JAKARTA- Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS)- Kesehatan memastikan akan memberikan sanksi pada perorangan yang belum mendaftarkan dirinya dan keluarganya menjadi peserta BPJS- Kesehatan. Hal ini disampaikan BPJS dalam edaran dan pengumuman terbuka pada publik dan diterima Bergelora.com, Jumat (10/6).
Dalam edaran itu diumumkan bahwa, sanksi yang akan diterapkan bagi perorangan yang ditidak menjadi peserta BPJS adalah tidak akan mendapatkan pelayanan publik dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kota berupa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Sertifikat Tanah, Paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
BPJS juga memastikan bahwa bagi mereka yang tidak memberikan data diri dan anggota keluarga secara lengkap dan benar kepada BPJS akan dikenakan sanksi administrasi berupa teguran tertulis dan tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
Untuk setiap keterlambatan pembayaran iuran BPJS dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulanyang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
Bila peserta menunggak iuran selama 6 (enam) bulan maka pada bulan ke 7 (tujuh) pelayanan akan dihentikan.
Sanksi ini menurut BPJS sesuai dengan Undang-undang BPJS No 24/2011, Peraturan Presiden No 111/2013 dan Peraturan Pemerintah No 86/2013. Sanksi di atas ini semua akan diberlaku mulai Januari 2019.
Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) sejak awal menolak keberadaan Undang-undang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No 40/2004 dan Undang-undang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) No 24/2011.
Undang-undang Paling Buas
Pengurus Nasional DKR Tutut Herlina menjelaskan bahwa belum pernah ada dalam undang-undang sebuas Undang-undang SJSN, yang sangat agresif memerintahkan pada seluruh rakyat Indonesia untuk membayar iuran pada negara. Pada pasal 17 dari UU Nomor 40/2004 Tentang SJSN berbunyi : ayat (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu, ayat (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. dan ayat (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak
“Mengacu pada UUD’45 maka ketiga ayat di atas secara jujur harus diakui telah menyimpangan jauh dari perintah UUD’45 Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) yang isinya adalah Ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dan Ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) justru membenarkan ayat dalam Undang-undang tersebut,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa Undang-undang BPJS No 24/2011 sebagai undang-undang pelaksana dari SJSN juga memastikan bahwa dana dari masyarakat, buruh, PNS, prajurit dan APBN tidak hanya untuk pelayanan kesehatan tetapi juga untuk biaya operasional (UU BPJS, Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 41 ayat 1d).
“Dana yang ditarik dari masyarakat dan APBN juga dibagi-bagi di dalam pengawas dan pelaksana BPJS sebagai biaya operasional BPJS yang dipakai untuk biaya personel dan nonpersonel yang terdiri dari dewan pengawas, direksi dan karyawan (UU BPJS Pasal 44),” jelasnya.
Sedangkan sebagai aset BPJS, menurutnya dana operasional yang berasal dari dana jaminan sosial bisa digunakan dalam pengadaan barang dan jasa serta diinvestasikan yang akan diatur dalam peraturan pemerintah (UU BPJS Pasal 41 ayat 2d dan Pasal 43 ayat 2c)
“Untuk memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program selain dari dana Jaminan sosial juga bisa didapat dari sumber lain (UU BPJS Pasal 12a dan Pasal 41 ayat 1e),” ujarnya.
Bukan hanya itu, dana jaminan sosial juga dapat diinvestasikan dalam investasi jangka pendek dan jangka panjang (UU BPJS Pasal 11b dan Pasal 52 huruf j dan k). Bahkan kerjasama pelaksanaan program juga terbuka dengan pihak lain. (UU BPJS Pasal 11h)
Dalam undang-undang BPJS No 34/2011 itu juga diatur bahwa pemberi kerja wajib memungut iuran pada pekerjanya dan menyetor pada BPJS (UU BPJS Pasal 19 ayat 1 dan 2). Sedangkan peserta yang bukan pekerja dan bukan fakir miskin wajib membayar dan menyetor iuran pada BPJS (UU BPJS Pasal 19 ayat 3). Besaran dan tatacara pembayaran iuran jaminan kesehatan akan diatur dalam peraturan pemerintah (UU BPJS Pasal 19 ayat 5)
Kerjasama Luar Negeri
BPJS terbuka untuk menerima modal dari luar karena tidak bisa dipailitkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan kepailitan (UU BPJS Pasal 47). Juga ditegaskan dalam menjalankan tugasnya BPJS dapat bekerjasama dengan organisasi atau lembaga lain di dalam maupun luar negeri (UU BPJS Pasal 51 ayat 2). Kerjasama langsung dengan luar negeri dapat dilakukan oleh BPJS atas nama Negara Republik Indonesia (UU BPJS Pasal 51 ayat 3)
Sanksi administratif akan diberikan pada peserta dan pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajiban (UU BPJS Pasal 11f dan Pasal 17). Bahkan pemberi kerja yang tidak menarik iuran pada pekerjanya dan menyetor pada BPJS akan dikenakan sanksi pidana 8 tahun penjara atau denda sebesar Rp 1 milyar.
Para Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) yaitu tidak memungut iuran atau ayat (2) yaitu tidak menyetor iuran pungutan pada BPJS, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (UU BPJS Pasal 55) (Web Warouw)