Pilkada 2018 menjadi peta kekuatan Pemilihan Umum 2019. Mampukan Partai Demokrat menggalang poros ketiga? Atau mampukah Partai Gerindra jadi backbone gerakan ganti presiden? Muhammad Yamin, SH, Ketua Umum DPN Seknas Jokowi menuliskannya di Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Muhammad Yamin, SH
MUMPUNG cerita tentang hasil Pilkada 2018 masih hangat, kali ini mari kita bicarakan soal klaim “kemenangan administrasi” dari sejumlah partai politik.
Penting dicatat, saya katakan “kemenangan administrasi” karena hanya sekedar ikut mengusung kandidat atau pasangan calon (paslon) dalam pemilihan gubernur. Itu sama sekali berbeda dengan kemenangan politis, yang berarti partai memajukan kader andalannya berlaga di ajang Pilgub.
Dari sekian banyak partai yang ribut mengklaim menang dalam pemilihan gubernur (Pilgub), ternyata ada partai yang justru tidak menempatkan satu pun kadernya di kursi gubernur. Yaitu: Partai Gerindra dan Partai Demokrat. Semua kader kedua partai itu yang bertarung dalam Pilgub terbukti kalah, sebagaimana terlihat dari hasil quick count Pilkada.
Lihat saja nasib kader-kader Partai Gerindra yang bertarung di beberapa wilayah. Saifudin Aswari Rivai., misalnya, hanya berada di urutan buntut dari empat paslon di Sumatera Selatan. Begitu pula yang dialami Eston Foenay di Nusa Tenggara Timur, Agus Nu’mang di Sulawesi Selatan, dan Milton Crosby di Kalimantan Barat.
Yang masih berharap, tapi sudah jelas kalah dalam quick count, adalah Sudrajat di Jawa Barat. Sampai hari ini Sudrajat, yang berpasangan dengan Ahmad Syaikhu dari PKS, belum mau mengakui kekalahannya. Padahal dua paslon lain sudah mengakui secara legowo kemenangan Ridwan Kamil. Saking ngeyelnya, pimpinan partai ini malah mengancam akan mempidanakan lembaga-lembaga survei yang menggelar quick count.
Dalam soal ikut mengusung paslon pun Gerindra tercatat sebagai partai yang paling sedikit memenangkan kandidatnya: hanya 4 paslon. Itupun sekedar “nebeng” kader partai lain, seperti: Isran Noor (kader PKPI di Kaltim), Murad Ismail (kader PDI Perjuangan di Maluku), Wempi Watinpo (non partai di Papua), dan Edy Rahmayadi (non partai, Sumatra Utara).
Setali tiga uang dengan kader-kader Partai Demokrat, tak satupun yang berhasil tampil sebagai juara dalam Pilgub. Padahal dalam kompetisi pilgub tahun ini, partai ini memajukan 14 kader andalannya, dan sesumbar akan memenangkan 50 persen kursi gubernur/wakil gubernur. Sebagian dari kader yang dimajukan adalah gubernur atau wakil gubernur petahana. Tapi, di semua provinsi yang menggelar Pilgub, kader Partai Demokrat berguguran satu per satu.
Benny K. Harman, misalnya, kalah telak di Nusa Tenggara Timur. Hal yang sama dialami Ishak Mekki di Sumatra Selatan dan Ichsan Yasin Limpo di Sulawesi Selatan. Muhammad Ridho Ficardo di Lampung dan Lukas Enembe di Papua, yang notabene calon-calon petahana. Yang paling mengenaskan adalah Deddy Mizwar, wakil gubernur petahana, kalah telak di Jawa Barat. Padahal, Deddy Mizwar digadang-gadang akan menjadi andalan Partai Demokrat mengeruk suara pemilih dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun depan. Lebih dahsyat lagi yang menimpa nasib calon Partai Demokrat di Lampung. Petahana gubernur Ridho Ficardo tidak lagi dipilih rakyat karena terlibat kejahatan seksual. Pasangan Ridho-Bahctiar jauh tertinggal di nomor ketiga setelah calon PDI-Perjuangan Herman HN-Sutono. Kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung berhasil direbut Arinal Djunaidi dan Chusnunia (Nunik) yang diusung Golkar, PKB dan PAN. Untuk merebut kursi legislatif, menjadi lebih sulit dilakukan di Lampung.
Partai Demokrat hanya mampu menempatkan satu wakil gubernur di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu: Siti Rohmi Djalilah. Cuma itu saja.
Pencapaian Partai Gerindra dan Partai Demokrat dalam kompetisi Pilgub 2018 ini masih kalah dari partai yang direncanakan menjadi koalisinya dalam Pilpres tahun depan, seperti PKS (yang memenangkan kadernya 3 kursi gubernur dan 1 wakil gubernur) dan Partai Amanat Nasional (memenangkan 1 kursi gubernur).
Apalagi dibandingkan dengan koalisi partai pendukung Presiden Jokowi yang berhasil memenangkan kader-kadernya, seperti: PDI Perjuangan (4 gubernur dan 3 wakil gubernur), Partai Nasdem (3 gubernur dan 1 wakil gubernur), Golkar (1 gubernur dan 3 wakil gubernur), PPP (1 gubernur dan 2 wakil gubernur), PKB (1 gubernur dan 2 wakil gubernur), serta PKPI (1 gubernur).
Jadi, data-data itu saja sudah menggambarkan surutnya realitas kekuatan politik yang dialami Partai Gerindra dan Partai Demokrat. Jika selama ini para pimpinan kedua partai ini kerap sesumbar dan omong besar, sejatinya mereka itu bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya”. Alias berisik di tataran retorika, tapi sebenarnya rapuh di akar rumput. Sebenarnya kedua partai ini sedang galau berat.
Lantas, kalau memenangkan kadernya saja tak mampu di pilgub, apa Partai Demokrat mampu menggalang poros ketiga? Atau mampukah Partai Gerindra jadi backbone gerakan ganti presiden? Biarlah rakyat yang menjawab