JAKARTA – Fenomena perundungan atau bullying di kalangan anak dan remaja kembali menjadi sorotan publik. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa, justru masih diwarnai kekerasan fisik dan psikis yang merugikan perkembangan anak.
Kasus perundungan di lingkungan pendidikan meningkat tajam lebih dari 100 persen dalam setahun terakhir. Hal tersebut berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Tercatat, sepanjang 2024 terdapat 573 kasus perundungan, naik signifikan dibandingkan 2023 yang mencatat 285 kasus. Peningkatan ini menunjukkan masih banyak sekolah dan lingkungan sosial yang belum sepenuhnya memahami pentingnya empati, keamanan, dan kesehatan mental bagi anak-anak dan remaja.
Psikolog klinis dan konselor anak, Winny Suryania, mengungkapkan rasa prihatin atas maraknya kembali kasus perundungan di Indonesia.
“Tentunya ada perasaan duka cita, keprihatinan, sedih, dan khawatir terhadap fenomena bullying yang belakangan ini semakin meningkat. Perundungan bukan hanya merugikan korban secara fisik, tetapi dampak psikologisnya juga sangat besar,” ujar Winny dari siaran pers Cikal yang dikutip Bergelora.com di Jakarta, Minggu (16/11/2025).
Ia menambahkan bahwa peningkatan kasus ini menjadi bukti masih banyak lingkungan yang kurang menunjukkan empati, meski informasi tentang bahaya bullying telah banyak disosialisasikan. Menurut Winny, kurangnya kesadaran kolektif dan budaya toleransi di lingkungan pendidikan menjadi faktor penting yang membuat perilaku perundungan masih terus berulang.
Sebagai konselor, Winny menegaskan bahwa sekolah memegang peran utama sebagai garda depan dalam upaya pencegahan dan penanganan bullying.
Ia menilai, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun budaya sekolah yang aman, inklusif, dan menghargai perbedaan
“Sekolah dalam hal ini dapat berperan menjadi garda depan dengan membangun budaya aman dan inklusif, melakukan edukasi berkala tentang bullying kepada seluruh komunitas sekolah, mulai dari guru, murid, orang tua, hingga staf pendukung,” tegasnya.
Selain itu, Winny juga mendorong sekolah untuk memberdayakan murid melalui program peer support, agar siswa dapat saling menjaga dan membantu teman sebayanya.
“Edukasi tidak harus selalu melalui pembelajaran formal, tapi bisa lewat kegiatan murid yang dilakukan secara rutin. Misalnya, dengan membentuk kelompok peer support agar mereka bisa menjadi penjaga satu sama lain,” tambahnya.
Perlunya Edukasi di Lingkungan Sekolah
Winny menekankan pentingnya edukasi menyeluruh bagi seluruh lapisan komunitas sekolah. Menurutnya, upaya pencegahan hanya bisa berjalan efektif bila semua pihak memiliki pemahaman dan visi yang sama terhadap bahaya perundungan.
“Penting agar komunitas sekolah memiliki satu visi dan misi yang sama dalam memahami perilaku bullying serta langkah pencegahannya. Edukasi sejak awal dapat menjadi langkah preventif yang kuat,” ujarnya.
Selain edukasi, Winny mendorong setiap sekolah untuk memiliki satuan tugas (Satgas) anti-perundungan dan layanan konseling aktif yang bisa diakses seluruh warga sekolah.
Kedua hal ini dinilai sangat penting untuk memastikan pengawasan serta penanganan yang cepat dan tepat bila terjadi kasus perundungan.
“Sekolah perlu menerapkan kebijakan tegas, membentuk satgas sebagai pengawas aktif sekaligus teladan perilaku positif di sekolah. Sekolah juga harus menyediakan akses konseling atau rujukan ke ahli untuk pemulihan korban dan pendampingan komunitas,” jelasnya.
Peningkatan kasus perundungan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap anak dan remaja tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak. Butuh komitmen kolektif dari sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk membangun lingkungan yang lebih aman dan empatik bagi generasi muda.
“Bullying bukan hanya soal perilaku individu, tetapi cerminan dari budaya sosial yang masih perlu diperbaiki. Kita semua perlu menjadi bagian dari solusi,” tutupnya. (Enrico N. Abdielli)

