Oleh: Markus Wauran **
DALAM keterangan pers pada tanggal 4 Pebruari 2020 yang lalu, Menko Kemaritiman dan Investasi Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan (selanjutnya disingkat Luhut Pandjaitan) mengungkapkan kekesalannya saat mengikuti World Economic Forum di Davos, Swiss pada awal Januari 2020.
Kekesalan itu karena ada Jenderal Amerika Serikat (AS) bertemu dengan para Jenderal utusan dari Cina, India dan Korea utara, namun Luhut Pandjaitan sebagai seorang Jenderal tidak diajak.
Melihat hal tersebut, Luhut Pandjaitan mendekati Jenderal AS dan memperkenalkan diri sebagai seorang Jenderal dari Indonesia dan lulusan AS serta menjelaskan Indonesia punya SDA yang melimpah.
Dari percakapan dengan Jenderal AS, rupanya Luhut Pandjaitan tidak diajak karena Indonesia tidak memiliki senjata nuklir, sedangkan Cina, India dan Korea Utara memiliki senjata nuklir.
Setelah kembali ke Indonesia, Luhut Pandjaitan menemui Presiden Jokowi dan mengusulkan agar Indonesia memiliki senjata nuklir, namun ditolak oleh Presiden Jokowi karena ada prioritas lain yang harus dikerjakan untuk kesejahteraan rakyat.
—
Senjata nuklir dapat dibedakan dengan bom yang memiliki hulu ledak nuklir, yang dijatuhkan pesawat terbang disuatu tempat dan rudal yang memiliki hulu ledak nuklir ditembakkan dari pesawat udara, kapal perang, kapal selam dan dari darat.
Dalam percakapan dengan seorang ahli nuklir, kapal perang dan kapal selam militer yang menggunakan PLTN untuk menggerakan mesinnya agar jalan, disebut juga sebagai senjata nuklir.
Bom nuklir beratnya berbeda-beda. Demikian pula rudal nuklir, jarak tembak nya bisa satuan, puluhan, ratusan dan ribuan km.
Seperti rudal ICBM (Inter continental Ballistic Missile) adalah rudal antar benua yang bisa mencapai sasaran diatas 10.000km.
Dari Cina bisa mencapai AS demikian pula sebaliknya.
Terkait keinginan Luhut Pandjaitan agar Indonesia punya senjata nuklir, timbul pertanyaan:
Apakah ada ahli Indonesia yang mampu membuat senjata nuklir?;
Apakah Indonesia mudah /tidak ada halangan membuat/memiliki senjata nuklir?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, Penulis teringat suatu percakapan dengan seorang ahli nuklir Indonesia pada thn 1990’an (lupa kepastian tahunnya).
Namanya Soedyartomo Soentono dengan gelar DR.Drs.M.Sc, lulusan S1 jurusan Kimia dari UGM, 1970 dan S3 dari University Salford, Inggris, 1979.
Dikalangan BATAN, beliau populer dipanggil Tommy (Pak Tommy), saat itu sebagai Pejabat BATAN.
Penulis minta waktu untuk ketemu beliau sebagai persiapan untuk kunjungan kerja keluar negeri. Dalam akhir percakapan tersebut, Penulis bertanya apakah Indonesia khususnya BATAN bisa membuat senjata nuklir.
Dengan enteng tapi penuh keyakinan beliau menjawab bisa dengan menguraikan dari segi rumus kimia dan tehnik nuklir yang Penulis tidak paham karena tidak pernah belajar soal kimia dan teknologi nuklir.
Sebagai tambahan, seorang gurunya Alm. Sutaryo Supardi pernah mengatakan kepada Penulis, bahwa Tommy adalah salah satu ahli nuklir yang pintar yang dimiliki Indonesia diatas teman-temannya.
Namun sayang Tommy yang pernah menjadi Kepala BATAN pada 2002-2007 telah meninggal dunia pada 27 April 2007, sebulan setelah melepaskan jabatannya sebagai Kepala BATAN.
Karena kepakarannya, Alm. Tommy menjadi narasumber dalam berbagai konperensi nasional dan internasional tentang nuklir.
Apakah saat ini BATAN dan Indonesia juga memiliki ahli-ahli yang bisa mereyakasa senjata nuklir, Penulis tidak mengetahuinya, tapi pasti Pemerintah memiliki datanya.
Kemudian, untuk menjawab pertanyaan kedua, Indonesia tidak mudah untuk membuat/memiliki senjata nuklir karena terikat pada perjanjian internasional dan Regional dimana Indonesia ikut menanda-tanganinya.
Juga hambatan moral dan politis. Perjanjian Internasional tsb adalah:
I. NPT (Nuclear Weapons Non-Proliferation Treaty) sebagai Perjanjian Internasional. Pada saat penanda-tangan NPT ini, maka hanya ada 5 negara yang secara resmi diakui memiliki senjata nuklir yaitu AS, Uni Sovjet(sekarang Rusia), Perancis, Inggris dan Tiongkok.
Pada awalnya NPT ini ditanda-tangani oleh 62 negara pada 1 Juli 1968. Efektif berlaku pada Maret 1970 dan Indonesia menanda-tangani pada 2 Maret 1970.
NPT ini telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang No. 8 tahun 1978.
Perjanjian NPT ini berlaku 25 tahun namun pada tanggal 11 Mei 1995, di New York, 170 negara sepakat NPT dilanjutkan tanpa batas waktu.
Sampai saat ini ada 191 negara yang menada-tangani NPT.
Sebaliknya ada beberapa negara yang sampai saat ini tidak menanda-tangani NPT tersebut yaitu India, Pakistan dan Israel.
Korea Utara yang awalnya menandatangani pada 12 Desember 1985, kemudian keluar pada 11 April 2003 karena masaalah dengan AS.
Adapun isi pokok dari NPT ini ialah:
Non-proliferation, tidak ada pengembangan senjata nuklir, dan negara pemilik senjata nuklir dilarang mentransfer serta membantu, mendorong dan membujuk negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir untuk membuat/memiliki senjata nuklir;
Disarmament yaitu perlucutan senjata nuklir dan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir dilarang menerima transfer senjata nuklir serta tidak mencari dan atau menerima bantuan dalam pembuatan senjata nuklir;
Nuclear for peace yaitu Nuklir umtuk perdamaian yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
II. TREATY ON SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (SEANWFZ) sebagai Perjanjian Regional.
Perjanjian ini dikenal dengan Traktat Bangkok, karena ditandatangani di Bangkok oleh Negara-negara ASEAN yang terdiri dari Brunei Darussalam, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Perjanjian ini ditanda-tangani pada 15 September 1995, open for signature 15 Desember 1995 dan entered into force 1997.
Indonesia telah meratifikasi Perjanjian ini melalui Undang-undang No. 9 tahun 1997.
Perjanjian ini antara lain berisi 6 kewajiban dan salah satunya berbunyi, “Tidak mengembangkan, memproduksi ataupun membeli, mempunyai ataupun menguasai senjata nuklir, pangkalan senjata nuklir, ataupun melakukan uji coba atau menggunakan senjata nuklir dimanapun juga baik didalam maupun diluar kawasan Asia Tenggara.”
Dari kedua perjanjian tersebut diatas, dimana Indonesia menandatanganinya, maka sulit bagi Indonesia untuk membuat dan atau memiliki senjata nuklir.
Memang dalam pasal 10 perjanjian NPT berbunyi “membolehkan sebuah Negara untuk mundur dari perjanjian jika terjadi hal-hal penting yang berhubungan dengan subyek perjanjian ini, telah mengacaukan kepentingan utama Negara tersebut, memberikan pemberitahuan 3 bulan sebelumnya. Dan Negara tersebut harus memberikan alasannya keluar dari perjanjian ini.”
Jika Indonesia keluar secara resmi dari Perjanjian NPT, tidak otomatis bisa membuat senjata nuklir, karena kita masih terikat lagi pada perjanjian SEANWFZ sebagai perjanjian Regional yang meliputi kawasan Asia Tenggara.
Disisi lain ada hambatan/tantangan moral dan politik sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Kenyataan dalam kegiatan internasional, Indonesia konsisten bersuara anti senjata nuklir.
Indonesia selalu ditunjuk sebagai Koordinator Kelompok Kerja(Pokja) perlucutan senjata Gerakan Non-Blok. Selama ini, Indonesia telah mengkoordinasikan posisi bersama negara2 Gerakan Non-Blok dalam berbagai forum mekanisme perlucutan senjata PBB. Indonesia selalu meminta agar seluruh Negara berpihak pada Perjanjian Nuklir.
Termasuk negara-negara pemilik teknologi nuklir, agar terikat pada komitmen untuk tidak mengembangkan senjata nuklir, baik secara vertikal maupun horisontal.
Yang menarik juga Pernyataan Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi didepan Pertemuan Pleno Tingkat Tinggi Memperingati dan Mempromosikan Hari Internasional untuk PENGHANCURAN MENYELURUH DARI SENJATA NUKLIR di- New York, tanggal 2 Oktober 2020 yang antara lain mengatakan:
Terdapat 3 (tiga) pokok pandangan penting yang ingin saya garis bawahi: Pertama, NPT perlu dipertahankan dan ditegakkan. Kemajuan implementasi yang seimbang pada 3 pilar NPT sangat penting, termasuk kewajiban semua Negara pemilik senjata nuklir untuk memajukan pilar perlucutan senjata;
Kedua, Mekanisme dan arsitektur perlucutan senjata nuklir yang relevan harus diperkuat. Konferensi Perlucutan Senjata(Conference of Disarmament/CD) harus menjalankan mandatnya.
Pemberlakuan (entry into force) segera dan universalisasi. Traktak Larangan Uji Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty -CTBT), Traktat Larangan Senjata Nuklir(Treaty On The Prohibition Of Nuclear Weapons-TPNW), akses semua Negara pemilik senjata nuklir pada Perjanjian Kawasan Bebas Senjata Nuklir (KBSN, seperti SEANWFZ-Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone) harus diupayakan bersama dengan kesepakatan pengendalian senjata (arms control) diantara negara-negara pemilik senjata nuklir, tetapi melalui solidaritas global;
Ketiga, Perlucutan Senjata Nuklir harus memberikan manfaat nyata bagi kemakmuran global.
Dalam kenyataan negara-negara yang awalnya diakui memiliki senjata nuklir seperti AS, Rusia, Inggris, Perancis dan Tiongkok tidak melaksanakan Perjanjian NPT secara konsisten dimana mereka tidak melakukan Disarmament (perlucutan dan pemusnahan senjata nuklir).
Dari berbagai pemberitaan, negara-negara ini terus mengembangkan senjata nuklirnya baik kuantitas maupun kualitasnya, yang daya rusak dan jangkauannya ribuan kali dari tragedi Hiroshima dan Nagasaki.
Demikian pula negara-negara yang tidak menanda-tangani NPTseperti India, Pakistan dan Israel disinyalir memiliki senjata nuklir dan terus mengembangkannya.
Termasuk Korea Utara yang cabut diri dari keanggotaan NPT thn 2003, secara terang-teranganan dan terbuka telah melakukan uji coba senjata nuklirnya beberapa kali.
Israel walaupun tidak terbuka, disinyalir memiliki senjata nuklir yang jumlah dan kualitasnya menyaingi negara-negara besar sebagai persiapan diri dari ancaman negara-negara sekitarnya.
India dan Pakistan sebagai musuh bebuyutan, juga berlomba membuat senjata nuklir karena satu sama lain saling mengancam.
Juga Iran walaupun pernah membantah tidak memiliki senjata nuklir, namun diduga juga memiliki senjata nuklir karena berbagai tantangan dari sementara negara2 disekitarnya terutama Israel.
Memang kekuatan suatu Negara, tidak hanya diukur dari tingkat kemampuan dan kemajuan ekonominya dengan ukuran tingkat kemakmuran yang tinggi dinilai dari income per kapita, cadangan devisa, GDP, dll, tetapi juga dari kekuatan militernya baik pasukan (jumlah dan kualitas serta pengalaman tempurnya) serta persenjataannya.
Fakta membuktikan, Korea Utara yang memiliki senjata nuklir, walaupun rakyatnya melarat, ditakuti oleh Jepang dan Korea Selatan yang tingkat kemakmurannya jauh diatas Korea Utara.
Indonesia pernah Berjaya saat pemerintahan Presiden Soekarno dimana Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI-kemudian berganti nama ABRI dan saat sekarang TNI) saat itu dinilai sebagai kekuatan yang terkuat di-Asia Tenggara dan negara-negara tersebut segan, akui dan respek (dan mungkin ada yang takut) dengan keberadaan APRI, walaupun ekonomi Indonesia tidak melebihi negara2 tetangga tsb.
Contoh lain adalah Irak dibawah kekuasaan Sadam Husein. Kekuatan militernya juga disegani oleh negara-negara tetangga.
Melihat ketidak-adilan pemilikan dan pengembangan senjata nuklir saat ini khususnya negara2 yang menjadi anggota NPT, maka pernyataan Luhut Pandjaitan agar Indonesia memiliki senjata nuklir sebenarnya sangat dipahami dalam konteks kepentingan Indonesia sendiri untuk jaga diri juga demi harga diri, dengan prinsip jika Negara lain bisa, kenapa Indonesia tidak bisa.
Namun, jika Indonesia akan membuat senjata nuklir, maka syarat formalnya Indonesia harus keluar dari minimal 2 perjanjian tsb yaitu NPT dan SEANWFZ.
Namun untuk Indonesia keluar dari kedua perjanjian tersebut, harus diperhitungkan secara sangat matang segala dampak negatif dan berbahaya bagi Indonesia.
Terutama bagaimana sikap negara-negara ASEAN atas sikap Indonesia untuk memiliki senjata nuklir.
Pasti mereka tidak diam, apalagi jika ada negara-negara lain menghasut mereka untuk menentang sikap Indonesia tersebut.
Jelas ada keprihatinan dan mungkin akan bersikap mencela sekaligus memusuhi Indonesia, yang akibatnya segala prestasi Indonesia atas kemajuan ASEAN akan sirna sama sekali.
Kemungkinan besar Indonesia akan terkucil dan dikucilkan dalam pergaulan ASEAN.
Demikian pula dunia Internasional akan sangat prihatin dengan sikap Indonesia tersebut, karena bertentangan dengan sikap politik dan moral Indonesia selama ini yang aktif menggalang dunia internasional untuk mempertahankan dan melaksanakan NPT dan perjanjian internasional lainnya untuk menciptakan dunia bebas dari senjata nuklir.
Sikap mereka ini nanti bukan hanya mencela, tapi bisa merembet pada upaya sabotase dalam berbagai bentuk.
Disisi lain dunia internasional apalagi negara-negara yang tidak senang/simpatik dengan Kepemimpinan Presiden Jokowi akan berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan anti Jokowi didalam negeri untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Bertolak dari hal-hal tersebut diatas, maka jika Indonesia hendak membuat/memiliki senjata nuklir, harus dikaji secara luas dan mendalam melalui proses komunikasi dan konsultasi dengan berbagai pihak, dalam dan luar negeri, serta memperhitungkan secara matang segala dampaknya.
Mungkin ide dari Luhut Pandjaitan bisa dimulai dengan mempersiapkan SDM dan komponen terkait lainnya sebanyak mungkin untuk menguasai pembuatan senjata nuklir.
Sehingga jika pada saatnya nanti situasi telah memungkinkan atau karena situasi yang dihadapi Indonesia tidak ada pilihan lain/ to be or not to be, maka Indonesia telah siap untuk membuat senjata nuklir dan tidak berharap/tergantung pada Negara lain.
Jakarta, 30 Juni 2021.
* Tulisan ini pernah dimuat di Beritamanado.com dengan judul Indonesia dan Senjata Nuklir’ dimuat ulang Bergelora.com atas ijin penulis.
** Penulis, Markus Wauran
Wakil Ketua Dewan Pendiri HIMNI, tokoh masyarakat Kawanua, tinggal di Jakarta