Rabu, 11 September 2024

Kawan Jati Yang Baik, Selamat Jalan!

Oleh: Joaquim Rohi*

Kawan Jati Yang Baik,

SAAT itu, hujan belum turun di Surabaya, entah itu akhir Oktober 1996, atau bulan-bulan sesudahnya, saat Sonny Saragih menitipkan selembar surat pertamamu untukku, tulisan tangan dengan pembuka, “Kawan Inyo yang baik”. Surat itu masih kusimpan, kau bertanya kabarku, lalu kau menceritakan keadaan teman-teman.

10 Oktober 1996, setelah dalam masa pelarian sejak 27 Juli 1996 di Jakarta, (aku menggunakan kereta dari Surabaya, selepas ujian, Jumat 26 Juli, kereta terhenti cukup lama sebelum masuk ke Jatinegara), aku pulang. 10 Oktober, di hari ulang tahunku, Ibuku memintaku untuk pulang. Aku penuhi permintaan itu, dengan cara transit di beberapa tempat, menunggu kabar tentang situasi rumah. Lalu, aku pulang. Ibuku menangis, mendekap. Aku menikmati tidur siang di rumah saat itu seperti bayi dalam pelukan ibunda, hingga orang-orang berteriak mengabarkan kedatangan sejumlah tentara. Aku melompat lari, hanya dengan celana pendek, kaos singlet, dan tas pinggang hijau, tempatku menyimpan semua barang pentingku.

Aku berpindah-pindah tempat, hingga tiba di kamar kost Daniel Rohi yang saat itu adalah Ketua GMKI Cabang Surabaya. Dia mewakafkan dirinya terlibat dalam urusanku yang sangat tidak aman, demikian pula Sonny Saragih yang menjadi perantara antara aku dan kau, Jat. Daniel, Sonny, dan kawan-kawan GMKI Surabaya lainnya mengambil jalan penuh resiko dengan menampungku di situ.

Surat keduamu sudah berupa instruksi, membuat dan menggandakan selebaran. Aku jalankan. Tapi hingga saat itu, kita belum bertemu, hanya surat darimu, salam dari Lilik via kamu, semuanya dihantarkan oleh Sonny. Begitu pula sebaliknya. Saat di Tegalsari itu, Ibuku beberapa kali mengirim masakan dalam jumlah sangat besar, diantarkan dengan becak dari rumah, biasanya menu non halal. Saat mengirimkan makanan, Ibuku biasa bertanya tentang Lilik, “Sopo iku koncomu wedok sing teko Solo? Kongkonen nang omah, nek aku duwe duwit tak sangoni, opo tak masakno. Sakno, areke kuru soale.” Ibuku juga bertanya tentang kamu dan sejumlah kawan dengan rasa prihatin, seperti ingin menolong tapi tak bisa.

Cerita tentang kamu, tentang kawan-kawan kita, akan kuteruskan. Entah pada siapa, entah dengan cara apa, terus akan kuceritakan. Beristirahatlah dengan damai. Sampaikan salamku pada kawan-kawan lainnya di sana. Sampai jumpa kawan Jati yang baik. Kini, tak ada lagi yang berujar kepadaku, “nakale dikurangi,” kalimat yang mungkin akan kurindukan.

*Penulis Joaquim Rohi, kawan seperjuangan, mantan pimpinan Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) Surabaya

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru