Oleh: Widitusha Winduhiswara *
PESAWAT nirawak atau yang lebih dikenal dengan drone merupakan kejaiban teknologi pada abad ke-21 ini. Dalam penggunaannya, drone merupakan alat multi-fungsi yang dapat digunakan dalam berbagai sektor, khususnya pada sektor militer. Perkembangan drone ini telah merubah cara aktor untuk mengelola suatu konflik.
Popularitas penggunaan drone dalam dunia militer meningkat pada saat Presiden Amerika Serikat George W. Bush mendeklarasikan Perang Melawan Teror (War on Terror) pasca serangan teroris pada 11 September 2001. Penggunaan drone oleh Amerika Serikat ini dianggap sangat efektif dalam mengeliminasi target-target teroris sehingga trend drone ini juga mulai dilanjutkan oleh Barrack Obama untuk tujuan yang serupa.
Berkaca kepada penggunaannya oleh Amerika Serikat dalam perang melawan teror, beberapa negara-negara berlomba-lomba dalam mengembangkan teknologi ini. Israel, Tiongkok dan Turki merupakan beberapa negara yang berhasil mengembangkan dan memproduksi drone dalam skala besar, lalu menjualnya ke negara-negara lain.
Drone mulai digunakan sebagai alat perang saat konflik antara Azerbaijan dan Armenia pada konflik Nagorno-Karabakh tahun 2020 silam.
Dalam buku data yang ditulis oleh Dan Gettinger dari Center for The Study of The Drone di Bard College, drone yang digunakan sebagai alat perang dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori (Class l, Class ll dan Class lll). Klasifikasi ini dibagi dengan melihat bobot maksimum ketika sebuah drone lepas landas (take-off). Class l dengan bobot maksimum kurang dari 150kg, Class ll dengan bobot maksimum antara 150 dan 600kg dan Class lll dengan bobot maksimum lebih dari 600kg.
Class l drone memiliki jam terbang yang sangat terbatas, antara 1 hingga 3 jam, dengan jarak tempuh maksimum kurang lebih mencapai 80km. Kapasitas bobot yang dapat dibawa hanya kurang lebih 5kg. Secara mayoritas, drone ini digunakan untuk misi pengintaian jarak dekat. Karena dimensi dari drone ini juga relatif kecil, drone dalam kelas ini juga seringkali dipersenjatai dengan bahan peledak dengan daya kecil yang didesign untuk meledak saat kontak dengan target (suicide drone/kamikaze drone).
Class ll drone memiliki jam terbang hingga 10 jam, dengan jarak terbang maksimum antara 100 hingga 200km. kapasitas bobot bawa drone ini mencapai 70kg dengan kecepatan terbang maksimum dapat menyentuh 200km/jam. Drone ini dapat dilengkapi dengan sensor infrared dan optic, laser designator dan penunjang lainnya. Meski mayoritas drone dalam kelas ini tidak dilengkapi persenjataan, namun terdapat beberapa model dari kelas ini yang dipersenjatai dengan alat ledak ringan air-to-ground guided missile seperti yang digunakan dalam helikopter serbu.
Class lll drone seringkali disebut dengan pesawat nirawak MALE (medium-altitude long-endurance) atau HALE (high-altitude long-endurance). Drone dalam kelas ini memiliki jam terbang hingga 24 jam atau lebih, kecepatan terbang 300km/jam atau lebih dan memiliki kapasitas bobot hingga beberapa ratus kg. Beberapa model dari drone kelas ini dapat dioperasikan dengan jarak beberapa ribu kilometer, tergantung dari alat komunikasi yang digunakan.
Dalam konflik Nagorno-Karabakh pada tahun 2020 silam, salah satu faktor pendukung kemenangan Azerbaijan adalah drone. Diketahui bahwa hanya Azerbaijan yang menggunakan drone sebagai alat perang dalam konflik ini.
Pada awal konflik, Menteri Pertahanan Azerbaijan Zakir Hasanov mengatakan bahwa pihaknya telah mengucurkan dana sebesar $1 miliar untuk membeli Class lll drone/MALE buatan Turki Bayraktar TB2. Selain Bayraktar, Azerbaijan juga membeli drone Kamikaze buatan Israel termasuk Harop, Orbiter dan SkyStriker. Kombinasi antara Class l dan Class lll drone ini digunakan oleh tentara Azerbaijan untuk melemahkan Tentara Armenia.
Analis pertahanan Israel Eado Hecht meneliti mengenai penggunaan drone dalam konflik ini dengan mengkomparasikan data yang dikeluarkan oleh Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dengan peneliti OSINT Oryx. Dalam penelitiannya, Hecht menyimpulkan bahwa rasio penghancuran target militer oleh drone dalam 44 hari konflik, dapat menyentuh angka 12 target perharinya.
Selain drone, salah satu faktor kekalahan Armenia terdapatnya celah dalam sistem pertahanan udara Armenia yang diekploitasi oleh Azerbaijan. Efektifitas dari drone dalam konflik ini membuat negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia berlomba-lomba dalam mengembangkan teknologi anti-drone.
Pada konflik Rusia dan Ukraina, drone juga digunakan untuk mendapatkan keunggulan dari pihak lawan. Drone memainkan peran yang cukup besar pada fase awal konflik tersebut. Tentara Ukraina bergantung kepada drone untuk melakukan beberapa penyerangan, khususnya di wilayah Laut Hitam. Selain itu, Tentara Ukraina juga menggunakan drone untuk menyerang beberapa target yang berada di wilayah dalam Rusia. Beberapa pangkalan udara militer Rusia mengalami kerusakan karena menjadi target para drone Ukraina.
Saat ini, Drone seringkali digunakan pada lini pertahanan di bagian Timur Ukraina. Untuk menggantikan senjata anti-tank yang mahal, sering kali Tentara Ukraina memilih first-person-view drone/class l drone (FPV). Dengan menggunakan drone jenis ini, sang operator dapat dengan mudah melakukan kontak dengan tank lawan. Selain itu juga, teknologi ini juga digunakan untuk mengintai atau menandai posisi musuh sebelum melakukan serangan menggunakan artileri.
Memasuki tahun kedua Operasi Militer Rusia di Ukraina, Tentara Rusia secara perlahan mampu beradaptasi dengan serangan-serangan yang dilancarkan oleh Ukraina dengan menggunakan drone.
Menggunakan taktik dan strategi sama, peran drone di tangan Tentara Rusia dapat lebih unggul dalam waktu dekat ini. Selain menaikkan jumlah produksi alat-alat penyokong perang, Rusia juga dikabarkan sedang menaikkan produksi drone dengan target 32.000 drones pada tahun 2030.
Deputi Perdana Menteri Rusia Andrei Belousov mengatakan bahwa pemerintah Rusia akan mengucurkan dana sebesar $7.66 miliar untuk mencapai target tersebut. Selain dari sisi produksi dan pembelajaan drone, Rusia juga lebih superior dalam kapabilitas peperangan elektronik yang dapat mengacaukan komunikasi antara operator dengan drone.
Dalam satu dekade kebelakang, dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan trend dalam penggunaan drone sebagai alat perang. Bagi negara-negara yang tidak mampu memiliki Angkatan Udara yang memumpuni atau memiliki sedikit anggaran pembelanjaan militer, drone dapat menjadi opsi yang menarik. Meski tidak dapat menggantikan kapabilitas Angkatan Udara secara penuh, drone dapat meningkatkan kapabilitas tempur sebuah tentara. Perlu diperhatikan bahwasanya pengembangan teknologi drone tanpa adanya pengawasan ataupun regulasi yang tepat, dapat menyebabkan penyalahgunaan drone oleh non-state actor khususnya kelompok-kelompok teroris.
Maka dari itu, selain mengembangkan teknologi ini, sudah sepantasnya negara-negara juga mulai menaruh perhatian untuk mengembangkan sistem pertahanan dan kapabilitas anti-dronenya.
*Penulis Widitusha Winduhiswara, S.Sos, M.Sc, pengamat geopolitik dan militer, Peoples’ Friendship, University of Russia