Sabtu, 5 Juli 2025

Kepemimpinan Patriotik!

Oleh: Nurani Soyomukti *

APAKAH kepemimpinan Prabowo Subianto, yang baru dilantik pada 20 Oktober lalu, merupakan kepemimpinan patriotik?

Pertanyaan tersebut terus terngiang di pikiran saya. Saya coba melihat arti “patriotik” dalam kamus (KBBI). Kata dasarnya adalah “patriot” yang berarti pecinta dan pembela tanah air. Lalu pikiran saya terfokus pada kata “tanah” dan “air”.

Saya ingat pada masa Ospek waktu sekolah—yang mirip semaca perploncoan pada murid baru dari kakak kelas. Saya lupa, apakah acara OSIS atau Pramuka waktu itu. Seorang kakak kelas menanyai saya dengan nada keras: “Kamu cinta tanah air?”

Saya jawab: “Cinta!”

“Kamu cinta tanah?”, tanyanya lagi, dengan mata lebih melotot ke arah saya.

“Cinta, Kak!”, jawab saya.

Jawaban dari pertanyaan itu ternyata ditunggu-tunggu. Untuk menjebak saya. Ternyata jawaban saya digunakan dasar untuk memperlakukan saya selanjutnya. Tanpa memberi kesempatan saya untuk bicara lagi, dia langsung melakukan perintah: “Kalau benar cinta tanah, coba cium tanah. Coba, hayo. Lakukan!”

Waktu itu saya merasa agak ‘mangkel’ dalam hati. Tapi saya diam saja. Sambil senyum meringis, dengan membangun perasaan dalam hati bahwa kakak kelas saya yang memlonco saya ini hanya berusaha memainkan kami saja dengan logika-logika yang dibuatnya.

Saya tidak ingat apa yang saya lakukan selanjutnya. Tapi perintah untuk mencium tanah sebagai ungkapan cinta pada tanah itu tak akan saya lupakan. Logika yang dipakai adalah logika cinta anak muda atau remaja yang melibatkan cium-ciuman. Barangkali!

Belakangan, saya berupaya mengonstruksi pikiran logis yang hampir mirip dengan itu ketika saya bicara cinta tanah air. Soal tanah, jika kita cinta pada tanah, tentu seharusnya kita diberi akses terhadap tanah. Jika orang (warga Negara) tak punya tanah, maka objek cintanya kosong. Makanya, cinta tanah air itu pertama diwujudkan dengan memberikan rakyat akses terhadap tanah, juga terhadap air.

Makanya, pemimpin yang melakukan kebijakan memberikan akses terhadap tanah bagi rakyatnya adalah pemimpin yang patriotik. Apa yang dilakukan presiden Sukarno yang mengesahkan undang-undang pembaruan agraria tahun 1960, juga undang-undang bagi hasil, banyak dibilang bentuk kebijakan yang nasionalistik-patriotik.

Pokoknya setiap upaya memberikan tanah dan sumber-sumber kekayaan alam pada rakyat itu dianggap patriotik. Sedangkan upaya pemimpin Negara untuk memberikan tanah pada pemodal besar, yang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk mereka dan hanya dinikmati oleh pemimpin dan elit Negara tertentu, biasanya dianggap sebagai bentuk sikap yang tidak patriotik. Misal, apa yang dilakukan oleh rejim Suharto yang memberikan kekayaan Negara pada Freeport sering dituduh sebagai sikap tidak nasionalistik, tidak patriotik.

Kebijakan menyerahkan pengelolaan sumber daya alam pada modal asing biasanya disebut sebagai kebijakan kapitalistik atau sikap pro-modal asing. Tapi membuat pengelolaan sumber daya alam dan kekayaan Negara yang hasilnya tidak menguntungkan pihak asing, tetapi justru hanya dinikmati oleh kaum modal dan elit lokal (sedikit elit yang menguasai Negara), juga merupakan sikap yang anti-patriotik dan tidak nasionalis. Para pengamat dan intelektual sering menyebutnya sebagai “oligarki”—yang umumnya bercirikan kekuasaan Negara yang dikuasai oleh faksi kapitalis besar yang saling kerjasama mengumpulkan kekuasaan dan keuntungan di lingkaran mereka.

Dari pengertian di atas, saya lebih suka menyebut ciri pemimpin yang patriotik itu basisnya adalah kecintaannya pada rakyat. Kalau ia lebih banyak mengajak cinta pada tanah air, maka tanah dan air—dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya—harus diberikan pada rakyat. Jadi, hasil dari segala pengelolaan kekayaan alam (baik di tanah, di air, dan di udara) haruslah digunakan untuk keadilan dan pemerataan.

Sebab ada kalanya, pemimpin yang banyak menyerukan cinta pada tanah-air dan bangsa-negara, tapi hanya berhenti pada retorika, tidak terwujud dalam kebijakan nyata dan praktik politiknya. Sehingga nasionalisme dan patriotisme kemudian menjadi ilusi semata. Rakyat hanya dicekoki dengan ilusi-ilusi, ditakut-takuti dengan keberadaan sesuatu yang dianggap sebagai musuh Negara—misal jaman Orde Baru “ekstrim Kiri” dan “ekstrim Kanan”.

Menciptakan ilusi-ilusi untuk meninabobokkan rakyat—dan untuk menghilangkan kesadaran politis dan nalar kritis rakyat—menjadi bagian dari kerja-kerja kepemimpinan Negara. Rakyat dininabobokkan dengan nasionalisme semu, diilusi dengan berbagai narasi dari Negara, tetapi para kenyataannya justru ditindas dan disengsarakan. Suara rakyat yang berseberangan dengan narasi dari Negara dilarang dan dikondisikan tidak bisa menandingi narasi kekuasaan yang menggaungkan patriotisme semu.

Lalu bagaimana dengan retorika Patriotik Prabowo sebagai pemimpin Negara-Bangsa Indonesia yang baru dilantik?

Secara retorika, terutama jika kita dengar dari pidato pertamakali setelah dilantik, tampaknya apa yang menjadi harapan-harapannya merupakan retorika yang patriotik. Hanya saja kita belum melihat pada perjalanan mantan perwira militer ini dalam memimpin Negara yang besar yang punya cita-cita mewujudkan Indonesia Emas ini. Ada baiknya kita membiarkan menantu presiden Suharto ini memulai.

Setidaknya, dari materi pidatonya, terlihat nuansa patriotik yang kental. Juga, ia adalah seorang prajurit—sebuah profesi yang dengan jelas dipenuhi dengan doktrin patriotism dari sisi membela tanah air dengan perang dan penanganan yang bersifat melibatkan operasi fisik. Ia juga pernah atas nama Negara melakukan pengamanan terhadap Negara dengan cara menculik para aktivis Kiri yang dianggap membahayakan Negara. Bisa jadi itu sebagai bagian dari sikap patriotik, meskipun itu cukup tidak wajar dalam masyarakat yang sejak akhir tahun 1980-an sedang gencar-gencarnya terjadi pengarus-utamaan nilai-nilai HAM—yang bahkan menjadi bagian (satu bab) dalam UUD 1945 (hasil amandemen) dan memunculkan UU Hak Asasi Manusia (UU Nomor 39 Tahun 1999).

Kita bisa memandang bahwa apa yang disebut orang sebagai pelanggaran HAM itu terjadi hampir tiga puluh tahun yang lalu. Prabowo telah memasuki peradaban sipil, di mana ia akhirnya berkontestasi dalam sebuah momen perebutan kekuasaan secara demokratis. Ia mendirikan partai politik. Ia terbukti selalu mengikuti kontestasi elektoral dengan baik. Ia pernah kalah dalam kontestasi pemilihan presiden berkali-kali dan ia menerima kekalahan. Lalu ia terap berjuang untuk membangun kekuatan politik, yang puncaknya adalah kemenangannya pada Pemilihan Presiden pada tahun 2024 ini.

Sangat tidak tertutup kemungkinan bahwa ia bisa menjadi pemimpin yang sangat patriotik dalam masyarakat yang demokratis dan terbuka—yang bahkan setiap orang bisa mengomentari ucapan, perilaku, keputusan, dan kebijakan presiden lewat media sosial yang bebas.

Kita baru bisa melihat bagaimana semangat patriotismenya tercermin dalam retorika pidato yang cukup baik strukturnya. Dimulai dengan upayanya mengingatkan patriotism melawan penjajah pada era merebut kemerdekaan, hingga bagaimana patriotism harus dimiliki oleh para pemimpin dan pejabat. Ia mengingatkan agar para menteri dan jajaran pemerintah tidak mencuri uang Negara, tidak elitis dan diharapkan merakyat, bukan dilayani tapi malah melayani. Niatnya untuk memberikan kesejahteraan rakyat juga berkali-kali diucapkan. Retorika patriotic sekaligus kerakyatan ini setidaknya yang bisa kita lihat dari pidato-pidato dan pernyataan-pernyataannya.

Meskipun ada kritik seperti bagaimana cara ia menyusun kabinet dan memilih para pembantu presiden itu, setidaknya hal itu masih belum bisa membuat kita menilai secara utuh apakah retorika patriotisme yang selalu keluar dari pernyataannya akan terbukti. Ketegasan dan niat kuat untuk merubah Negara yang besar yang terdiri dari banyak pulau ini, dan juga banyak organisasi politik dan anekaragamnya budaya dan ideologi, bisa jadi berjalan dengan baik. Sebab, sepertinya ia punya kekuatan dan jaringan politik. Kita ikuti terus perkembangannya.

*) Penulis Nurani Soyomukti, pemerhati sosial-politik, aktif di INDEK (Institute Demokrasi dan Keberdesaan), saat ini menempu kuliah Pasca-sarjana Akidah dan Filsafat Islam (AFI) Universitas Islam Negeri Tulungagung.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru