JAKARTA – Jaksa Agung ST Burhanuddin mengakui bahwa ia ingin koruptor yang merugikan negara mendapatkan hukuman lebih berat seperti hukuman mati.
“Kalau saya sih mengharapkan (ada hukuman lebih berat), saya kepingin jujur saja,” kata Burhanuddin dalam program Gaspol! Kompas.com, Jumat (14/3/2025).
Burhanuddin menuturkan, Kejaksaan Agung sempat menuntut hukuman mati terhadap terdakwa Benny Tjokrosaputro dalam kasus korupsi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) karena telah merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun. Namun, hakim pada saat itu menjatuhkan putusan nihil karena Benny sudah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya.
Burhanuddin mengaku kecewa dengan putusan tersebut.
“Putusannya, jujur mengecewakan saya, iya. Karena putusannya adalah tidak dikenai hukuman. Nihil. Karena sudah selesai di Jiwasraya,” ujar Burhanuddin.
“Jiwasraya itu seumur hidup. Kan tidak mungkin (vonis) seumur hidupnya dua kali. Iya, enggak mungkin nambah ya. Masa di alam baka sana masih dimintai lagi tuntutan,” kata dia.
Burhanuddin pun tidak memungkiri bahwa vonis hukuman mati masih sangat bergantung pada jalannya proses persidangan.
Namun, ia menilai, hukuman mati bukan satu-satunya bentuk hukuman yang dapat menjadi efek jera kepada koruptor.
Menurut dia, sanksi sosial di masyarakat justru terasa menjadi hukuman yang lebih berat daripada vonis yang dijatuhkan hakim.
Bahkan, sanksi sosial ini tidak hanya menyasar terdakwa saja, tetapi juga sanak saudara dan keluarga mereka.
“Kalau (koruptor) dihukum, keluarga anaknya (ikut terdampak). Mungkin suatu saat anaknya sudah mau kawin, (ada orang bilang) ‘Oh ini ya ternyata, ternyata. Ini besannya, misalnya (yang bilang), ‘Oh ternyata, anaknya dulu (anak dari) koruptor itu. Itu kan sudah hukuman,” kata Burhanuddin.
Dengan adanya sanksi sosial ini, Jaksa Agung berharap mereka yang berencana berbuat nakal ini berpikir dua kali.
“Ya daripada yang malu anakmu gitu. Anakmu malu, istrimu malu, mungkin besanmu malu, keluargamu malu, dengan tetangga apapun. Ya jangan berbuatlah,” kata dia.
Peluang Hukuman Mati untuk Tersangka Korupsi Pertamina
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan bahwa ia tidak ingin mengedepankan spekulasi mengenai kemungkinan hukuman mati bagi para tersangka dalam kasus dugaan pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk periode 2018-2023.
Burhanuddin menjelaskan bahwa penentuan hukuman akan bergantung pada hasil penyelidikan yang sedang berlangsung.
“Kita akan menunggu hasil penyelidikan ini, baru kemudian kita akan menilai langkah selanjutnya,” ungkap Burhanuddin saat memberikan keterangan di Kantor Kejaksaan Agung di Jakarta pada hari Kamis, 6 Maret 2025 lalu.
Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas pertanyaan mengenai potensi hukuman mati, mengingat kasus korupsi ini terjadi antara tahun 2018 hingga 2023, bertepatan dengan masa pandemi Covid-19 yang melanda pada tahun 2020.
Menurut Pasal 2 Ayat (2) dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), hukuman mati dapat dikenakan terhadap pelaku korupsi jika tindak pidana tersebut terjadi pada saat negara dalam keadaan darurat, bencana alam, pengulangan tindak pidana, atau dalam situasi krisis ekonomi.
Burhanuddin menambahkan bahwa faktor-faktor yang memberatkan, seperti situasi selama pandemi Covid-19, akan menjadi pertimbangan bagi penyidik dalam proses penyidikan.
“Apakah ada faktor-faktor yang memberatkan dalam situasi COVID, di mana tersangka melakukan perbuatan tersebut, dan tentunya ini akan berdampak pada beratnya ancaman hukumannya,” jelasnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus ini, di mana enam di antaranya adalah pejabat tinggi dari anak perusahaan Pertamina. Mereka terdiri dari Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; dan Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin.
Juga termasuk dalam daftar adalah VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; serta VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
Selain itu, terdapat tiga broker yang juga menjadi tersangka, yaitu Muhammad Kerry Adrianto Riza yang merupakan beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim; serta Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Kejaksaan Agung memperkirakan bahwa kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 193,7 triliun.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Saatnya Hukuman Mati
Sebelumnya, kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, praktisi dan pengamat hukum, Zeth Kobar Warouw menegaskan, saatnya hukuman mati diterapkan di Indonesia terhadap para koruptor baik ada eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Karena hanya kematian yang bikin para pejabat takut atau setidaknya enggan melakukan korupsi.
“Hukuman mati pada beberapa dari puluhan koruptor paling kakap yang sedang proses akan memberikan efek kejut dan menakutkan baik pada pejabat dan keluarganya. Istri dan anak yang biasa minta barang mewah dan jalan-jalan keluar negeri otomatis akan berhenti merengek, karena bayangan hukuman mati ada disetiap keluarga pejabat yang hidupnya glamour,” tegasnya di Jakarta Kamis, (6/3).
Menurutnya, para koruptor yang belum ketahuan akan memilih mengembalikan uang jarahannya. Keluarganya pasti gemetaran mengingat ancaman hukuman mati kalau sampai ketahuan. Seruan Presiden Prabowo agar para koruptor mengembalikan uang negara pasti akan bermanfaat.
“Percuma kalau hukuman mati tidak diterapkan, malahan seruan Presiden Prabowo jadi tertawaan para keluarga koruptor dan jadi pompa kebencian anti pemerintah,” ujarnya.
“Hukuman mati juga akan menghapus penjara buat koruptor yang selama ini melahirkan korupsi berupa pungli dan pemerasan di penjara,” Sambungnya.
Hukuman mati menurut Zeth Warouw juga otomatis akan mendidik keluarga dan masyarakat tentang bahaya korupsi. Koruptor yang dihukum mati akan memberikan sanksi sosial kepada keluarga setidaknya pada 3 generasi dibawah dan 3 generasi ke atas dan seluruh keluarga besar. Ini akan efektif dan cepat terjadi peningkatan kesadaran tentang bahaya korupsi, lebih berbahaya ketimbang tersengat listrik, karena seluruh keluarga besar akan ikut ‘mati’ oleh sanksi sosial.
“Seluruh keluarga besar otomatis kesulitan mendapatkan pekerjaan, akan kesulitan mendapatkan sekolah bahkan kesulitan mendapat tempat tinggal karena ditolak masyarakat,” paparnya.
Sehingga menurutnya penegakan hukum tidak membutuhkan program sosialisasi anti korupsi miliaran yang selama ini sia-sia.
“Baru satu sampai 5 orang koruptor saja yang dihukum mati secara bergiliran dan mendapatkan publikasi luas, pasti akan membuat semua pejabat dari tingkat desa sampai nasional takut untuk mengentit serupiah pun,” ujarnya.
Pro-Kontra Hukuman Mati
Zeth Warouw menyoti pro kontra yang tidak berujung dari hukuman mati, sementara koruptor menari-nari di atas uang rakyat banyak yang dikorup dan penderitaan rakyat karena kemiskinan.
“Penolakan hukuman mati atas nama HAM seorang koruptor sudah absurd karena jutaan rakyat yang gak bisa keluar dari lubang kemiskinan beranak pinak karena negara membiarkan duit rakyat dirampok koruptor,” ujarnya.
Zeth Kobar mengatakan, hukuman mati dipertentang dengan Sila Ketuhanan dan Sila Prikemanusian dalam Pancasila secara semena-mena atas nama agama dan kemanusiaan.
“Tapi mereka menutup mata pada jutaan orang yang menjadi korban generasi ke generasi akibat korupsi merajalela,” tegasnya.
(Calvin G. Eben-Haezer)