Selasa, 1 Juli 2025

KEMENDIKBUD NGELES NIH..? Kenapa Kuliah di PTN RI Tidak Gratis Seperti Negara Lain? Kemana raib anggaran pendidikan Rp 665,02 Triliun?

JAKARTA – Isu biaya pendidikan tinggi di Indonesia kerap menarik perhatian di masa penerimaan mahasiswa baru. Banyak pihak, terutama orang tua mahasiswa baru, menyebut uang kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia kian tahun semakin naik.

Sebagai negara yang masuk dalam kategori berkembang menuju maju, Indonesia belum menggratiskan biaya pendidikan tinggi. Kondisi ini berbeda dengan negara maju yang menjadi anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) seperti Swedia, Finlandia, Islandia, hingga Jerman yang menggratiskan biaya pendidikan di kampus negeri maupun swasta mereka.

Merespons isu uang kuliah ini, Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof Tjitjik Sri Tjahjandarie PhD menjelaskan sifat pendidikan tinggi di Indonesia sebagai tertiary education yakni bukan pendidikan wajib, melainkan pilihan. Situasi ini membuat lulusan SMA, SMK, dan yang sederajat pada dasarnya tidak wajib lanjut ke pendidikan tinggi.

Kebijakan terkait pewajiban pendidikan tinggi menurutnya memiliki konsekuensi pada bidang pendanaan. Karena pendidikan tinggi di RI bersifat pilihan, pemerintah lebih memprioritaskan pembiayaan jenjang wajib belajar, yakni SD dan SMP.

“Pendanaan pemerintah untuk pendidikan itu difokuskan dan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Karena itu amanat undang-undang,” tuturnya dalam acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi, Rabu (15/5/2024) di Gedung D Dikti Kemendikbudristek, Jalan Pintu Satu Senayan, Jakarta Pusat.

Dana Pendidikan Tinggi RI Tidak Cukup

Meskipun bukan menjadi fokus utama, Tjitjik mengatakan pemerintah tetap bertanggung jawab terkait dana pendidikan tinggi dalam bentuk pemberian bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN). Jika ingin menggratiskan biaya pendidikan tinggi di PTN, biaya BOPTN yang diberikan pemerintah harus sesuai dengan dana Biaya Kuliah Tunggal (BKT) masing-masing kampus. Namun, kenyataannya tidak demikian.

“Kalau pemerintah bisa memberikan pendanaan BOPTN sama dengan BKT, maka pendidikan tinggi di negeri itu akan gratis. Tetapi permasalahannya, dana pendidikan kita tidak mencukupi karena prioritas utamanya tetap untuk pendidikan wajib yakni SD dan SMP,” tambahnya.

Aturan UKT

Tjitjik meyakini BOPTN yang diberikan pemerintah belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional pendidikan di PTN. Untuk itu, diperlukan peran serta masyarakat agar kuliatas SDM RI masa depan mumpuni.

Menurut Tjitjik, caranya dengan memberikan kewenangan kepada PTN untuk dapat mengenakan UKT kepada mahasiswanya. Namun dengan catatan, tidak boleh ada komersialisasi PTN.

“Itu jelas dan diatur juga dalam undang-undang, tidak boleh ada komersialisasi PTN. Karena PTN harus bersifat inklusif sehingga bisa diakses oleh masyarakat yang punya kemampuan akademik, baik dari ekonomi mampu ataupun kurang mampu. Ini sudah kebijakan dan amanah yang harus dipenuhi,” tegasnya.

Untuk menjamin hal tersebut, Kemendikbudristek menetapkan Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN Kemendikbudristek. Aturan ini memberikan penegasan bahwa kelompok UKT 1 sebesar Rp 500 ribu dan UKT 2 sebesar Rp 1 juta menjadi standar minimal yang harus dimiliki PTN.

Melalui aturan tersebut juga ditetapkan proporsi mahasiswa yang menerima jumlah UKT 1 dan UKT 2 minimal 20% dan bisa lebih, sesuai aturan yang dibuat masing-masing kampus. Selebihnya, PTN diberikan otonomi kewenangan untuk menetapkan kelompok UKT 3 dan seterusnya.

Kelompok UKT 3 ke Atas
Tidak bebas, Tjitjik menyebutkan PTN diharuskan untuk menetapkan UKT tertinggi yang tidak boleh melebihi BKT. Syarat ini ditetapkan agar masyarakat tidak kelebihan membayar (overpay) terhadap kebutuhannya sendiri. Aturan penetapan UKT lainnya bisa disusun PTN dengan sifat UKT berkeadilan.

UKT berkeadilan menurutnya akan menjadi senjata penting PTN untuk menentukan mahasiswa dari orang tua yang mampu membayar UKT tinggi. Dengan demikian, bantuan pemerintah dan UKT golongan rendah bisa diberikan kepada mereka yang kurang mampu.

“Karena yang mampu itu bisa membiayai operasionalnya sendiri dan hal ini harus diperhatikan PTN,” ucapnya.

Kemana Raib Anggaran Pendidikan dalam APBN?

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan Rp665,02 triliun, setara 20% dari total anggaran belanja negara.

Nilai tersebut merupakan gabungan dari anggaran pendidikan yang disalurkan melalui belanja pemerintah pusat (BPP), transfer ke daerah (TKD), dan pembiayaan investasi.

Menurut catatan APBN 2024, tahun ini ada enam arah kebijakan utama sektor pendidikan nasional, yaitu:

Peningkatan akses pendidikan untuk seluruh jenjang pendidikan, melalui perluasan wajib belajar dan bantuan pendidikan (antara lain beasiswa afirmasi, PIP, KIP Kuliah) termasuk pada pendidikan keagamaan;
Penguatan kualitas dan ketersediaan layanan PAUD melalui optimalisasi APBD/Dana Desa;
Percepatan peningkatkan kualitas sarana-prasarana penunjang kegiatan pendidikan terutama di daerah 3T, baik pada pendidikan umum maupun pendidikan keagamaan;
Peningkatan kompetensi guru dan tenaga kependidikan, dengan tetap melanjutkan transformasi guru dan tenaga kependidikan, antara lain melalui program guru penggerak dan pemberian sertifikat pendidik;
Penguatan pendidikan vokasi dengan pasar tenaga kerja (link and match), antara lain melalui penguatan teaching industry dan SMK Pusat Unggulan;
Peningkatan investasi di bidang pendidikan, antara lain untuk pemberian beasiswa, dukungan riset, pemajuan kebudayaan, dan penguatan perguruan tinggi. (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru