Kamis, 1 Mei 2025

KEJAHATAN LUAR BIASA NIH..! Beda Data Korban Kekerasan Seksual AKBP Fajar antara Polda NTT dan PPA Kota Kupang

JAKARTA – Ada perbedaan signifikan jumlah data korban dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang melibatkan mantan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fajar Widyadharma Lukman.

Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT) melaporkan bahwa jumlah korban adalah satu orang berusia enam tahun. Sementara itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang mencatat ada tiga korban, dengan usia tiga tahun, 12 tahun, dan 14 tahun.

“Korban hanya satu orang. Dia dibawa bertemu pelaku (Fajar) oleh seorang wanita berinisial F,” ungkap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT, Komisaris Besar Polisi Patar Silalahi, saat konferensi pers di Markas Polda NTT, Selasa (11/3/2025).

Di sisi lain, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang, Imelda Manafe, menyatakan bahwa pihaknya saat ini sedang mendampingi satu korban, sementara dua korban lainnya berada di bawah pengawasan orangtua mereka.

“Untuk sementara ini masih tiga korban,” kata Imelda di kantor DPRD Kota Kupang.

Imelda menambahkan bahwa Polda NTT telah meminta pihaknya untuk memberikan pendampingan kepada para korban.

“Saat ini, ada satu korban yang didampingi di rumah shelter (rumah aman) kami di UPTD PPA Kota Kupang,” ujarnya.

Dua korban lainnya, lanjut Imelda, masih didampingi oleh orangtua masing-masing.

Sebelumnya, Fajar diamankan aparat Profesi dan Pengamanan (Propam) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) terkait dugaan keterlibatan dalam kasus pencabulan anak di bawah umur dan narkoba.

“Diamankan oleh Propam Mabes Polri yang didampingi Paminal Polda NTT, tanggal 20 Februari 2025,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTT, Komisaris Besar Polisi Hendry Novika Chandra, Senin (3/3/2025).

Hendry belum memberikan rincian lebih lanjut mengenai kasus yang menjerat Fajar.

“Saat ini kami masih menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Mabes Polri,” tutup Hendry.

Kejahatan Luar Biasa

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dosen Hukum Universitas Nusa Nipa Maumere, Robertus Dicky Armando menilai, kasus pencabulan terhadap tiga anak di bawah umur yang dilakukan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman merupakan kejahatan luar biasa dan serius.

“Ini termasuk extraordinary crime atau kejahatan luar biasa dan the most serious crimes atau kejahatan yang paling serius,” ujar Dicky saat dihubungi.pers, Rabu (12/3/2025).

Menurutnya, proses penanganan dan pemberian sanksi harus luar biasa karena termasuk dalam dua kategori kejahatan ini.

Oleh sebab itu, kata Dicky, dalam konteks kasus ini bisa menggunakan dua Undang-Undang (UU) yang bersifat lex specialis atau khusus, yaitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

“Kapolres Ngada ini bisa dikenakan UU TPKS pelecehan seksual secara fisik, dan pelecehan berbasis elektronik,” kata dia.

“Elektroniknya apa karena dia menyebarkan video pelecehan seksual itu untuk kepentingan dia. Proses dia menyebarkan atau media yang digunakan itu menggunakan UU ITE,” jelasnya.

Dicky menambahkan, pada kasus ini juga tidak ada alasan pemaaf atau penghapusan pidana.

Misalnya, jelas dia, AKB Fajar mengaku melakukan tindakan tersebut karena lalai atau menggunakan narkoba.

“Itu tetap tidak bisa dibenarkan atau penghapusan pidana. Karena itu dia peristiwa pidana yang berbeda, yakni pelecehan seksual dan narkotika,” pungkasnya.

Pengamat Hukum Universitas Widya Mandira Kupang, Mikhael Feka mengatakan, peristiwa ini bukan semata-mata kejahatan individual, melainkan cerminan adanya kegagalan sistemik dalam mekanisme rekrutmen, pengawasan, dan pembinaan anggota kepolisian.

Dia memerinci letak kesalahan sistemik dalam tubuh kepolisian, yakni kegagalan pengawasan internal (internal control failure). Fungsi pengawasan melalui Propam dan Inspektorat Jenderal belum efektif mencegah penyimpangan perilaku aparat, terlebih yang menduduki posisi strategis.

Hal ini, kata dia, menunjukkan lemahnya sistem Early Warning System (EWS) dan minimnya pelibatan masyarakat dalam kontrol eksternal. Kemudian, budaya organisasi yang permisif dalam perspektif teori “Broken Window,” dibiarkannya pelanggaran kecil dalam tubuh institusi akan membuka peluang terhadap penyimpangan besar.

“Ketidaktegasan terhadap perilaku menyimpang berkontribusi pada degradasi moral institusional,” ujar Mikhael. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru