Oleh: Damar Juniarto
“Indonesia! Indonesia!” Pekik kemenangan itu terdengar di tanah Eropa tatkala paduan suara anak Indonesia The Resonanz Children’s Choir (TRCC) menang di lomba seni tarik suara di Venezia, Italia, 9 Juli 2016.
Pekik kemenangan itu persis menggambarkan semangat yang ada di dalam lagu Yamko Rambe Yamko yang mereka nyanyikan. Sekalipun terdengar riang, tahukah kita bahwa lagu Yamko Rambe Yamko adalah sebuah ikhtiar peperangan?
Hee Yamko Rambe Yamko Aronawa Kombe
Hee Yamko Rambe Yamko Aronawa Kombe
Temino Kibe Kubano Ko Bombe Ko Yuma No Bungo Awe Ade
Temino Kibe Kubano Ko Bombe Ko Yuma No Bungo Awe Ade
Hongke Hongke, Hongke Riro, Hongke Jombe, Jombe Riro
Hongke Hongke, Hongke Riro , Hongke Jombe, Jombe Riro
(Hai jalan yang dicari, sayang perjanjian
Hai jalan yang dicari, sayang perjanjian
Sungguh pembunuhan di dalam negeri, sungguh pembunuhan di dalam negeri – sebagai bunga bangsa,
Bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bangsa – bunga bertaburan – di taman pahlawan
Bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bangsa – bunga bertumbuh – di taman pahlawan
Bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bertaburan
Bunga bangsa, bunga bangsa, bunga bertumbuh) ”
Lagu ini menceritakan tentang sebuah pertikaian yang terjadi di negerinya. Sang pelantun lagu ingin menjadi bunga bangsa yang maknanya adalah pejuang yang rela berkorban sampai mati untuk mempertahankan negerinya dari penjajah.
Saat pekik kemenangan “Indonesia! Indonesia!” itu sampai ke Indonesia, di saat yang sama baru saja keluar rilis dari LBH Jakarta mengenai penangkapan lebih dari 4.198 orang Papua dalam periode April-Juni 2016 oleh aparat kepolisian di Indonesia.
Maka seketika sukacita kita saat mengelu-elukan kemenangan dengan memakai lagu dari Papua itu menjadi tampak ironis dan tragis, dan menjadikan kita seperti menari-nari di atas nasib orang Papua.
Marjinalisasi dan Stigma
Nama Papua sesungguhnya baru saya kenal pada tanggal 1 Januari 2000, saat Presiden Gus Dur memutuskan untuk mengembalikan nama Papua yang telah sekian lama tersingkirkan selama pemerintahan Orde Baru.
Penguasa Orde Baru, Soeharto, lebih memilih nama Irian Jaya, nama yang ia resmikan di hari yang sama PT Freeport Indonesia berdiri dan beroperasi mengeruk keuntungan emas dan mineral berharga lain dari tanah suburnya pada bulan Maret 1973.
Nama Irian diduga berasal dari kata “Mariiyen” yang dalam bahasa Biak berarti bumi yang panas, sedang dalam Bahasa Onim (Patipi) dari “Tiri Abuan” artinya adalah daratan besar. Kata ‘Irian’ diduga juga berasal dari kata “Urryan” yang berasal dari Bahasa Aram dengan arti “sinar terang”.
Riset sejarah menunjukkan bahwa nama Irian ini sempat diajukan oleh Markus Kaisiepo dalam Surat Pembaca yang ditulisnya kepada Surat Kabar “Penyuluh” di Brisbane Columbia Camp, Australia, 8 September 1945.
Ia mengatakan “agar nama yang boleh dipakai sesuai dengan keadaan iklim daerah ini ialah: Irian yang artinya panas sebagai pengganti nama Papua.” Sekalipun, yang dia inginkan adalah Irian Barat, bukan Irian Jaya seperti yang ditetapkan Soeharto di kemudian hari.
Kata Papua memiliki konotasi yang kurang disenangi baik oleh bangsa yang tinggal di pulau tersebut, maupun oleh Orde Baru yang menyamakannya dengan kata separatis. Padahal kata Papua punya runutan sejarah yang cukup panjang.
Antropolog JR Mansoben dalam disertasi berjudul “Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya” menyebutkan, kalau nama pertama yang dipakai untuk menamakan penduduk dan Pulau Nieuw Guinea dalam laporan tertulis ialah nama Papua.
Ada beberapa pendapat mengenai soal dari mana kata atau nama Papua itu berasal, misalnya antara Pijnappel (1854) dan Earl (1853). Polemik mereka berakhir tanpa kesesuaian pendapat. Earl (1853) dan para ahli yang mempunyai pendirian yang sama berpendapat bahwa nama tersebut berasal dari bahasa Melayu yaitu dari asal kata “pua-pua” yang berarti keriting. Namun Pijnappel dan para ahli lain yang mendasarkan argumentasinya atas pendapat Miiller dan Kamus Marsden, berpendirian bahwa kata Papua tidak berasal dari bahasa Melayu karena asal kata “pua-pua” tidak terdapat di dalam Melayu.
Sollewijn Gelpke (1993) melakukan penelusuran dengan bersandar pada laporan-laporan Portugis dan Spanyol pada abad ke-15, serta tinjauan kritis terhadap etimologi kata Papua dalam kamus Crawfurd (1856:135,148,299) dan kamus Wilkinson (1932), Ia berpendapat bahwa istilah atau nama Papua berasal dari bahasa Biak, dari kata-kata “sup i babwa” yang berubah dalam dialek Biak di Raja Ampat menjadi “sup ipapwa” yang berarti tanah atau negeri di bawah, ialah tanah atau negeri yang terletak di tempat matahari terbenam. Itulah yang lambat laun berubah menjadi Papua, yang kemudian digunakan untuk menamakan Pulau Nieuw Guinea dan penduduknya.
Tapi, banyak orang mengartikan Papua sebatas “hitam, keriting, bodoh, jahiliah, jahat, perampok, pemeras, pemerkosa” tanpa dasar. Stigmatisasi ini bahkan kini menjadi melekat dan belakangan, terutama di sebagian kecil masyarakat di kota Yogya, kata Papua disamakan dengan si bau, hitam, keriting, tidak berpendidikan. Para penyerbu yang belum lama ini mengepung asrama Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, menambahkan kosa kata baru “munyuk” yang artinya kera bagi orang Papua di dalam asrama yang mereka percaya adalah tempat kaum separatis yang hendak memerdekakan Papua dari Indonesia.
Dalam Sosiologi, stigmatisasi itu bernama stereotyping yakni proses generalisasi mengenai kelompok atau kelas manusia. Karena Sosiologi menekankan aspek pola hubungan sosial, stereotype melahirkan penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotype ini biasanya lahir dari pikiran orang yang lebih kuat posisi atau kelas sosialnya kepada mereka yang lebih lemah. Misalnya pada bangsa Eropa sebagai penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya seperti bangsa Afrika. Tabiat ini yang membuat stereotyping menjadi cikal dari perlakuan diskriminatif.
Maka, ketika sekelompok masyarakat di Yogya memandang Papua sebagai “si bau, hitam, keriting, tidak berpendidikan”, dan “kera”, ia sebenarnya sedang menistakan identitas manusia yang ada pada diri orang Papua. Itu suatu hal yang pantas disebut sebagai tindakan memarjinalkan orang Papua.
Berhak Semena-mena
Lalu apa yang menjadikan Indonesia boleh menari-nari di atas Papua? Bagi sebagian orang yang dicuci otaknya lewat sistem pendidikan Orde Baru, jawabannya adalah: karena Indonesia-lah yang telah membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda dan karena Indonesia-lah maka bangsa yang bau, hitam, keriting, tidak berpendidikan itu menjadi wangi, maju, dan bisa memperoleh pendidikan.
Memang fakta sejarah menunjukkan, selama dijajah Belanda orang Papua tidak diberi kesempatan belajar atau memperoleh pendidikan, mendapatkan lapangan pekerjaan di pemerintahan dan swasta, sehingga masyarakatnya menjadi tertinggal.
Ketika Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda, maka kepada Indonesia dibebankan keinginan masyarakat di Papua agar mereka diberi pendidikan, pekerjaan dan keterlibatan di dalam pemerintahan. Maka memang, dari segi apapun, Indonesia selalu dianggap istimewa.
Namun, keistimewaan Indonesia itu bukan berarti berhak memerlakukan semena-mena. Pada manusia Papua melekat haknya untuk bebas dari rasa takut, bebas dari rasa haus dan lapar, bebas untuk berkumpul dan berpendapat sebagaimana lazimnya semua bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Ia tidak menjadi tidak istimewa bila dibandingkan oleh suku bangsa lain di Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada keistimewaan yang membedakan orang Papua dengan suku lain, semisal Suku Jawa.
Maka, tatkala disodorkan kepada publik, informasi bagaimana kepolisian daerah Yogya dan kelompok kekerasan mengepung dan menangkap delapan mahasiswa Papua, terlihat bagaimana rendahnya kita memperlakukan orang Papua.
Oby Kogoya, mahasiswa Papua berusia 20 tahun– telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar pasal 212 juncto 315 KUHP dan kemudian dikenai wajib lapor — ditangkap seperti setengah binatang. Kepalanya diinjak sepatu, sementara kedua tangannya ditarik untuk diikat dengan belenggu plastik. Foto dan video yang beredar di publik itu merupakan bukti betapa tindakan tersebut, yang tidak pantas, dilakukan oleh bangsa yang beradab.
Apalagi, kota Yogya yang menjadi cerminan dari masyarakat Jawa yang modern, pada namanya melekat arti “sesuai, pantas” dari nama “Ayogya” (Garjitawati) sesuai studi literatur yang ditulis sejarawan M. Ricklef dan Peter Carey (2015).
Ia (kota itu) menjadi tempat yang pantas bagi mereka yang letih dan mencari keteduhan. Oleh karenanya, sampai sekarang kota Yogya menjadi tujuan dan harapan bagi mereka yang mendambakan keteduhan itu. Keteduhan Yogya itu pula yang dijadikan tujuan bagi begitu banyak generasi muda, entah dia orang Timor, Sulawesi, bahkan Papua untuk menimba ilmu, hidup dan bekerja. Di Yogya, bisa dikatakan semua suku bangsa menikmati damai.
Namun, yang perlu diketahui bersama, kata “damai” adalah kosa kata yang nyaris raib di bumi Papua. Pelbagai kekerasan yang telah terjadi bertahun-tahun, sejak zaman Orde Baru sampai sekarang, terus mengusik orang Papua yang tadinya menaruh harapan dan impian akan maju, kini berbalik arah ingin mencari damainya sendiri. Tentu upaya itu berbuah represi.
Itulah sebabnya, belakangan banyak orang Papua yang ditangkap hanya karena melakukan aksi damai atau diskusi untuk menentukan nasibnya sendiri, bukan karena hendak memisahkan diri.
Maka selagi kata damai itu sedang dicari-cari, bukankah lebih bijak untuk memberi damai dan kesejukan bagi suku bangsa Papua dan bukan menyodorkan kebencian dan penistaan berbasis stigma?
Bukankah lebih baik merangkul dan mengajak suku bangsa Papua untuk merasakan damai yang telah dirasakan bersama ini daripada terus meminggirkan dan menyingkirkannya? Keistimewaan itu seharusnya menjadikan kita hadir sebagai sahabat dan bukan sebagai pihak yang menari-nari di atas penderitaan orang lain, apalagi memakai stereotype yang memposisikan kita sebagai penjajah. Bila itu bisa kita lakukan, semoga harapan dan impian yang dititipkan itu bisa terwujud dan damai memancar di Papua, negeri tempat matahari terbenam.
*Tulisan ini dimuat dalam “Kolom Papua” di situs politik.lipi.go.id, 18 Juli 2016