JAKARTA- Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh punya ambisi dan rencana besar di tahun 2015 mendatang. Tetapi, konstitusi mengamanatkan bahwa pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Untuk membiayai ambisi dan rencana besarnya itu, pemerintah butuh persetujuan DPR. Maka, mulus atau tidak mulusnya realisasi program-program pembangunan itu sangat bergantung pada setinggi apakah derajat harmoni pemerintah dan DPR. Demikian anggota Komisi III, DPR-RI, Golkar-Bambang Soesatyo kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (29/12).
“Untuk itu kita perlu mengingatkan agar ambisi tersebut tidak kandas di tengah jalan. Pertama, sangat urgen bagi Jokowi untuk menunjukan respek (hormat) kepada DPR,” ujar Sekretaris Fraksi Golkar di DPR ini.
Kedua menurutnya, sebagai pemimpin, Jokowi harus tulus mewujudkan harmoni dan kemitraan dengan DPR.
“Demi lancarnya roda pemerintahan, Jokowi harus mau mengambil inisiatif melakukan komunikasi yang intens dengan DPR agar semua hambatan bisa dicarikan jalan keluarnya,” katanya.
Jokowi juga menurutnya harus batasi segala bentuk politik balas budi kepada para bandar atau sponsor dan para pendukung saat pilpres yg dapat merugikan rakyat.
“Termasuk bagi-bagi jabatan di dalam istana maupun di luar istana seperti komisaris dan direksi BUMN. Jokowi harus bisa menahan diri tidak menggunakan kewenangan dan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan,” tegasnya.
Menurutnya juga, kendati telah beberapa kali ingkar janji seperti janji Koalisi dan kabinet ramping, menteri dan Jaksa Agung non parpol namun kali ini diharap Jokowi tepati janjinya untuk tidak merebut jabatan ketua umum PDIP pada Kongres PDIP mendatang.
Bambang Soesatyo juga meminta agar Jokowi menghentikan segala bentuk intervensi dan campur tangan ke partai politik lawan.
“Karena langkah tersebut bisa menjadi blunder politik yang membahayakan bagi kelangsungan pemerintahan itu sendiri,” ujarnya.
Ia juga meningatkan begitu banyak pelanggaran konstitusi yang hingga kini masih ditolelir DPR sebagai perpanjangan tangan partai politik di parlemen.
“Diantaranya seperti pelanggaran Undang-undang APBN terkait penggunaan dan pemanfaatan dana penghematan BBM, menjual BBM diatas harga ke ekonomian dan lain-lain,” (Enrico N. Abdielli)