkat hukum yang ada saat ini sehingga diperlukan perangkat hukum khusus dalam mengatasi situasi mengerikan tersebut, karena persoalan yang semakin kompleks dan luas.

ā€œDari hal-hal tersebut, RUU P-KS dibutuhkan untuk membantu aparat hukum memahami lebih jauh dan dalam tentang apa yang dimaksud kekerasan seksual sehingga memudahkan untuk  mengidentifikasi pola persoalannya, serta turunan perangkat hukumnya,ā€ jelasnya.

Selain itu RUU P-KS dibangun atas sejumlah pola-pola bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dari kasus-kasus yang dilaporkan. Laporan terakhir baik dari Lembaga kepolisian maupun Lembaga masyarakat, menyebutkan bahwa di berbagai sekolah dasar, taman kanak-kanak, dan bahkan yatim piatu, kekerasan seksual tersebut juga banyak menimpa tidak hanya anak-anak perempuan, tapi juga anak laki-laki.

Ia menegaskan RUU P-KS tidak ada hubungannya dengan kebebasan seksual, pro zina, maksiat dengan LGBT. Justru menitikberatkan pada perlindungan korban dan menghukum pelaku dalam berbagai tingkat, dengan berbagai pola kekerasan seksual yang terjadi.

ā€œRUU P-KS tidak bertentangan dengan agama, moral dan lain sebagainya. Justru pelaku kekerasan seksual lah yang seharusnya ditakuti dan bila tidak segera disahkan maka predator seksual akan bebas mencari korban-korban berikutnya. Kongres Ulama Perempuan Indonesia bahkan telah membuat draft khusus untuk menjelaskan bahwa RUU P-KS tersebut tidak melawan norma agama. Sayangnya, DPR tidak mempedulikan masukan komprehensif kajian para ulama Islam tersebut,ā€ ujarnya. (Siti Rubaidah)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru