Jumat, 29 Maret 2024

Kebuntuan International Oil Company Dalam Tata Kelola Migas Amburadul

Oleh: Dr. Kurtubi*

KINI Conoco Phillips akhirnya menyusul mengikuti IOC keluar dari Indonesia seperti langkah yamg dilakukan oleh Shell, Total, Chevron dan lainnya. Ini salah satu contoh bahwa cara Indonesia mengelola SDA migasnya sudah saatnya dan sudah sangat mendesak untuk harus segera dikoreksi dan diganti.

Faktanya, tata kelola nigas di tanah air sangatlah buruk pasca perubahan undang-undang, dari UU PERTAMINA No. 8/1971 dengan UU MIGAS No.22/2001. Indikator yang kasat mata adalah produksi minyak yang terus turun pasca berlaku efektifnya UU MIGAS No.22/2001.

Perusahaan-perusahaan minyak dunia yang keluar adalah perusahaan-perusahaan yang tergolong besar memutuskan meninggalkan Indonesia. Namun malah sebagian mereka tetap melanjutkankan bisnis mereka di Asia Pasific khususnya di Australia dan lainnya. Sudah pasti mereka pertimbangkan dengan rasional mengapa mereka meninggalkan Indonesia!

Padahal,– potensi resources oil & gas di Indonesia masih sangat besar. Belum termasuk potensi shale oil & gas yang belum tersentuh teknologi yang sudah proven telah sukses menaikkan produksi migas Amerika dengan sangat significant dalam dua dekade terakhir ini. Indonesia mestinya bisa meniru Amerika dengan memanfaatkan teknologi shale oil & gas.

Boro-boro! Lah wong investor perusahaan yang sudah lama beroperasi malah pada keluar.

Tawaran-tawaran blok baru oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM selama belasan tahun sepi peminat!

Untuk diketahui, meskipun dunia pada tahun 2100 akan totally meninggalkan fosil, setidaknya dalam masa transisi energi hingga tahun 2050 – 2060 oil & gas tetap dibutuhkan oleh ekonomi dunia dengan share yang masih significant dalam Energy Mix Dunia.

Artinya, sumber daya alam migas nasional harus tetap dikelola dan dikembangkan dengan tetap berusaha menarik investor-investor migas dunia.

Setelah produksi minyak saat ini yang hanya sekitar 650.000 bph, terendah dalam 50 tahun terakhir karena nyaris tidak adanya penemuan cadangan baru di Blok Baru sejak UU Migas No.22/2001. Proven reserves yang ada hanya dikuras dan dikuras setiap tahun tanpa dapat digantikan dengan penemuan cadangan baru yang memadai sejak UU Migas No.22/2001 karena rendahnya investasi explorasi.

UU Migas telah menyebabkan ujung tombak Industri Migas Nasional (explorasi) hancur.

Hal ini disebabkan oleh perijinan yang harus dilalui oleh investor sangat banyak, birokratik dan berbelit-belit serta harus diurus sendiri.

Sebelum UU Migas, perijinan yang dibutuhkan oleh investor diurus oleh PERTAMINA sebagai Penanda Tangan Kontrak PSC dengan Investor. Setelah UU Migas, Pemerintah yang bekontrak dengan investor,– tidaklah mungkin pemerintah membantu, menghandle dan mengurus perijinan-perijinan yang dibutuhkan oleh investor. Perijinan yang dibutuhkan itu dikeluarkan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah.

Perlu diketahui bahwa inovasi dan ide tentang Kontrak Bagi Hasil ( PSC) dalam pengelolaan SDA Migas yang ada diperut bumi yang menurut konstitusi harus dikuasai oleh negara, sangat membutuhkan teknologi dan biaya besar yang sangat beresiko dimana semua resiko dan biaya (cost) dibebankan kepada investor.

Dana negara (APBN) yang terbatas tidak boleh digunakan untuk kegiatan usaha yang beresiko tinggi dan secara alamiah bersifat probabilistic seperti gambling. Sehingga kontrak PSC menempatkan investor sebagai sumber pendanaan sekaligus pemegang dan penanggung resiko.

Untuk itu, investor migas harus dipermudah dengan cara semua perijinanan yang dibutuhkan diurus oleh PERTAMINA sebagai penandatangan kontrak PSC,–termasuk pengurusan di Pelabuhan untuk alat-alat, mesin, benda modal yang diimport yang akan dipakai untuk ekaplorasi dan eksploitasi.

Bahkan, berbeda dengan kegiatan usaha dibidang lain yang harus mulai dikenai pajak sejak kegiatan usahanya dimulai. Dengan UU PERTAMINA No.8/1971 di sektor hulu migas, tidak boleh dikenai pajak semasa eksplorasi dan belum berproduksi. Pasalnya pajak dibayar dari hasil produksi yang dibagi. Tidak mungkin dibebani pajak sebelum berproduksi.

Dalam Kontrak Bagi Hasil (PSC) menetapkan negara memperoleh bagian 65% dan investor 35% dari keuntungan bersih setelah Cost Recovery, yang di dalamnya sudah termasuk pajak dan pungutan.

Sehingga dengan UU No.8/1971, sistem fiskalnya berlaku secara spesifik dengan Prinsip Lex Spesialis, tidak boleh dipajaki semasa eksplorasi! Namun imbalannya sesuai Konstitusi bahwa cadangan migas yang ditemukan oleh investor status kepemilikannya menjadi milik negara,– termasuk semua alat-alat, benda-benda modal yang dibeli oleh investor. Apabila kontrak PSC nya selesai, semua aset menjadi milik negara c/q PERTAMINA.

Model pengelolaan migas berdasarkan UU No.8/1971 disamping merupakan sistem yang simpel dan sangat investor friendly, juga sesuai dengan Pasal 33 UUD45 yang memberikan kepastian hukum, kepastian berusaha, dan kepastian Perolehan keuntungan bersih, IRR yang rasional yang bisa diperoleh oleh Investor (65% negara, 35% Investor).

Fakta hasilnya sudah terbukti. Investor migas berlomba-lomba datang ke Indonesia, menanda tangani Kontrak PSC dengan PERTAMINA. Kegiatan Explorasi marak dimana-mana.

Penemuan cadangan baru bermunculan dimana-mana. Produksi meningkat tajam, terjadi surplus perdagangan migas setiap tahun. Cadangan-cadangan migas statusnya menjadi aset milik negara. c/q PERTAMINA.

Cadangan minyak yang ditemukan langsung diproduksikan oleh investor atau kontraktor PSC dan dibagi. Sedangkan untuk cadangan-cadangan gas besar, agar bisa dijual atau diekspor harus diubah menjadi LNG (Liquid Natural Gas).

PERTAMINA sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan berwenang untuk membangun LNG Plant. Kemudian PERTAMINA membangun LNG Plant di Arun dan Badak tanpa pakai dana APBN bahkan tanpa pakai Government Guarantee.

PERTAMINA sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan berdasarkan UU PERTAMINA No.8/1971 sangat kredibel dimata Lembaga Keuangan International. Sehingga dengan mudah memperoleh pendanaan yang besar untuk membangun LNG Plant di Arun dan Badak sekaligus mengoperasikan LNG Plantnya dan menjual LNG nya ke Jepang, Korea dan Taiwan dengan formula harga jual yang menguntungkan kedua belah pihak, Investor happy, APBN happy !!!.

Setelah UU PERTAMINA diganti dengan UU MIGAS, terjadi perubahan sistem tata kelola yang bersumber dari dipindahkannya Kuasa Pertambangan dari PERTAMINA ke Kementerian ESDM. Padahal semua orang di dunia tahu bahwa pemerintah itu tidak bisa langsung menambang, tidak bisa langsung membangun dan mengoperasikan kilang, tidak bisa jual beli migas. Pemerintah harus menunjuk pihak ketiga. Kondisi objektif seperti inilah yang sejak tahun 1998 saya sebut bahwa pemerintah tidak eligible untuk memegang Kuasa Pertambangan.

Dengan UU MIGAS, PERTAMINA yang merupakan Perusahaan Negara khusus yang dibentuk dengan UU dan diberi amanah dan tugas oleh UU sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan, kemudian diuubah statusnya menjadi PT Persero Pertamina yang didirikan dengan Akte Notaris,—statusnya sama dangan perusahaan yang lain, bukan lagi sebagai Perusahaan Negara khusus yang Memegang Kuasa Pertambangan!

Kini dengan UU Migas investor migas berhubungan dan berkontrak secara “B to G” dengan aparat pemerintah yaitu Kementerian ESDM c/q BP MIGAS. Tidak lagi berhubungan berkontrak secara bisnis “B to B” dengan PERTAMINA. Sehingga proses investasi menjadi panjang, birokratik, semua perijinan yang dibutuhkan diurus sendiri oleh investor. Bahkan berdasarkan Pasal 31 UU MIGAS Investor diwajibkan bayar pajak meski masih pada tahap pencarian cadangan atau eksplorasi dan belum berproduksi.

Beberapa tahun kemudian setelah ada keluhan, malah Menteri Keuangan yang menganulir berlakunya Pasal 31 UU Migas tersebut. Namun meski sudah dianulir, kegiatan eksplorasi, pemboran eksplorasi di blok baru terus turun, Kontrak PSC di nlok baru nyaris tidak ada.

Akibatnya penemuan cadangan baru di blok baru sangat langka. jumlah minyak yang ditemukan tidak sebanding dengan jumlah minyak yang dikuras dan diproduksi setiap tahun.

Kesimpulannya,– pertama, anjloknya produksi minyak karena UU MIGAS yang menciptakan sistem yang ribet tidak efisien, tidak investor friendly dan bahkan melanggar Konstitusi.

Kedua, sudah cukul bukti untuk menghapus sistem tata kelola migas yang salah dan sangat merugikan negara dibawah UU MIGAS No.22/2001 yang masih berlaku sekarang ini.

Ketiga, meski migas termasuk energi fosil yang menghasilkan karbon yang nantinya harus dikurangi dan dihapus, dalam masa Transisi Energi hingga 2050 – 2060 dan menghapus total energi fosil pada tahun 2100,–SDA Migas masih tetap harus dikelola sesuai Konstitusi, Karena migas masih akan tetap dibutuhkan. Kalaupun fungsinya sebagi bahan bakar kendaraan dan untuk pembangkit listrik akan menurun, tetapi fungsinya sebagai bahan baku Petrokimia tetap akan dibutuhkan oleh ekonomi dunia.

*Dr. Kurtubi adalah pakar energi, alumni Colorado School of Mines (CSM), Institut Francaise du Petrole (IFP) dan Anggota International Association for Energy Economics (IAEE)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru