Dalam pertarungan politik dua kubu menjelang pemilu 2019, saling tuding kebohongan terus mendeskreditkan lawan dilakukan untuk merebut hati rakyat pemilih. Rakyat semakin cerdas untuk membedakan antara kebohongan dan kebenaran. Apalagi dalam kasus kebohongan Ratna Sarumpaet, yang membuka mata rakyat, kubu mana yang paling konsisten,—menebar kebohongan. Hegel Terome filsuf dan aktivis sosial mencoba menyoroti tema aktual di atas kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Hegel Terome
TULISAN ini akan membahas pokok masalah “Kebohongan dan Kebenaran”. Masalah ini sangat menarik karena sorotan etis dan moralnya demikian kuat untuk membongkar selubung kebohongan dan dihadapkan kepada makna kebenaran itu sendiri. Oleh karena, dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan dimensi politik atau pun kekuasaan misalnya, praktik kebohongan sedemikian lazim dilakukan sehingga sengaja atau pun tidak, hal itu kemudian menjadi suatu kebenaran publik. Kebohongan politik atau pun ‘politik kebohongan’ berlaku wajar dalam banyak praktik politik atau politik praktis. Dalam konteks demikian, penting kita menganalisis kebohongan dan mengungkapkan kebenaran.
Merumuskan Kebenaran
Menurut Sissela Bok, “kebenaran” merupakan fenomena sehari-hari yang terkait dengan pilihan-pilihan etis atau pun moral praktis. Dalam pandangannya, kebenaran bisa menjadi masalah dilema moral peri kehidupan sehari-hari. Dalam dunia filosofis, istilah kebenaran menjadi kosa kata yang khas, suatu apparatus teoritik dan merupakan tinjauan akademis. Tentu perhatian kita terutama tertuju kepada pertanyaan yang mendasar yakni, apakah kebenaran itu? Meskipun dalam pilihan hidup sehari-hari yang demikian kompleks, namun perhatian kita terhadap etika menyangkut maknanya, agaknya jauh dari pilihan-pilihan moral praktis.
Bok merumuskan kebenaran dengan pertanyaan penting: “Apakah kebenaran menyeluruh bisa diperoleh?” (Sissela Bok, Lying: Moral Choice in Public and Private Life,[Great Britain: The Harvesters Press], 1978, hlm. 3). Bagaimana memperoleh kebenaran menyeluruh tersebut, menurut sebagian orang, tidaklah mungkin, karena kebenaran terkait dengan kehidupan itu sendiri. Padahal kehidupan adalah sedemikian kompleks. Dengan demikian, hampir mustahil menggapai kebenaran yang menyeluruh itu. Sangatlah sulit bagi kita memperolehnya dan juga mengkomunikasikannya. Kebenaran itu berada di luar jangkauan kita (Bok, hlm. 4) Dalam tradisi filsafat pra-Yunani, kebenaran dikenal dengan istilah aletheia, yang artinya: suatu yang tersingkapkan, atau suatu yang menyatakan diri. Harus kita bedakan antara kebenaran dan ketidakbenaran, dalam pengertian yang umum, dengan kebenaran dan kebohongan dalam domain etis. Kedua domain tersebut bisa saling tumpang tindih (Bok, hlm. 5-6). Oleh karena itu, jelas Bok, kebenaran moral atau pun etis dan kebenaran epistemologis saling memelihara dan tidak saling mengklaim prioritasnya (Bok, hlm. 13).
Kebohongan dan Kebenaran
Kembali Bok menegaskan adalah naif mengekplorasi secara menyeluruh soal bohong dan pengungkapan kebenaran. Hidup adalah demikian kompleks, dan masyarakat begitu beraneka ragam. Bagaimana mungkin kita membandingkan bohong sehari-hari dengan bohong mengenai pertahanan nasional, misalnya? Bohong seorang dokter kepada pasiennya? Bohong guru kepada muridnya? Bohong suami kepada istrinya, dan sebaliknya? Bohong orangtua kepada anaknya? Dan seterusnya?
Bagaimanakah kita merumuskan kebohongan dan kemudian dikaitkan dengan kebenaran? Charles Fried (dalam “Right and Wrong”, [Cambridge, Mass.: Harvard University Press], 1978), hlm. 54) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
“A good man does not lie. It is this intuition which brings lying so naturally within the domain of things categorically wrong. Yet many lies do little if any harm, and some lies do real good. How are we to account for this stringent judgment on lying, particularly in face of the possible trivial, if not positively beneficial, consequences of lying?”)
(Orang yang baik tidak berbohong. Intuisi itulah yang membawa bohong sedemikian alamiah sifatnya, dalam domain yang secara kategoris salah. Beberapa kebohongan dilakukan dengan sedikit kesalahannya, sebagian lagi benar-benar dilakukan dengan baik. Bagaimanakah kita mempertanggungjawabkan penilaian kita secara ketat mengenai kebohongan, khususnya di hadapan yang mungkin tampak sepele, jika tak secara positif menguntungkan, konsekuensi dari berbohong?)
Dengan penjelasan itu, bisa kita katakan bahwa kebohongan sering dilakukan secara sengaja dengan sebaik-baiknya, sehingga kelihatan alamiah. Kebohongan juga dipahamkan sebagai intusi yang ditautkan dengan karakter pribadi orang (misalnya karakter baik dan buruk). Akan tetapi, penilaian yang ketat mengenai kebohongan memang akan sulit bagi kita, terutama dalam pilihan-pilihan moral praktis dan konkrit sehari-hari, yang bersifat dilematis.
Kemudian Bok mendefinisikan suatu bentuk kebohongan yang intensional, yang harus kita bedakan dengan kebohongan yang spontan. Bagaimanakah kita bisa merumuskan tipudaya yang intensional dan persoalan bohong itu sendiri? Kita melakukan kebohongan yang intensional (tipudaya), jika dengan sengaja melalui pesan-pesan, kita menyesatkan orang lain, membuat orang lain yakin atau percaya kepada kita, padahal kita sendiri secara sadar tidak yakin atau percaya akan hal itu. Kategori tipudaya ini jauh lebih besar daripada kategori bohong yang spontan (Bok, hlm. 14).
Kebohongan Mulia
Bok lebih jauh membahas masalah kebohongan mulia. Kebohongan mulia dianggap sejajar posisinya dengan “bohong putih”. Kebohongan putih kerap dilakukan orang per orang dalam kehidupannya sehari-hari, sedangkan kebohongan mulia kerap dilakukan para pemilik kekuasaan, politisi, pemerintah dan seterusnya. Namun demikian, kita perlu mengelaborasi lebih jauh karakter kebohongan itu sendiri.
Bagaimanakah karakter dasar bohong atau kebohongan? Michael P. Lynch (dalam “True to Life: Why Truth Matters”, A Bradford Book, [The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England], 2004, Chapt. 9, hlm. 147) menjelaskan bahwa “Lying, like breathing, comes naturally to human beings. We lie to hide our in-securities, to make others feel better, to make ourselves feel better, to distract attention from us, to make people like us, to protect the children, to extract ourselves from danger, to conceal our misdeeds, and for the sheer fun of it all. Lying is a true universal, practiced with skill the world over.”
(Bohong, seperti halnya bernafas, hadir secara alamiah pada diri manusia. Kita berbohong untuk menutupi ketidak-amanan kita, membuat orang lain merasa lebih nyaman, membuat diri kita sendiri merasa lebih baik, mengalihkan perhatian, menjadikan orang lain seperti kita, melindungi anak-anak, mengekstraksi diri dari bahaya, merahasiakan kelakuan buruk kita, dan semua semata-mata untuk kesenangan. Berbohong benar-benar universal sifatnya, dilakukan secara terampil di seluruh dunia.)
Lebih lanjut, Lynch mengatakan: “Lying, I’ve argued, is bad not only because of its consequences but because it shows a fundamental lack of respect for the victims of the lie. The under-lying assumption here—one that we get from Kant—is that respecting persons is a basic and fundamental good. Furthermore, it seems plausible that respecting other persons and respecting yourself are two sides of the same coin.” (ibidem, hal. 157)
(Berbohong, seperti aku katakan, adalah buruk bukan hanya karena konsekuensi-konsekuensinya, namun karena hal tersebut memperlihatkan kelemahan yang fundamental perhormatan kita pada para korban kebohongan. Dengan asumsi–seperti yang dikutip orang dari Kant–bahwa menghormati orang adalah kebaikan yang prinsipil dan mendasar. Lebih jauh, tampak masuk akal bahwa menghormati orang lain dan menghormati dirimu sendiri adalah dua sisi dari satu mata uang.)
Dalam persoalan “berbohong demi kebaikan umum”, Bok memilah penjelasannya menjadi 3 bagian pokok: a) kebohongan mulia; b) tipudaya politik dan c) tipudaya dan persetujuan/kesepakatan.
Dalam tilikan Bok (ibidem, hlm. 166), terdapat tiga lingkungan atau kondisi bagi pembohong untuk memberikan alasan yang kuat atau logis di akal, terkait dengan perilakunya, yakni: a) adanya krisis di mana bahaya yang luar biasa mengancam sehingga hanya bisa dihindari dengan muslihat; b) hal menyakitkan yang sedemikian komplit atau hal sepele yang sedemikian rupa absurdnya untuk berdalih sehingga kebohongan terucapkan; dan c) kewajiban bagi orang-orang tertentu untuk melindungi rahasia diri mereka.
Bohong pada kondisi yang pertama (krisis) bisa meluas ke dalam praktik-praktik yang lebih luas, di mana bahaya yang hendak dihindari tidak jelas sifatnya, dan krisisnya sendiri tidak bersifat langsung. Demikian pula bohong putih dapat mewarnai praktik-praktik yang lebih luas dan tidak begitu berbahaya dengan nilai kumulatif yang besar. Bohong untuk melindungi diri perseorangan dan menutupi rahasianya guna meningkatkan keragu-raguan, sehingga merugikan banyak orang.
Bila ketiga arus besar tersebut menyatupadu “demi kebaikan umum”, maka ketiganya menciptakan penubuhan atau institusionalisasi kebohongan yang paling berbahaya. Pembohong melakukan kebohongan sebagai hak dan yang tak terelakkan, karena altruisme yang memotivasinya. Dalam kenyataannya, sering tumpang-tindih ketiga arus besar itu, namun yang membedakannya adalah manfaat yang diperoleh, dan bahaya jangka panjang yang bisa dihindari. Ada masyarakat yang menerima kebohongan untuk kebaikan mereka. Dan, beberapa orang berbohong untuk kebaikan kelompoknya sendiri.
Dalam tradisi filsafat politik, melakukan kebohongan untuk kebaikan umum pernah terjadi. Plato misalnya, dia membolehkan berbohong untuk mengajak masyarakat menerima pembagian klas di masyarakat agar harmoni sosial dapat dipertahankan (dengan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang berlainan di dalam hirarkhi yang ada). Plato menggarisbawahi ekspresi kebohongan yang dilakukan para penguasa dengan istilah “gennaion” yang artinya “noble”, dalam arti “high-minded” dan “well-bred”. Mengutip Disraeli, Bok mengatakan bahwa orang baik atau mulia adalah mereka yang tahu kapan untuk mengatakan kebenaran dan kapan tidak. Dengan kata lain, bohong diizinkan atau diperbolehkan untuk tujuan-tujuan yang lebih mulia, oleh mereka yang sudah terlatih untuk mencapai sasaran-sasaran itu.
Para penguasa (duniawi dan rohani) menganggap bahwa bohong mereka adalah demi tujuan-tujuan sosial. Mereka mempergunakan propaganda-propaganda, mitos-mitos, bermain-main di atas ketidaktahuan orang lain, menyebarkan keyakinan dan merasa “super” dari orang-orang yang mereka bohongi. Mereka merasa memiliki hak absolut monopolis untuk berbohong. Di sisi lain, orang-orang yang mereka kuasai sering berada di posisi merasa tidak nyaman, miskin, dan atau membutuhkan rasionalitas. Misalnya, mengapa negeri mereka harus berperang, terserang epidemik, atau mengencangkan ikat pinggang karena bencana kelaparan dan sebagainya? Oleh sebab itu, pemerintah atau penguasa kerap melakukan kebohongan publik untuk menangani persoalan-persoalan tersebut. Tiap pemerintahan di dunia ini melakukan kebohongan publik untuk mengelola atau mengarahkan rakyatnya.
Adalah sungguh benar, bahwa tipudaya tidak mungkin seluruhnya absen dari semua kegiatan manusia di dalam hidupnya. Pemimpin, penguasa, atau pun pemerintah memiliki kehendak bebas untuk memanipulasi dan menyimpangsiurkan fakta-fakta yang ada, sehingga memperoleh akuntabilitas publik (?)
Tipudaya Politik
Hannah Arendt menjelaskan bahwa kebenaran dan politik adalah dua pengertian yang secara umum berlawanan maknanya. Kerap dianggap, bahwa kebenaran jarang menjadi keutamaan dari dunia politik (virtues). Kebohongan sebagai sarana senantiasa dibutuhkan dan dibenarkan tidak hanya oleh kalangan politisi, demagog, namun juga kalangan pengusaha. Seperti adagium Latin mengatakan: “Fiat iustitia, et pereat mundus” (biarkan keadilan ditegakkan sekalipun dunia akan runtuh), maka hal yang sama dapat kita padankan dengan ini: “Fiat veritas, et pereat mundus” (biarkan kebenaran ditegakkan sekalipun dunia akan runtuh) (dalam “Truth and Politics”, hlm. 295).
Tahun 1964, pemerintah Amerika Serikat melakukan serangan bom ke Vietnam dengan alasan hendak membantu Vietnam Selatan bebas dari pengaruh Vietnam Utara. Inti masalahnya adalah, bahwa Amerika hendak menghancurkan pengaruh komunisme di seluruh dunia. Rakyat Amerika digerakkan untuk terlibat dalam perang Vietnam yang menelan banyak korban jiwa. Pemerintah Amerika Serikat melakukan tipudaya politik. Apakah tujuan kebohongan yang mereka lakukan demi kebaikan umum? Rakyat Amerika? Masalahnya, mereka yang membuat keputusan politik tidak luput dari bias-bias kepentingan, pandangan yang keliru, kepentingan elit, egoisme dan lain sebagainya.
Tipudaya politik bukanlah soal yang sederhana, apabila dampaknya sangat luas bagi banyak orang. Pemerintah atau penguasa menganggap dirinya memiliki hak untuk berbohong, walaupun sebenarnya, mereka telah merampas kekuasaan publik, yang sebetulnya tidak diserahkan secara sukarela kepada mereka.
Tipudaya dan Persetujuan
Apakah publik tidak menyadari bahwa mereka diperdaya atau dibohongi? Atau, apakah publik membiarkan kebohongan itu terjadi? Apakah ‘bohong putih’ sedemikian sepele atau transparan, sehingga terabaikan oleh publik? Bohong putih merupakan hal umum di kalangan dunia politik dan diplomasi, pun pula dalam kehidupan privat banyak orang. Bentuk-bentuk kesopanan tertentu kerap menyesatkan banyak orang, seperti halnya pesta-pesta di kalangan diplomat, menyambut kandidat duta besar yang baru, rujuk Prabowo-Jokowi, dan sebagainya.
Persetujuan terhadap tipudaya diyakini tidak hanya berlangsung karena keluguan, tetapi juga karena dibenarkan oleh figur-figur publik yang menaruh perhatian pada kehidupan privat. Berbagai informasi mengenai kehidupan figur publik dipublikasikan, seperti pada acara perkawinan anak-anak mereka, pandangan-pandangan mereka terhadap orang lain, dan lain-lain.
Tipu muslihat juga bisa dilakukan terkait dengan informasi sesat (fake news, hoax) yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti informasi devaluasi mata uang, terorisme, kenaikan harga BBM, kenaikan pajak, bencana, pemotongan subsidi kesehatan dan pendidikan dan lain-lain. Namun bila semua kebohongan ini kelak terungkap ke publik, maka bencana ketidakpercayaan publik akan melanda. Tipu muslihat kadang dilakukan oleh pemerintah dengan maksud agar masyarakatnya tidak menjadi panik, marah, takut, cemas, ragu, dan seterusnya. Kerahasiaan dan tipu muslihat berkembang karena preseden buruk yang pernah ada atau berhasil sebelumnya dibiarkan terus berlangsung.
Konsekuensi dari perluasan kebohongan, alienasi dan kehilangan kepercayaan publik bisa kita lihat dari hancurnya sistem politik di Amerika Serikat (juga di Indonesia). Bohong kepada rakyat, antar orang dan atau dalam masyarakat, menjadi hal biasa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dibutuhkan uji kelayakan atau kepatutan publik. Pemerintah dan berbagai posisi atau jabatan publik lainnya harus memiliki standar moral (pribadi dan lembaga) atau kejujuran yang tinggi. Mereka tidak boleh berbohong demi meloloskan kebijakan-kebijakannya meskipun diatas-namakan kepentingan publik atau “kebaikan umum” (common good). Namun demikian, hanya praktik-praktik bohong yang nyata yang bisa kita perdebatkan.