Senin, 2 Desember 2024

Joint Statement Indonesia dan China di Laut China Selatan: Tinjauan  Intelijen dan UNCLOS

Oleh: Soleman B. Ponto *

LAUT China Selatan adalah kawasan strategis dengan kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan bagi banyak negara, terutama China dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Salah satu isu utama yang menimbulkan ketegangan di kawasan ini adalah klaim teritorial China yang dikenal sebagai Nine-Dash Line atau Garis Sembilan Titik. Klaim ini mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Klaim ini tidak memiliki dasar hukum menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), namun China tetap mempertahankannya atas dasar sejarah dan pengaruh budaya1.

Pada 9 November 2024, Presiden Prabowo Subianto menandatangani joint statement dengan Presiden China, Xi Jinping, di Beijing. Joint statement ini menegaskan pentingnya kerja sama maritim antara Indonesia dan China, khususnya di Laut China Selatan. Penandatanganan ini tidak mengakui klaim Nine-Dash Line secara hukum, namun mencerminkan keputusan strategis Indonesia dalam menghadapi dinamika kawasan. Hal ini memunculkan berbagai interpretasi dan pertanyaan, termasuk apakah pendekatan Indonesia ini lebih berfokus pada de facto atau de jure.

Makalah ini membahas joint statement tersebut dari perspektif intelijen dan UNCLOS serta implikasinya terhadap posisi Indonesia di kawasan.

Perspektif UNCLOS Terhadap Nine-Dash Line

UNCLOS, yang diratifikasi pada tahun 1982, mengatur batas-batas wilayah laut setiap negara dengan menetapkan ZEE sejauh 200 mil laut dari garis pangkal wilayah pesisirnya2. Berdasarkan UNCLOS, Nine-Dash Line yang diklaim oleh China tidak memiliki dasar hukum yang sah karena tidak sesuai dengan aturan batas laut yang diakui secara internasional. UNCLOS tidak mengakui klaim wilayah berdasarkan “hak historis,” kecuali ada bukti penguasaan yang sah dan diterima secara internasional3.

Indonesia menegaskan bahwa ZEE di sekitar Natuna adalah wilayah yang sah miliknya sesuai dengan ketentuan UNCLOS. Dari perspektif ini, joint statement yang dikeluarkan Indonesia dan China tidak diartikan sebagai pengakuan terhadap Nine-Dash Line, tetapi sebagai upaya diplomasi untuk menjaga stabilitas kawasan. Namun, beberapa negara ASEAN mungkin memandang pendekatan ini sebagai sikap yang terlalu lunak terhadap China, yang dianggap sebagai ancaman regional.

Perspektif Intelijen Terhadap Nine-Dash Line

Dari sudut pandang intelijen, Nine-Dash Line dipandang sebagai ancaman strategis terhadap kedaulatan dan keamanan nasional Indonesia. Intelijen tidak hanya menilai ancaman dari sisi hukum, tetapi juga melihat aktivitas faktual China di wilayah Laut China Selatan sebagai indikasi niat dan kekuatan yang dapat membahayakan kepentingan nasional Indonesia. Secara de facto, kehadiran militer dan patroli China di perairan yang diklaim dalam Nine-Dash Line menunjukkan bahwa ancaman tersebut adalah nyata, meskipun secara de jure tidak diakui oleh UNCLOS4.

Bagi intelijen, setiap klaim atau aktivitas yang menunjukkan ekspansi pengaruh dan kendali oleh negara asing dianggap sebagai ancaman langsung. Aktivitas China di kawasan ini dipandang sebagai bentuk proyeksi kekuatan dan ambisi geopolitik untuk memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara.

Intelijen melihat bahwa, terlepas dari pengakuan hukum, China terus melakukan tindakan de facto yang dapat mengikis kontrol Indonesia atas ZEE-nya di Laut Natuna. Dari perspektif ini, Nine-Dash Line bukan hanya klaim kosong, tetapi bukti adanya niat China untuk menguasai wilayah tersebut5.

Makna Penandatanganan Joint Statement oleh Presiden Prabowo

Penandatanganan joint statement oleh Presiden Prabowo mencerminkan pilihan strategis untuk memperkuat stabilitas kawasan sambil melindungi kepentingan nasional Indonesia. Langkah ini diambil dengan latar belakang tujuan jangka panjang untuk mempertahankan kedaulatan sekaligus menghindari ketegangan yang tidak perlu dengan China.

Penandatanganan ini mencerminkan diplomasi yang pragmatis, di mana Indonesia tetap mempertahankan posisinya sesuai dengan UNCLOS namun memilih pendekatan yang lebih damai dan bersahabat secara de facto.

Penandatanganan ini bukan berarti pengakuan langsung terhadap Nine-Dash Line. Namun, tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia, melalui presidennya, memilih untuk menekankan aspek kerja sama dan stabilitas ekonomi dengan China daripada berkonfrontasi. Pendekatan ini dipandang sebagai cara untuk mengurangi risiko konflik terbuka dan memungkinkan Indonesia membangun kerja sama yang saling menguntungkan dengan China, termasuk dalam sektor ekonomi6.

Keuntungan dan Kerugian bagi Indonesia

Keuntungan:

  1. Memperkuat Hubungan Ekonomi dan Diplomatik
    Pendekatan ini membuka peluang investasi dan perdagangan dengan China, memperkuat ekonomi Indonesia sekaligus menciptakan peluang kerja sama yang saling menguntungkan7.
  2. Stabilitas Kawasan dan Regional
    Dengan pendekatan damai ini, Indonesia turut menjaga stabilitas di Laut China Selatan dan mencegah kemungkinan konflik terbuka yang dapat membahayakan negara-negara ASEAN lainnya8.
  3. Posisi Tawar dalam Diplomasi Internasional
    Dengan menunjukkan fleksibilitas dan pragmatisme, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam negosiasi internasional, mengingat pentingnya peran diplomasi dalam mengelola sengketa di Laut China Selatan9.

Kerugian:

  1. Potensi Lemahnya Dukungan ASEAN
    Sikap yang lebih lunak terhadap China dapat dianggap sebagai kompromi, yang berpotensi melemahkan solidaritas ASEAN dalam menghadapi klaim Nine-Dash Line10.
  2. Pengaruh China yang Semakin Besar
    Pendekatan ini dapat memberi peluang bagi China untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan, yang dapat mengikis kontrol Indonesia di Laut Natuna jika tidak dikawal dengan baik oleh kebijakan nasional11.
  3. Risiko Terhadap Kedaulatan Nasional
    Pendekatan ini dapat diinterpretasikan sebagai kelemahan atau tanda kesediaan untuk menerima klaim Nine-Dash Line, yang dapat menimbulkan persepsi negatif mengenai kedaulatan Indonesia di kawasan ini.

Pengaruh Kebijakan Indonesia: Apakah Mengutamakan De Facto daripada De Jure?

Penandatanganan joint statement ini menunjukkan bahwa Indonesia berusaha menyeimbangkan antara pendekatan de jure dan de facto dalam mengelola sengketa di Laut China Selatan:

  1. Pendekatan De Facto
    Dengan menandatangani joint statement, Indonesia mengakui bahwa pengaruh China di Laut China Selatan adalah realitas yang perlu dikelola secara diplomatis. Pendekatan de facto memungkinkan Indonesia untuk menjaga hubungan baik dengan China dan menjaga kestabilan kawasan tanpa perlu mengubah sikap resmi berdasarkan UNCLOS.
  2. Pendekatan De Jure
    Sementara itu, Indonesia tetap mempertahankan haknya berdasarkan UNCLOS, yang menolak klaim Nine-Dash Line secara hukum. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk tetap memiliki posisi yang kuat secara internasional dan mendapatkan dukungan dari komunitas internasional yang juga mendukung supremasi hukum di kawasan.

Dengan memilih pendekatan yang seimbang, Indonesia berusaha menghindari konfrontasi langsung yang bisa mengganggu stabilitas nasional dan regional, sekaligus mempertahankan hak-haknya sesuai dengan hukum internasional. Namun, pendekatan ini memiliki tantangan tersendiri, karena harus tetap konsisten antara mempertahankan sikap de jure tanpa mengesampingkan realitas de facto.

Keputusan Akhir

Dalam mengambil keputusan akhir, Presiden Prabowo harus menyeimbangkan antara menjaga integritas nasional dan memastikan stabilitas kawasan. Keputusan untuk menandatangani joint statement menunjukkan bahwa kepentingan nasional, termasuk stabilitas dan kerja sama ekonomi, menjadi prioritas utama. Dengan mengedepankan pendekatan diplomatik yang pragmatis, Indonesia menunjukkan fleksibilitas untuk menghadapi dinamika regional yang kompleks, tanpa harus secara eksplisit mengakui klaim Nine-Dash Line.

Keputusan ini diambil untuk menghindari konflik terbuka dengan China dan menjaga stabilitas kawasan, sambil tetap mempertahankan kedaulatan Indonesia di bawah payung hukum UNCLOS. Langkah ini memungkinkan Indonesia untuk tetap memantau aktivitas China dan memperkuat aliansi regional bersama ASEAN, yang akan memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuatan di Laut China Selatan.

Kesimpulan

Joint statement yang ditandatangani Presiden Prabowo dengan China di Laut China Selatan mencerminkan pilihan untuk mengutamakan stabilitas dan kepentingan nasional. Meskipun Nine-Dash Line masih dianggap sebagai ancaman oleh negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia tampak mengambil pendekatan de facto melalui diplomasi untuk menjaga hubungan baik dengan China. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mencoba menyeimbangkan antara mempertahankan posisi hukum (de jure) di bawah UNCLOS, dengan mengakui realitas pengaruh China yang semakin besar di kawasan (de facto).

Keputusan ini memiliki keuntungan dalam menjaga stabilitas kawasan dan memperkuat hubungan ekonomi dengan China, tetapi juga menimbulkan risiko kehilangan dukungan ASEAN dalam menghadapi klaim China. Dengan mengambil langkah diplomatik yang hati-hati dan tetap memantau aktivitas China di kawasan tersebut, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatannya tanpa mengorbankan stabilitas regional.


Footnotes

  1. Government of China, Ministry of Internal Affairs, “Historical Atlas of China,” 1947.  
  2. United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982, Articles 56-57.  
  3. Rothwell, D. R., & Stephens, T. (2010). The International Law of the Sea. Hart Publishing.  
  4. Adam, R. (2021). “The Strategic Implications of the Nine-Dash Line for Southeast Asia.” Journal of International Security Studies, 45(3), 145-165.  
  5. Kaplan, R. D. (2014). Asia’s Cauldron: The South China Sea and the End of a Stable Pacific. Random House.  
  6. Dupuy, F., & Dupuy, P.-M. (2013). “A Legal Analysis of China’s Historic Rights Claim in the South China Sea.” American Journal of International Law, 107(1), 124-141.  
  7. Till, G. (2013). Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. Routledge.  
  8. ASEAN Secretariat. “ASEAN Outlook on the Indo-Pacific,” ASEAN.org, 2019.  
  9. Goh, E. (2007). “Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia.” International Security, 32(3), 113-157.  
  10. Huth, P. K. (1996). Standing Your Ground: Territorial Disputes and International Conflict. University of Michigan Press.  
  11. Bader, J. A. (2016). Obama and China’s Rise: An Insider’s Account of America’s Asia Strategy. Brookings Institution Press.  

—-

*Penulis Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb adalah Kepala Badan Intelijen Strategis BAIS 2011-2013

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru