Oleh: M. Ridha Saleh*
Inovasi teknologi, kemajuan peradaban dan populasi manusia, serta revolusi industri telah membawa manusia pada era eksploitasi sumber daya alam sehingga persediaannya terus berkurang secara signifikan, terutama pada satu abad belakangan ini.
Â
Sumber daya alam mutlak diperlukan untuk menunjang kebutuhan manusia, namun keberadaannya tidak tersebar merata dan beberapa negara seperti Indonesia, Brasil, Kongo, Maroko, dan berbagai negara di Timur Tengah memiliki kekayaan alam hayati atau non hayati yang sangat berlimpah. Sebagai contoh, negara di kawasan Timur Tengah memiliki persediaan gas alam sebesar sepertiga dari yang ada di dunia dan Maroko sendiri memiliki persediaan senyawa fosfat sebesar setengah dari yang ada di bumi. Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam ini seringkali tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara tersebut.
Itulah salah satu sebab dari sebab-sebab lain, dimana negara-negara barat masih membutuhkan dunia ketiga dalam berbagai ekspoitasi bahan industri dan tenaga kerja murah. Pola yang digunakan sekarang bukanlah pola penjajahan fisik seperti yang sudah-sudah. Dalih yang digunakan sekarang adalah dalih upaya membantu negara-negara dunia ketiga untuk mengimplementasikan demokrasi, atau dengan istilah la democratische nation.
Implementasi demokrasi dipaksakan untuk membangun sistim liberalisasi sumberdaya alam, dengan demikian negara-negara berkembang membuat deregulasi dengan melaksanakan praktik pembukaan Penanaman Modal Asing, yang ini pun atas desakan ekonomi dari luar negeri. Banyak dari negara dunia ketiga tak mampu untuk menolak desakan tersebut mengingat pembangunan membutuhkan modal yang besar melalui investasi asing dan hutang luar negeri untuk melaksanakan pembangunannya.
Eksploitasi sumberdaya alam secara masif disajikan secara panjang dalam wacana arus utama pembangunan sebagi faktor ‘positif’ untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, bahkan menjadi kekuatan pendorong tidak hanya memberikan kekayaan materi bagi negara tetapi juga mendorong konsensus politik yang lebih besar untuk membangun pertumbuhan.
Ecocide harus dilihat dalam Frase ‘Ekologi politik’ yaitu menggabungkan antara keprihatinan ekologi dan analisis ekonomi politik secara luas, secara bersamaan meliputi dialektika perkembanganya yang terus berubah melalui dan antara dominasi manusia terhadap sumberdaya alam, serta relasi, pertentangan dalam kelas dan kelompok masyarakat itu sendiri.
Dengan kata lain, bahwa kejahatan ecocide harus juga dilihat melalui perspektif yang bertautan dengan struktur kekuasaan dan sistem ekonomi serta relasi modal bekerja didalamnya.
Konsisten dengan pendekatan ekologi politik, bahwa kerusakan dan kejahatan ecocide belum tentu atau tidak saja disebabkan oleh niat aktor tertentu, akan tetapi dapat disebabkan oleh efek dari struktur kekuasaan dan sistem ekonomi politik yang mendasari industri ekstraktif termasuk didalamnya industri agrobisnis.
Selama lebih dari 40 tahun, formulasi yang berbeda dari kejahatan lingkungan hidup internasional, yang disebut ecocide, telah dibahas untuk menghentikan perusakan ini melalui tanggung jawab pidana dari pengambil keputusan.
Kejahatan ecocide harus dipahami sebagaimana fungsi dan struktur modal bekerja, dengan menggunakan kekuasaan negara secara kejam untuk menumpuk dan merusak siklus alam serta mengubahnya menjadi sebuah proses deplesi terhadap sumberdaya alam yang terakibat secara linear, melebihi kendala dan batas-batas alam dan menyebabkan Yang Karl Marx gambarkan sebagai celah keretakan metabolisme antara manusia dan alam
Metabolisme manusia dan alam seharusnya terjadi secara wajar, dimana kemampuan alam mengasupi kehidupan manusia secara alamiah mempunyai batas natural, konsep celah metabolisme antara manusia dan alam, memandang alam sebagai komoditas modal yang dapat diakumulasi secara berlebihan.
Keretakan celah metabolisme antara manusia dan alam, digambarkan misalnya, tanah yang membutuhkan nutrisi seperti fosfor, nitrogen dan kalium untuk memfasilitasi pertumbuhan tanaman, tetapi karena prioritas akumulasi modal, terjadi over ekploitasi terhadap tanah yang menyebabkan krisis terhadap pertanian Krisis ini dicontohkan kecenderungan kapitalisme melanggar batas alam dan ritme alami dan terjadi pelanggaran yang mendasar terhadap kondisi alam yang disebabkan ekploitasi alam.
Konsep keretakan celah metabolisme menjadi relevan di sini, karena kapitalisme dalam rangka menciptakan maksimalisasi keuntungan akan menggunakan teknik kimia sebesar-besarnya untuk mendorong tingkat kesuburan yang diharapkan. Atas nama keuntungan, tanah harus dieksploitasi melalui bahan-bahan kimia yang berimplikasi pada penurunan kualitas tanah itu sendiri.
Intervensi Berlebih
Dalam hal ini, keretakan metabolisme dapat dipahami secara literal sebagai intervensi berlebih manusia pada alam sehingga mengakibatkan hubungan antara alam dengan manusia mengalami keretakan yang mengganggu proses relasi metabolistik antara keduanya. Pada tahun 1852, Marx menulis, ‘tanah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan, dan eksploitasi tanah dilakukan berdasar pada hukum komersial yang berlaku…’  (hal. 156)
Kontradiksi mendasar dalam sistem produksi kapitalis, terutama industri yang berbasis sumber daya alam, ketika ada perusahaan tambang yang memasuki wilayah atau ruang tertentu, maka yang pertama sekali dihancurkan adalah sistem produksi non-kapitalis, seperti petani, masyarakat adat, dan sistem produksi subsisten lainnya, lingkungan hidup hanya ditempatkan sebagai salah satu sumber daya dan sekaligus ruang untuk membuang limbah (lihat Arianto Sangaji). Jangan heran, proses akumulasi kapital akan berjalan pararel dengan proses degradasi serius terhadap lingkungan hidup dan sumberdaya alam
Kerusakan lingkungan hidup dan bahkan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh Korporasi multinasional dan negara berakibat fatal bagi masyarakat lokal dan ekosistim, kejahatan semacam ini mengalami peningkatan. Menurut laporan yang tidak dipublikasikan oleh PBB, 3.000 perusahaan terbesar dunia telah menyebabkan kerugian sebesar US $ 2,2 triliun dari kerusakan lingkungan.
Demikian pula yang terjadi pada industri ekstraktif dimana sekitar 29% lahan bumi telah mengalami penyimpangan alamiah, 6% lainnya dikategorikan mengalami penggurunan yang parah. Hutan tropis yang mencakup 6% luas permukaan, kini 7,6 sampai 10 juta hektar pertahunnya menjadi musnah.
Banyak orang telah lama memahami, sekurang-kurangnya secara intuitif, bahwa kemerosotan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang terus berlangsung pada akhirnya akan membawa kerugian ekonomi, memproduksi konflik, memproduksi kesenjangan sosial dan kemiskinan, mendorong perang internal dan antar negara, yang akhirnya mengancam perdamaian hidup manusia.
Â
* Penulis adalah Direktur Rumah Mediasi Indonesia, Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM)
Â