Senin, 21 April 2025

Kami Tiada Dendam, Yang Penting Pengungkapan Kebenaran

JAKARTA- Keluarga korban kejahatan Hak Azasi Manusia pada tahun 1965 tidak punya dendam terhadap pada para pelaku. Yang paling penting saat ini adalah pengungkapan kebenaran sejarah pada generasi muda agar tidak menjadi beban dimasa akan datang. Hal ini disampaikan oleh putra almarhum mantan Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, Anak Agung Gde Agung dari Jembrana, Bali kepada Bergelora.com, Selasa (6/10) ketika ditanyakan apakah ada dendam terhadap pelaku penculikan dan pembunuhan orang tua dan keluarganya pada tahun 1965-1966.

 

“Kami tiada dendam. Itu pasti. Kami hanya ingin pengungkapan kebenaran terhadap peristiwa yang memakan korban jutaan nyawa orang Indonesia, termasuk pada ayah dan keluarga kami,” ujarnya.

Menurut Anak Agung Gde Agung, sudah cukup 50 tahun peristiwa kelam pasca 30 September 1965 menghantui rakyat Indonesia. Kebohongan dan teror harus dihentikan dengan pengungkapan kebenaran agar, rakyat Indonesia dapat bersatu lagi menghadapi tantangan perubahan dunia yang sedang terjadi.

“Selama kebenaran tidak diungkap, maka kecurigaan dan kebencian terus menteror sampai saat ini. Bagaimana bangsa ini bisa bersatu dan maju menghadapi berbagai persoalan,” ujarnya.

Sebelumnya, sebuah buku baru terbit berjudul ‘Nasib Para Soekarnois : Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966’. Buku yang ditulis oleh, Aju, seorang wartawan senior Sinar Harapan setebal 200 halaman ini menggambarkan peristiwa penculikan dan pembunuhan Gubernur Bali Sutedja dengan latar belakang pembunuhan massal di pulau dewata itu. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Penghayat keadilan (Justice Fellowship Indonesia) menggambarkan bahwa walaupun bukan anggota PKI, Gubernur Sutedja juga diculik dan dibunuh.

Setelah Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, meledak, Provinsi Bali mengalami “banjir darah” menjadi sebuah ladang pembantaian manusia yang tidak berdosa. Bali menjadi salah satu daerah dengan “penyembelihan” terganas terhadap pihak yang dituduh simpatisan dan anggota PKI.

Akibat situasi politik di Provinsi Bali yang semakin memanas, Presiden Soekarno kemudian menugaskan Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja bertugas di Jakarta, terhitung 1 Desember 1965. Penugasan Anak Agung Bagus Sutedja di Jakarta, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Soekarno Nomor 380 Tahun 1965, tapi masih dalam kapasitas sebagai Gubernur Bali yang sah.

Pembantaian di Bali dicatat paling parah dalam sejarah kekerasan politik di Indonesia, disusul di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banyak orang yang diculik dan dibawa ke suatu tempat untuk dibunuh. Jumlah korban tewas di Bali diperkirakan sekitar 80.000 hingga 100.000 orang. Ada korban ditangkap dan langsung dibunuh di depan rumahnya sendiri yang disaksikan anak dan istrinya.

Dalam buku hasil penelitian Geoffrey Robinson, tahun 2006, Komandan RPKAD Kol (Inf) Sarwo Edhie Wibowo, mengatakan, “Situasi di Bali berbeda dengan di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, saya sibuk mendorong rakyat agar menumpas Gestapu, di Bali, di sisi lain, rakyat sudah menggebu-gebu ingin menumpas Gestapu sampai ke akar-akarnya. Yang penting jangan sampai antusiasme itu disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga menimbulkan anarki. Itu yang harus kami cegah.”

Anak Agung Gde Agung berharap pemerintah segeram mempelopori pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan dan rekonsiliasi nasional.

“Walaupun bukan PKI, ayah saya juga diculik dan dibunuh. Dan sampai saat ini tidak ada pemulihan nama baik ayah dan keluarga saya oleh negara,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru