JAKARTA- Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Syahril mengatakan, penyakit cacar monyet tidak menyerang kelompok tertentu seperti yang ramai diisukan hanya pria gay atau lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL).
Cacar monyet bisa menular ke semua orang yang memiliki kontak erat dengan penderita sebelumnya.
“Cacar monyet ini tidak menyerang kelompok tertentu ya, enggak ada kelompok tertentu, dia menyerang kontak erat saja,” kata Syahril dalam konferensi pers virtual, Sabtu (20/8/2022).
“Jangan sampai ada pemahaman kelompok ini, kelompok ini, tidak. Semua orang yang mempunyai potensi kontak erat dengan pasien, maka dialah yang paling mempunyai risiko tertinggi untuk penularan,” kata dia.
Begitu juga dengan surveilans atau pengamatan penyebaran kasus cacar monyet yang saat ini sudah ditemukan satu kasus di Indonesia.
Metode surveilans tidak akan menyasar kelompok tertentu tetapi pada setiap orang yang berisiko tertular karena memiliki riwayat kontak erat dengan pasien cacar monyet.
“Kita lakukan pada kelompok tertentu, tapi pada semua orang yang mempunyai risiko, pada pasien-pasien itu dan kita tidak ingin membuat pada suatu kesalahpahaman pada masyarakat,” ucap dia.
Kesalahpahaman tersebut menjurus pada data WHO terhadap kasus cacar monyet yang banyak dialami pria gay atau lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL).
Peneliti di Pusat Riset Kedokteran Praklinis dan Klinis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dr Zulvikar Syambani Ulhaq, M.Biomed, Ph.D, mengungkapkan kemungkinan mengapa hal itu bisa terjadi.
“Ini menurut pandangan saya pada LSL kenapa banyak ditemukan (cacar monyet), karena mereka misalnya memang suka party, dancing, dan sebagainya di mana itu kan sangat berdekatan dengan kerumunan yang banyak,” ucap Zulvikar Dilansir.
Namun Zulvikar menegaskan, penularan cacar monyet tidak selalu melalui hubungan seksual, meski ini adalah salah satu caranya menular pada orang lain, termasuk pada kelompok LSL.
Sebab, cara penularan yang utama dari penyakit cacar monyet ialah sentuhan kulit ke kulit.
“Bisa juga misalnya melalui berkerumun, melihat konser, itulah menurut gambaran saya yang sebenarnya terjadi di negara-negara Amerika atau Eropa, kenapa penyebaran ini terjadi dengan cepat. Jadi tidak selalu melalui seks,” ujar dia.
Kasus Pertama Indonesia
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Kementerian Kesehatan memastikan satu warga negara Indonesia terkonfirmasi menderita monkeypox (cacar monyet). Pasien tersebut merupakan seorang laki-laki berusia 27 tahun, dengan riwayat perjalanan ke Belanda, Swiss, Belgia dan Perancis sebelum tertular.
Berdasarkan penelusuran, pasien berpergian ke luar negeri antara tanggal 22 Juli hingga tiba kembali di Jakarta pada 8 Agustus 2022. Pasien mulai mengalami gejala awal monkeypox di tanggal 11 Agustus 2022.
Setelah berkonsultasi ke beberapa fasilitas kesehatan, pasien masuk ke salah satu rumah sakit milik Kementerian Kesehatan pada tanggal 18 Agustus dan hasil test PCR pasien terkonfirmasi positif pada malam hari tanggal 19 Agustus.
“Saat ini pasien dalam keadaan baik, tidak sakit berat dan ada cacarnya atau ruam-ruamnya di muka, di telapak tangan dan kaki. Pasien tidak perlu dirawat di rumah sakit, tapi cukup isolasi mandiri,” ungkap Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH dalam keterangan pers (20/8).
Dokter Syahril menghimbau masyarakat agar tidak panik karena daya tular dan fatalitas cacar monyet sangat rendah dibandingkan dengan Covid-19. Sebagai gambaran, saat ini ada 39,718 kasus konfirmasi cacar monyet diseluruh dunia namun yang meninggal hanya 12 orang, atau kurang dari 0.001% dari total kasus.
Transmisi monkeypox tidak semudah COVID-19 yang melalui droplet di udara.
“Penularan monkeypox melalui kontak erat,” kata dr Syahril.
Konfirmasi kasus monkeypox pertama di Indonesia telah ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes untuk melakukan surveilans kepada masyarakat atau kontak erat dari pasien.
Sebagai bentuk kewaspadaan, tambah dr. Syahril, Kemenkes sudah melakukan pemantauan intensif di seluruh pintu masuk Indonesia, baik dari udara, laut, maupun darat yang berhubungan langsung kepada negara-negara yang sudah melaporkan adanya kasus monkeypox. Sekitar 89 negara yang sudah melaporkan adanya kasus cacar monyet di negaranya.
Pemerintah juga sudah memberikan status kewaspadaan kepada seluruh maskapai penerbangan dan pelabuhan untuk bersama memberikan suatu kewaspadaan apabila ada penumpangnya yang mempunyai gejala cacar monyet.
Langkah berikutnya, ucap dr. Syahril, pihaknya sudah memberikan sosialisasi dan edukasi kepada seluruh masyarakat, seluruh petugas kesehatan, dan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan untuk mewaspadai cacar monyet.
dr. Syahril mengingatkan kepada seluruh masyarakat agar selalu melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan meningkatkan protokol kesehatan.
“Protokol kesehatan ini bukan hanya untuk monkeypox saja tapi juga untuk seluruh penyakit menular,” kata dr. Syahril.
Pemerintah telah memberikan pedoman kepada seluruh Dinas Kesehatan di Indonesia, seluruh rumah sakit, dan seluruh Puskesmas untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap monkeypox. Ia berharap jangan sampai ada petugas kesehatan di fasilitas kesehatan manapun yang tidak paham dengan cacar monyet, karena ini bagian dari kewaspadaan.
Pemeriksaan PCR untuk monkeypox saat ini baru bisa dilakukan di dua tempat, yakni di laboratorium rujukan nasional BKPK Kemenkes, dan laboratorium Institut Pertanian Bogor.
Saat ini sedang dalam proses penambahan 10 laboratorium yang ditingkatkan untuk melakukan pemeriksaan PCR tersebut. Ada pula beberapa rumah sakit yang sudah bisa melakukan PCR.
Dikatakan dr. Syahril, Kemenkes sudah menyiapkan 1.200 reagen untuk pemeriksaan monkeypox. Pemeriksaan dilakukan manakala ada kecurigaan monkeypox.
“Pemeriksaan PCR monkeypox ini berbeda dengan pemeriksaan PCR COVID-19. PCR monkeypox dilakukan dengan swab pada ruam-ruam yang ada di tubuh pasien,” ujar dr. Syahril.
Pasien monkeypox juga tidak diperlukan ruang isolasi sebagaimana pasien COVID-19. Ruang isolasi untuk pasien COVID-19 memerlukan tekanan negatif, sementara untuk pasien monkeypox ruang isolasi tersebut tidak diperlukan.
Terapi Perawatan klinis untuk cacar monyet harus dioptimalkan sepenuhnya untuk meringankan gejala, mengelola komplikasi, dan mencegah gejala sisa jangka panjang. Pasien harus diberi cairan obat dan makanan untuk mempertahankan gizi yang memadai.
Infeksi bakteri sekunder harus diobati sesuai indikasi. Antivirus yang dikenal sebagai tecovirimat yang dikembangkan untuk cacar dilisensikan oleh European Medicines Agency (EMA) untuk monkeypox pada tahun 2022 berdasarkan data pada penelitian pada hewan dan manusia.
Tecovirimat belum tersedia secara luas. Jika digunakan untuk perawatan pasien, tecovirimat idealnya harus dipantau dalam konteks penelitian klinis dengan pengumpulan data prospektif.
Terkait vaksinasi, WHO belum memberikan rekomendasi untuk vaksinasi massal dalam menghadapai monkeypox. Ada dua atau tiga negara yang sudah melakukan vaksinasi dan Indonesia juga sedang memproses untuk pengadaannya dan harus melalui rekomendasi dari Badan POM.
Pasien monkeypox akan sembuh sendiri manakala tidak ada infeksi tambahan atau tidak ada komorbid yang berat yang dapat memperparah kondisi pasien.
“Kalau pasiennya tidak ada komorbid dan tidak ada penyakit pemberat lain, Insya Allah sebetulnya pasien ini bisa sembuh sendiri,” ucap dr. Syahril.
Gejala cacar monyet mirip dengan gejala cacar air, namun lebih ringan. Gejala dimulai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, dan kelelahan. Perbedaan utama antara gejala cacar air dan cacar monyet adalah bahwa cacar monyet menyebabkan pembengkakan pada kelenjar getah bening (limfadenopati) sedangkan cacar air tidak.
Cacar monyet biasanya merupakan penyakit yang sembuh sendiri dengan gejala yang berlangsung dari 2 hingga 4 minggu. (Web Warouw)